Ch. 20

96 2 0
                                    

** new update
Yang masih setia baca sampai chapter ini, makasiih bnyk yaa...

Semoga aja ceritanya bisa segera 😅

Selamat membaca! **

Aku berusaha bangun sepagi mungkin, bersiap secepat mungkin dan berangkat ke sekolah sesegera mungkin. Ibu sampai heran melihatku sangat terburu-buru.
"Kamu mau ngantiin satpam di sekolah ya? Kenapa siapnya sepagi ini?"
"Aku lupa ngerjain tugas, jadi mau ke sekolah pagi-pagi buat ngerjain dulu," jawabku sambil terus melahap sarapan.
Aku bisa melihat dahi lebar ibuku mengerut, "nak, ini baru jam setengah 5 loh! Di luar aja masih gelap gitu! Angkot juga mana ada yang ngetem jam segini,"
"Nggak apa-apa bu! Yang penting aku berangkatnya sekarang aja. Sampainya jam berapa bisa di atur!" Selesai melahap sesuap nasi terakhir, aku minum dengan cepat. Bergegas menyalim tangan ibu dan melesat keluar dengan cepat. Aku menutup pintu di belakangku dengan cepat dan berlari keluar halaman. Tapi langkahku di hentikan oleh sorotan lampu mobil yang membuatku silau.
Seseorang turun dari mobil dan berjalan kearahku, aku belum bisa menebak siapa orang itu karena lampunya sangat terang. Namun siluetnya saja sudah luar biasa, "Subuh begini kamu mau kemana nona?!" Nada suara sinis itu membuatku sadar. Dia kemudian menjentikkan jemarinya dan lampu mobil pun di matikan. "Jam sekolah masih lama, sekarang ikut aku dulu!"
Diana memberi isyarat agar aku mengikutinya. "Aku nggak nyangka kamu bangun sepagi ini," ujarku saat kami sudah duduk dengan nyaman di dalam mobil.
"Kondisi mengharuskan kami harus selalu bangun tepat waktu agar memiliki banyak waktu untuk menyelesaikan segala hal sesegera mungkin," jelas Diana dengan angkuh. Dia tidak memakai seragam sekolah. Rok denim mini dipadukan dengan baju turtle neck putih dengan desain sulu di sekitar lengannya, terlihat sempurna di tubuh langsing Diana.
"Kamu nggak pakai seragam?"
"Ini masih jam 5, nona Fia. Seluruh siswa SMA normal bahkan masih tidur. Aku ada urusan di kantor, dan kamu harus ikut,"
Ah, aku pasti di jadikan babu lagi. Aku hanya mengangguk pelan sambil mengalihkan pandangan keluar jendela mobil. Jalanan masih sepi, bahkan matahari belum terlihat. Namun Diana sudah memulai aktifitas yang murid SMA tidak pernah lakukan. "Ukuran kakimu berapa?" Tanya Diana tiba-tiba.
"Ukuran kaki? Kenapa tiba-ti....,"
"Udah jawab aja!" Tekan Diana
"36 cm,"
Diana menatapku dengan tidak percaya dan melihat kakiku yang terbungkus sepatu kumal yang tidak pernah kucuci entah sudah berapa bulan. Dia mensejajarkan kakinya kanannya dengan kaki kiriku dan mendengus tidak percaya. "Ada yang aneh ya?" Tanyaku
"Iya, kamu terlalu mungil untuk ukuran yang aku bayangkan,"
Percakapan terakhir kami, karena selanjutnya Diana sibuk mengutak-atik ipadnya dan handphone di telingannya. Saat sampai di tempat tujuan, Diana menyuruhku untuk segera turun dan mengikutinya. Kali ini dia tidak menyuruhku untuk membawa tas atau apapun itu. Hanya mengikutinya saja.
Kami masuk di ruangan pemotretan seperti yang dulu sempat kukunjungi. Disana sudah banyak orang berkumpul. Saat Diana masuk, mereka segera berkumpul mendengarkan pengarahan dari Diana. Padahal orang-orang itu lebih dewasa dari Diana, namun mereka mendengar Diana dengan serius dan berlaku profesional seperti atasan dan bawahan. Disaat seperti ini, aku merasa orang yang hebat adalah Diana sendiri.
"Bersiaplah," tukas Diana kepadaku saat otakku masih sibuk mengaguminya.
"Eh? Bersiap apa??" Tanyaku bingung.
"Pergi ke ruang ganti bersama asistenku. Kamu harus mengganti baju dan semuanya!"
Masih dalam kebingungan yang nge-blank, asisten Diana sudah menuntunku menuju ruang ganti. Aku bahkan tidak sempat bertanya karena tiba-tiba semua orang mengerumuniku, membersihkan mukaku, memakaikan make up, hairstyle, gaun, perhiasan, dan sepatu. Segala hal yang langsung membuatku terlihat sangat berbeda. Aku tidak mengenal diriku sendiri saat berdiri di depan kaca.
Diana masuk ke ruangan dan menatapku dari kepala hingga kaki, "jangan kepedean ya, aku hanya butuh tangan dan kakimu saja. Wajahmu tidak dibutuhkan," gumannya sambil memutari tubuhku dan memperbaiki beberapa bagian yang dia rasa tidak pas.
"Kenapa mendadak seperti ini?"
Diana melipat tangan depan dada, dengan salah satu tangannya memegang dagu, "aku sudah bilang akan menyetujui hubunganmu dengan Kenny. Maka aku akan melakukannya melalui hal ini,"
Setelah memberi sentuhan terakhir, Diana langsung memberi isyarat agar semua stand by. "Pemotretan kali ini nyari moment pas dengan matahari terbit, jadi kita harus cepat!"
Kami berjalan ke kebun belakang yang sepertinya sengaja di desain khusus untuk pemotretan outdoor. Sangat indah dan nyaman. Embun pagi menutupi tiap daun pepohonan disana. Dan udara juga cukup dingin karena pakaian yang kupakai lumayan mendukung. Dan sebagai penjelasan, aku mengatakan pada Diana kalau aku sama sekali tidak pernah menjadi model sebelumnya. Tapi Diana hanya mengangguk dan mulai menginstruksikan kameramen untuk memulai.
"Lakukan saja yang aku katakan, ingat, aku bukan mengambil fotomu! Aku hanya mengambil foto sepatu dan perhiasan yang kamu pakai!!" Perintah Diana. Awalnya aku agak kesusahan dan sering di marahi, wajarlah. Namun selanjutnya aku malah malas karena para kru juga terlihat tidak puas dengan apa yang mereka tangkap. Maka aku berpose tanpa memikirkan apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku mencoba menikmati setiap udara pagi, menghirup udara penuh oksigen hingga memenuhi paru-paruku. Menikmati kicauan burung, embun yang bergulir di dedaunan, mengagumi sinar matahari pagi yang mulai menghiasi langit biru.
Tanpa kusadari, Diana menyuruhku berhenti. Aku tidak peduli mau dimarahi atau langsung di pecat. Toh ini bukan keinginanku. Diana berlari dan langsung memelukku.
"Terima kasih!" Aku merasakan pundakku basah saat itu. Mungkinkah seorang Diana menangis hanya gara-gara hal yang tidak bisa kulakukan. "Terima kasih sudah memberikan hasil sempurna melebihi harapanku!"
Aku melongo terkejut. Diana mengajakku melihat hasil fotoku sendiri, semua orang bertepuk tangan dan puas dengan hasil yang kuberikan. Jujur saja aku merasa terharu. Tidak kusangka aku bisa melakukannya hingga membuat orang lain seperti ini. Diana banyak memujiku pagi itu. Apakah hidupku pernah seasyik ini?
Tentu saja, dengan harga dirinya yang setinggi lagi, Diana tidak akan mau berangkat sekolah bersamaku. Setelah berganti pakaian dan menghapus semua make up, aku pun keluar dari gedung itu dan mencari halte bus untuk segera berangkat sekolah. Di halte bus, bukan bus yang kutemui tapi sebuah mobil sedan berwarna maroon dengan pria tampan yang berdiri sambil bersandar di samping mobil itu. Langkahku terhenti, jika aku terus melangkah, maka aku menyetujui apa yang hatiku inginkan. Jika aku berhenti dan berbalik, maka aku menyetujui kenyataan. Dalam hati aku menghitung hingga 10, jika dia melihatku dan berjalan kearahku, maka aku akan mengikuti hatiku. Jika bus datang sebelum hitungan 10, maka aku akan dengan sadar bahwa kenyataan tidak akan selalu bisa mengikuti hati.
Perlahan, aku mulai menghitung. Satu sisi aku berharap dia segera berbalik dan menghampiriku, namun di satu sisi yang lain, aku ingin menghindarinya. Pada hitungan ke-7, bus pun datang dan berhenti di halte. Saat itu juga, Kenny mengangkat wajahnya dan tepat melihat kearahku. Dengan ekspresi geramnya, dia langsung menghampiriku dan memegang pergelangan tanganku dengan erat. Dia menuntunku menuju mobilnya tanpa berkata apa-apa. Hanya diam dan memastikan aku duduk di dalam mobil dengan nyaman. Saat mobil melaju pun Kenny tidak mengatakan apa-apa. Apa ini artinya hatiku akan menang?
Baru saja kami turun dari mobil, pandangan semua orang sudah terarah padaku. Terkejut dan tidak percaya dengan yang mereka lihat. Bisik-bisikan gosip pun mulai terdengar. Sekali lagi, Kenny tidak mengatakan apa-apa. Tanpa mempedulikan bisikan mereka, Kenny menggenggam tanganku dan kami berjalan memasuki sekolah. Tarikan napas tidak percaya memenuhi hall depan saat kami lewat. Di ujung tangga, Lilian sudah menanti kami kemudian cepat berjalan ke arahku, siap menjambak rambutku. Namun dihalangin oleh Kenny.
"Jangan menyentuhnya,"
"Kak Kenny!! Apa-apaan ini!!" Dia menjerit dengan segenap hatinya, urat lehernya tegang, wajahnya memerah dan air mata menggenangi kelopak matanya.
Anggota golden grup yang lain langsung mengerumuni Lilian dan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
"Apa yang terjadi denganmu Kenny?!" Tanya Ricky tidak percaya. Dia berjalan mendekati Kenny ingin merangkul lehernya, tapi dengan cepat Kenny mendorongnya menjauh.
"Ini jam sekolah, jangan mempedulikan hal yang tidak penting dan bersiap masuk kelas!" Ujar Kenny, dia berusaha berjalan keluar dari kerumunan itu, namun tidak ada yang memberikan jalan.
"Kamu tahu, dia bukan cewek yang bisa kamu perlakukan seperti ini setelah apa yang terjadi pada Ryan dulu!" Tahan Ardy, "apa kamu bersikap memelas hingga Kenny merasa kasihan padamu?!" Lanjutan itu di arahkan padaku.
Kenny menarikku ke belakangnya, "mungkin aku saja yang sudah mulai bosan dengan kondisi kita yang terlalu di mengikuti kehendak orang tua," ujar Kenny.
"Hebat sekali!" Suara Ryan dari belakang membuat perhatian semua orang teralihkan. Ekspresinya kembali menjadi Ryan yang dulu, tersenyum, namun dadaku terasa tercabik karena itu. Dia berjalan mendekat, Ruby dan Diana berjalan di belakangnya.
Aku merasa pagi ini akan terasa sangat panas dan heboh.
Ryan berdiri di hadapan kami, dia bahkan tidak melirikku sama sekali. "Apa yang kamu lakukan dengan harga dirimu yang tinggi itu? Membuang sahabat demi wanita seperti dia," tukasnya.
"Ya, aku lebih memilih seperti ini di bandingkan mempertahankan harga diri dan menyakiti diri sendiri!" Balas Kenny. "Aku baru sadar, ternyata bersembunyi di balik harga diri adalah pengecut,"
Situasi terasa semakin mencekam. Lilian terus memberi tatapan menusuk ke arahku. Yang lainnya tidak ada yang mau berkomentar. Mereka hanya memperhatikan dan menunggu saat yang tepat untuk menambahkan.
"Oh, jadi sekarang begini pemikiranmu? Hebat sekali," Ryan mengangguk setuju, dia menggenggam tangan Ruby dengan erat, "lanjutkan saja apapun yang kamu pikirkan itu. Berhenti menemui kami, karena antara kita dan kamu sudah tidak sepaham lagi," Ryan segera pergi dan membuat efek Musa membelah lautan diantara kerumunan siswa yang berkumpul. Aku menatap Kenny yamg tidak bergeming juga saat kerumunan mulai berkurang.
"Kamu yakin ini baik-baik saja?" Tanyaku.
Kenny menatapku, "asalkan kamu mau bersamaku, aku yakin ini akan baik-baik saja,"
Itu adalah ucapan paling romantis yang pernah kudengar seumur hidupku. Diucapkan oleh seorang pria luar biasa yang tidak bisa kupercaya lebih memilihku di bandingkan sahabatnya sejak kecil.
"Dibandingkan mereka, apa aku pantas membuatmu seperti ini?"
"Kita hanya siswa SMA, seharusnya kita lebih menikmati masa muda ini dengan bebas," senyuman Kenny yang luar biasa tersirat di wajah tampannya. Senyuman yang tidak pernah bertengger lama di wajahnya, pagi ini aku bisa menikmatinya. Aaku merasa sangat beruntung.
Kenny mengantarku sampai depan kelas dan mengundang perhatian semua orang. Seorang Fia yang sebelumnya tidak pernah di perhatikan, kali ini dikenal semua orang. Saat Kenny pergi, mulailah segala macam pertanyaan keluar. Mereka mengerumuniku, memberi pertanyaan, komplain, dan beberapa mencakarku. Jika Abigail dan teman-temannya tidak menyelamatkanku, mungkin aku berakhir di UKS lagi.
"Dasar teman-teman kolot! Berhenti bertingkah dan duduk di kursi kalian masing-masing!!" Bentak Abigail. Dia merangkul dan menemaniku hingga duduk di bangku.
"Terima kasih," ujarku.
"Apa jadinya kamu kalau aku nggak ada," tukas Abigail. Suasana canggung lagi, "kelas sudah mulai," dan dia pun duduk di bangkunya.

Ready For Your Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang