Ch. 7

122 3 0
                                    

** new update...
Selamat membaca **

"Besok?? Apa tidak bisa aku langsung pulang saja, dokter?? Bagaimanapun keluargaku tidak boleh tahu kalau aku di rumah sakit!!" Setelah memeriksa lukaku, dokter menyarankanku untuk beristirahat dan pulang keesokan harinya. Apa yang harus kukatakan pada ibuku jika aku tidak pulang malam ini.
"Tapi, jika kamu paksa berjalan lukamu akan kembali terbuka," dokter berusaha menjelaskan.
"Apapun itu tidak masalah, aku bisa mengatasinya sendiri. Yang penting aku harus pulang ke rumah,"
Dokter itu sepertinya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia menghela napas dan memintaku untuk coba berdiri. Baru saja aku mencoba untuk meluruskan kaki, sekujur tubuhku terasa kram akibat nyeri yang di timbulkan luka itu.
"Jangan terlalu di paksakan, ini akan bertambah parah!" Ujar dokter.
"Selama aku berhati-hati, sepertinya semua akan baik-baik saja," aku mencoba sedikit keras kepala dan berjalan keluar ruangan dengan tertatih. Di luar kulihat Ryan masih duduk di kursi pengunjung. Hanya dia sendiri. Apa yang dia lakukan. Aku mencoba berjalan dengan tenang agar dia tidak melihatku. Namun, apa daya, kakiku yang luka tidak bisa di ajak kerja sama. Aku tidak sengaja menabrak tong sampah di samping pintu dan mengakibatkan kakiku luar biasa sakit. Aku langsung menjerit tertahan dan bersandar di dinding. Ryan melihatku dan segera berlari menghampiriku dengan ekspresi khawatirnya. Dokter yang tadi merawatku pun segera mendekatiku.
"Apa yang kamu lakukan!!" Bentaknya. Aku tidak suka melihat ekspresi wajahnya itu. Ekspresi wajah yang membuatku merasa spesial, meskipun itu tidak mungkin.
Ryan memapahku untuk duduk di kursi. "Sudah kubilang agar tidak memaksakan diri! Sekarang lukamu malah semakin bengkak!" Ujar dokter sambil memeriksa kembali lukaku.
"Tidak apa-apa dokter, ini cuma senut-senut sedikit kok!"
"Apa maksudmu dengan senut-senut sedikit! Lukamu berdarah lagi! Sudah kubilang untuk tunggu sebentar lagi!" Marah dokter itu. Aku tidak bisa membantah lagi, rasa sakitnya membuat kepalaku sedikit pusing.
"Tolong obati dia sekali lagi dokter. Setelah itu aku akan mengantarnya pulang," guman Ryan.
"Kenapa kamu harus mengantarku pulang?" Tanyaku, aku sedikit khawatir akan hal itu.
"Berhenti bertanya balik kepadaku! Kenapa kamu selalu membuatku kesal?! Apa susahnya mengiyakan semua ucapanku!!" Ujarnya lagi.
Dokter kembali membuka perbanku, mengobatinya, kemudian mengganti perban dengan yang baru. Ryan membawakan sebuah kursi roda untukku agar aku tidak melukai diriku kembali.
"Apakah kamu memiliki dua kepribadian?" Tanyaku saat Ryan mendorong kursi rodaku keluar dari ruang UGD.
"Tentu saja tidak!" Jawabnya.
"Lantas kenapa sikap kalian seaneh ini, terutama kamu dan Kenny. Apa-apaan dengan sikap kalian yang pertama membullyku dan sekarang malah bergantian menyelamatkanku. Kalian nggak waras ya?"
Ryan berhenti mendorong kursi rodaku, kemudian berjalan dan memegang sandaran tangan kursi rodaku dengan kencang, "kenapa kamu tidak pernah menangis, takut, atau sungkan kepadaku?! Kenapa semakin aku menyiksamu, semakin kamu penasaran dengan sikap kami?! Tidak bisakah kalau kamu cukup gemetar ketakutan dan menunjukkan betapa lemahnya dirimu di hadapan kami? Setelah apa yang sudah kami lakukan hingga kamu seperti ini!"
Aku terdiam, berusaha mencerna ucapan Ryan sebaik mungkin, "Okey, kalian benar-benar tidak waras!"
"Apa?!!"
"Siapa bilang aku tidak takut, itu sudah jelas bukan. Aku takut dan merasa terganggung dengan siksaan kalian yang tidak masuk akal. Jelas saja jika aku penasaran. Disiksa sampai rasanya aku ingin mati, namun tanpa alasan yang jelas. Bodoh sekali jika aku hanya berdiam diri!" Lanjutku. "Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba saja aku di ajak liburan. Kukira kalian terlalu baik hati, yang ada aku malah disiksa dan hampir mati di tengah laut! Dan ini lagi, sudah bikin rusuh, membuatku berhenti kerja dengan kekerasan, membuatku terluka, sekarang malah bersikap sok khawatir. Bukannya merasa bersalah dan minta maaf, malah berusaha membuatku nyaman. Setelah ini kalian pasti menyiksaku lagi. Sebenarnya apa mau kalian sih?"
"Kalau begitu, buat aku membencimu sampai tidak sudi melihat wajahmu!" Guman Ryan, tatapannya berubah menjadi sangat serius. Tatapan itu cukup sukses membuat jantungku berdegup kencang dan membuat wajahku terasa panas, "a--apa maksudmu?! Bukankah kamu bersikap seperti ini padaku karena kamu membenciku? Dasar aneh!"
Ryan berdiri tegap sambil melirikku seperti dia sedang menatap tumpukan makanan basi di meja, "kamu akan terus penasaran sampai aku mengijinkanmu untuk mengetahuinya."
Ryan kembali ke belakangku dan mendorong kursi roda. Di depan halaman rumah sakit, aku melihat Kenny sedang bersandar di depan mobil. Begitu melihat kami, dia segera menghampiri kemudian menggantikan Ryan mendorong kursi rodaku. Kenny dengan lembut menggendongku dan membantuku untuk duduk di kursi mobil. Jujur saja, orang pertama yang menggendongku seperti ini adalah Kenny. Berada dalam jarak yang dekat dengan Kenny membuatku gugup, aku takut dia bisa mendengar detak jantungku. Setelah itu, Kenny menutup pintu belakang dan duduk di belakang kemudi. Ryan duduk di sampingnya. Seolah aku mendapatkan keberuntungan dan kemalangan dalam sekali tepukan. Namun campuran hal itu membuatku kebingungan. Dalam perjalanan pulang, aku ingat harus membelikan pensil untuk adikku.
"Maaf, aku akan turun di depan sana saja," bisikku agak gugup. Langsung saja Ryan menoleh dan memberikan tatapan tajam padaku, begitu juga dengan Kenny yang melirik melalui spion mobil. Apa aku mengatakan hal yang salah?
"Kamu tidak pantas menyuruh kami untuk menurunkanmu. Kami akan mengantarmu pulanh dan kamu tidak bisa menolak hal itu," jelas Ryan sambil kembali menatap ke depan.
"Tapi~," ringisku pelan.
"Dengan kaki seperti itu, apa yang mau kamu lakukan jika turun disana?! Apa kamu yakin bisa jalan??" Tanya Kenny masih dengan lirikan tajamnya.
Sangat menegangkan dan itu membuatku tidak tahu harus bagaimana, "aku harus membelikan pensil untuk adikku, aku sudah berjanji," gumanku pelan.
"Pensil?"
Ryan tertawa sinis, "aku lelah, turunkan saja dia dimanapun dia mau. Setelah dia keluar dari mobil ini, sudah bukan urusan kita. Biarkan saja," ujarnya.
Kenny terdiam beberapa saat, "kamu yakin?"
"Biarkan saja. Aku tidak suka dia terlalu cerewet," lanjutnya.
Dimulailah kelabilan sikap Ryan. Tak lama kemudian Kenny meminggirkan mobilnya. "Turunlah," ujar Kenny.
"Terima kasih banyak buat bantuan juga penderitaannya hari ini," kataku sambil turun dari mobil.
"Itu yang kami harapkan!" Jawab Ryan sambil menatapku dengan puas. Namun entah itu hanya perasaanku atau bagaimana, ekspresi wajah Ryan dan Kenny sama-sama terlihat aneh.
Kali ini aku berusaha berdiri dengan perlahan agar lukaku tidak terasa begitu sakit. "Cih, dasar anak kaya kurang kerjaan," bisikku perlahan sambil menutup pintu mobil.
"Aku dengar itu!!" Ujar Kenny sambil membuka kaca mobil.
Aku sedikit terlonjak kaget, kemudian segera berpaling menjauh dari mobil itu tanpa berpamitan lagi.

** Masih terus berlanjut. Please keep reading yaa~ **

Ready For Your Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang