Ch. 22

81 2 2
                                    

** selamat membaca **

"Jujur saja, mereka itu sebenarnya baik-baik loh," ujar Tata saat di kamar mandi.
Aku mengerutkan dahi saat mendengar itu, "iya, baik yang bkin takut,"
"Hmm, iya sih. Tapi tetap saja itu baik,"
Tata keluar dari toilet dan mencuci tangannya di wastafel. "Jadi, apa kamu dan Kenny sudah resmi berpacaran?"
Okey, pertanyaan itu membuatku sangat terkejut hingga aku tidak bisa menahan tawa, "apa maksudmu dengan resmi! Kamu yang benar saja kalau ngomong, itu nggak mungkin terjadi! Dia tidak mungkin menghancurkan posisinya demi bersama cewek sepertiku. Itu sangat tidak mungkin!"
Tata menatapku dengan lucu, "oke, aku mengerti. Kamu nggak usah panik begitu juga kali!"
"Habisnya kamu sih ngomongin soal itu terus. Udah tau juga nggak bakal mungkin bisa lebih dari ini, masih aja,"
Tata menyipratkan air melalui tangannya ke arah mukaku, "makanya kamu itu sadar dong! Kita ini masih muda, hubungan kayak begini nggak usah terlalu di pikirin! Kalau saling cinta ya jadian saja, kenapa malah pusing mikirin yang lainnya!"
Entah kenapa ucapan Tata membuatku malu dan tidak bisa menahan tawa, "begitu ya," tukasku.
"Dasar gadis lugu yang nggak peka!"
Tiba-tiba pintu kamar mandi di buka dengan keras, Lilian datang dengan muka merah penuh amarah sambil berjalan ke arahku dan tanpa perkataan apapun langsung menarik rambutku hingga aku jatuh ke lantai.
Tata menjerit kaget saat melihat hal itu, dia berusaha menjauhkanku dari Lilian. Namun cengkraman gadis itu luar biasa keras. Aku menjerit kesakitan namun tidak bisa berkutik.
"Apa yang baru saja kalian tertawakan, dasar cewek jelek tak tau diri!! Setelah kak Ryan, kamu merencanakan apa dengan kak Kenny!!! Sadar diri dong, kamu sama sekali nggak pantas berada di sekitar kita, jangan merasa kelewat spesial ya! Kamu itu bukan apa-apa! Bahkan anjingku masih lebih berharga darimu!!" Marah Lilian sambil terus menarik rambutku dengan kasar. Dari balik tirai rambutku, samar-samar aku melihat Tata berusaha melerai kami. Suara cemprengnya dan kekuatannya yang tidak bisa di percaya berhasil meloloskanku dari cengkraman Lilian.
Tata memeluk tubuhku, "bisa nggak sih ngomongnya damai-damai saja! Nggak perlu jambak-jambak gini kan enak! Jangan karena merasa kayak dan berkuasa, kamu bisa seenakknya saja memperlakukan orang!" Marah Tata. Aku bisa merasakan tubuhnya yang gemetar, jelas saja dia juga pasti ketakutan.
"Memangnya kamu siapa?!" Lilian memberikan lirikan mematikan kearah Tata, "nggak perlu ikut campur buang-buang tenaga, karena apapun itu aku nggak akan dengar!"
"Dan kamu!" Lilian menunjukku, "jangan pernah dekati kak Kenny lagi, aku bisa pastikan kondisimu lebih dari ini!"
"Aku bahkan tidak berniat mendekatinya...,"
"AKU NGGAK MAU TAHU!!!" teriak Lilian. Kegaduhan di kamar mandi ini mengundang perhatian banyak orang. Aku bisa mendengar kegaduhan di balik pintu itu.
"Pokoknya, kamu harus pergi dari sekolah kami! Menghilang!! Kalau perlu, mati saja sekalian!" Ucapnya.
Air mataku terjatuh, bagaimana seseorang bisa segampang ini mengatakan hal itu tanpa memikirkan perasaan orang lain. Tata yang syok hanya bisa mengeratkan pelukannya. Pintu kamar mandi terbuka, yang pertama kulihat adalah wajah khawatir Kenny. Napasnya berburu, keringat membasahi pelipis dan lehernya. Ardy dan Diana menyusul di belakangnya. Banyak sekuriti berjaga di depan dan mendorong orang-orang yang penasaran menjauh dari sana. Riky dengan cepat menutup kembali pintu kamar mandi.
"Kak Kenny!" Suara Lilian berubah menjadi lembut dan dia tersenyuman cerah saat melihat Kenny. Dia langsung merangkul lengan Kenny.
"Apa yang kamu lakukan?!" Tanya Kenny dengan nada geram sambil menatap Lilian.
Diana mendekati dan memeriksa kondisi tubuhku. Aku senang dengan perubahan sikap Diana. Sekarang dia peduli, padahal dulu mendekatpun enggan.
Senyuman di wajah cantik Lilian langsung luntur, "Kakak kenapa nggak membelaku?" Lilian menatap Kenny dengan ekspresi wajah dan nada suara datar.
Kenny mendorong Lilian menjauh darinya dan mendekatiku, "ayo, kita harus segera keluar dari sini!"
"Kak Kenny!!" Lilian mulai berteriak, semua orang menoleh dan melihat tiba-tiba saja Lilian sudah memegang pecahan gelas dan menempelkannya di tenggorokannya.
"Li! Apa yang kamu lakukan!!" Ujar Diana kaget. Ardy yang sedari tadi menjaga pintu langsung mendekat dari belakang, berusaha mencari celah agar bisa mencegah Lilian.
"Jika kakak lebih memikirkan perempuan itu, maka lebih baik aku yang mati!"
Kenny langsung serba salah, dia kembali berdiri dan mendekati Lilian dengan perlahan. "Li, tenang. Kamu hanya sedang emosi, jangan seperti ini!"
"Nggak mau!! Sejak kapan cewek lain lebih berharga dari Lilian!!"
Hal menjadi lebih menegangkan di saat aku merasa semua sudah mulai baik-baik saja. Tata  membantu merapikan rambutku, air matanya menggenang di matanya yang kecil.
"Aku nggak tahu kalau kondisimu bisa sampai seperti ini," isak Tata. "Aku pikir kamu senang karena di keliling anak-anak orang kaya. Maafkan aku," bisiknya sambil terus merapikan rambutku.
Aku hanya bisa tersenyum lemah, "aku sudah biasa seperti ini, Ta," candaku.
Kenny berhasil mengalihkan perhatian Lilian, sehingga Ardy dengan cepat menangkap tangannya dan menjauhkan pecahan kaca itu dari tubuh Lilian. Setelah itu Lilian langsung menangis  karena tidak terima dengan perlakuan mereka. Kenny mendekati Lilian dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Melihat hal itu membuatku menyadarinya, rupanya aku memang terlalu berlebihan dan tidak menyadari posisiku.
"Ayo kita pergi dari sini," bisikku. Tata baru saja akan membantuku berdiri, pintu kembali terbuka. Kali ini, Ryan masuk dengan ekspresi datar. Terlihat kerumunan orang di depan sudah hilang. Aku hanya melihat Ruby yang berdiri tenang di luar kamar mandi sambil melipat tangannya. Dia bahkan tidak menoleh ke arah kami. Ryan mendorong Kenny menjauh dan menarik Lilian ke arahnya. "Kembali ke ruang ganti! Apa kamu ingin menghancurkan karirmu dengan gosip murahan seperti ini!!" Bentak Ryan. Lilian menunduk dengan penuh rasa bersalah. Diana pun menemaninya keluar dan menemui Ruby. Aku tidak tahu apa lagi yang Ruby katakan padanya, yang pasti Lilian hanya menunduk lemah. Seolah dia tidak berdaya di hadapan raja dan ratu mereka.
"Dan kau!" Kali ini Ryan berjalan kearahku dan memegang tanganku, memaksaku untuk berdiri dan ikut dengannya. Tata sampai terjatuh karena hal itu. "Kamu harus ikut denganku!"
"Tunggu sebentar!" Kenny memegangi tanganku yang satunya. Aduh, posisi canggung ini sangan memalukan. "Kenapa dia harus ikut denganmu! Dia harus bersamaku!" Tambah Kenny.
"Berhenti ikut campur dengan urusanku dengannya!" Ujar Ryan. Mereka akhirnya saling bertukar tatapan maut dan masing-masing mengeratkan genggamannya hingga aku merasa kesakitan.
"Aauu~," bisikku sambil meronta perlahan. Namun tidak ada yang sadar.
"Berhentilah kalian berdua!!" Ardy langsung menegahi dan membuat mereka berdua melepaskanku. "Aku sama sekali nggak ngerti istimewanya cewek ini sampai kalian bertingkah sangat konyol!" Ardy hanya bisa marah sambil menggeleng tidak percaya. "Kalian sama-sama tahu, cewek kayak dia nggak akan bisa lolos seleksi orang tua. Bahkan hanya untuk bersenang-senang selama masa sekolah pun nggak akan bisa! Terlebih lagi kamu, Ryan. Apa yang akan kamu lakukan dengan Ruby. Bukankah kalian saling mencintai jauh sebelum cewek ini muncul?!" Mendadak Ardy menjadi sangat bijak sekaligus marah. "Kamu bisa saja mendapatkan semua hal yang kamu mau dalam sekejap. Orang tuamu yang luar biasa baik itu tentu saja ingin yang terbaik untukmu. Namun dalam hal ini, bukan persetujuan orang tua yang kamu takutkan. Hanya saja, kamu memang tidak bisa melepaskan Ruby. Kamu menyukai sikap Fia yang berbeda, tapi aku yakin kamu hanya sayang kepadanya. Kamu hanya kasihan padanya dan berpikir kalau kamj mulai menyukainya. Karena itu berhenti buat Ruby sakit hati, dia sudah menunjukkan sifat yang tidak pernah dia keluarkan sebelumnya, kamu belum puas juga?!"
"Ke--kenapa kamu malah sok jadi orang tua begini sih! Seolah kamu paling tahu semua saja!" Kali ini amarah Ryan terlihat berbeda. Dia gugup, karena sepertinya ucapan Ardy banyak benarnya.
"Tentu saja dia yang paling benar!" Riky yang entah muncul dari mana langsung menambahkan, "berhenti bersikap sok cool dan perlakukan Ruby dengan baik. Dalam hal percintaan, kamu nggak bisa terlihat lebih hebat dari kami!"
Semua orang terdiam, menatap satu sama lain. Aku dan Tata ingin sekali segera pergi dari sana. Namun suasana sangat canggung jika kami langsung beranjak pergi begitu. "Kalian pulanglah, nggak akan ada yang menawarkan untuk mengantar kalian pulang. Banyak hal penting yang harus kami diskusikan. Tapi bukan di sini, tentu saja," tukas Ardy.
Aku hanya menangguk dan segera keluar bersama Tata. Suasana canggung itu benar-benar membuatku sulit bernapas. Kami berjalan menyusuri trotoar menuju tempat pemberhentian bus. "Kita istirahat di cafe yuk, perasaanku terasa aneh karena kondisi tadi," ajak Tata. Aku mengiyakan karena memang aku juga butuh suasana untuk menenangkan diri. Kami masuk di sebuah cafe dan segera memesan minuman. Selanjutnya kami hanya duduk berhadapan dan diam. Tak ada yang ingin kita bicarakan. Hanya diam dan mencoba untuk menenangkan hati.
"Padahal kita hanya siswi SMA yang ingin merasakan indahnya kisah kasih remaja. Kenapa bisa jadi seribet ini sih," guman Tata.
Aku menghela napas panjang, "sebenarnya semua akan baik-baik saja kalau orang yang kita sukai bukan mereka,"
"Apa yang akan kamu lakulan? Pindah sekolah?"
"Entahlah, tinggal setahun lagi. Rasanya sayang kalau harus pindah sekolah,"
"Tapi satu tahun bukan waktu yang cepat, karena kamu harus menghindari mereka semua saat di sekolah,"
"Mudah saja, aku tinggal mengulang segala yang kulakukan sebelum bertemu mereka. Datang sepagi mungkin, istirahat di kelas, dan pulang saat sekolah kosong. Aku bisa melakukannya,"
"Memikirkannya saja membuatku semakin kasihan padamu. Kenapa harus secapek ini,"
Aku hanya bisa tersenyum masam memikirkan itu semua. Jujur saja, meskipun melelahkan, tapi aku merasa senang. Kapan terakhir aku merasakan masa sekolah yang penuh ketegangan dan debaran jantung seperti ini. Setidaknya masa sekolahku tidak hanya di pusingkan dengan tugas yang menumpuk.

Ready For Your Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang