Ch. 24

87 2 0
                                    

**  selamat membaca!!  **

Tidak pernah ada pernyataan tentang soal 'aku menyukaimu, jadilah pacarku' antara kami. Tiba-tiba saja kami sudah sering berjalan bersama dan banyak kencan rahasia. Selalu berhasil menemukanku saat Diana menculikku, atau terkadang kencan di pinggir sungai terpencil di belakang rumah Tata. Bahkan seorang Kenny yang tidak bisa di percayai mau duduk bersebelahan denganku saat aku sedang mencuci pakaian. Namun saat di sekolah, tidak ada yang bersikap baik. Kenny tetap menatapku dengan tatapan dinginnya dan menolak untuk bicara denganku. Lilian terus bergelantungan di lengan Kenny, selalu berusaha menunjukkan kalau Kenny adalah miliknya. Memberikan lirikan penuh kemenangan jika berpapasan denganku. Sebenarnya aku tidak masalah dengan hal itu, meski terkadang kesal juga. Aku hanya menyadari posisiku.

Hubungan kami terlalu mulus sampai terkadang aku takut sendiri. Sore itu saat Kenny berjanji akan menemuiku di cafe yang ada di depan studio Diana, bukan Kenny yang kutemui tapi Lilian dan ibunya Kenny. Lilian memberian tatapan meremehkanku.
Apa maksudnya ini?
"Duduklah," tukas ibunya Kenny.
Aku duduk di hadapan mereka dengan ragu-ragu. Jantungku berdegup keras hingga jemariku ikut gemetar.
"Aku bisa mengerti ekspresi itu," jawab Lilian puas. "Tapi sayang sekali, sejak awal bukan kak Kenny yang mengajakmu kemari," tambahnya.
Aku hanya menatap dua wanita itu dalam diam.
"Kami tahu apa yang selama ini kamu dan Kenny lakukan. Jangan pikir kalian berhasil melakukannya dengan diam-diam," jelas ibunya Kenny dengan pandangan yang menusuk.
Aku tetap tidak menjawabnya dan hanya tertunduk. Berusaha menebak apa yang mereka inginkan.
"sudah cukup waktu yang kuberikan untuk kalian berdua bermesra-mesraan sebagai kekasih yang berniat melawan dunia. Namun sekarang waktunya sudah selesai, ini waktunya kalian berpisah. Aku tidak rela anakku harus bersama seseorang sepertimu. Karena aku sudah memilih Lilian yang akan menjadi calon istri Kenny,"
Aku hanya mendengarkan, tidak terkejut, tidak ingin membantah atau apapun itu. Aku hanya menyadari kalau memang seperti inilah seharusnya kenyataan.
"aku mengerti, terima kasih atas waktu yang anda berikan. Akan kugunakan beasiswa itu sebaik mungkin,"
Tiba-tiba Lilian menampar pipiku, "aku nggak suka ekspresimu!! Apa-apaan itu! Kamu pikir kak Kenny barang yang aku pinjamkan!!" ibu Kenny tidak berkomentar ataupun menghentikan sikap Lilian. Apa mereka terbiasa dengan sikap kasar anak-anaknya.
Aku langsung berdiri dan menatap Lilian dengan tajam, "memangnya apa yang terjadi kalau aku menangis dan merengek untuk tidak di pisahkan dengan Kenny?! Apa kalian akan memberikannya padaku dan berhenti mencampuri urusan kami?! Toh apapun yang aku lakukan, tidak berpengaruh, kalian tetap mencari kesalahanku dan membuatku tidak bisa membalasnya!"
Lilian terdiam. "aku akan menerima tawaran kalian, pergi jauh tanpa di ketahui siapapun. Aku akan menghilang. Karena itu, berhenti berusaha mencari celah untuk menyusahkanku!"
Dan aku pun pergi. Aku berjalan keluar tanpa menoleh ataupun memperhatikan kata-kata penuh kekesalan yang di ungkapkan oleh Lilian.

Berbagai pelajaran tambahan, ujian persiapan,  ujian sekolah, dan segala latihan soal membuat masa akhir sekolah terasa berat dan tidak ada waktu luang untuk tidur dengan nyaman. Aku dan Kenny benar-benar tidak pernah bertemu sejak aku bertemu ibunya dan Lilian. Bukannya aku menghindarinya, namun alasan ujian bemar-benar ampuh sebagai tameng untuk berhenti menemuinya. Padahal kami semua sangat takut dengan ujian hingga tidak bisa berhenti belajar. Namun anak-anak golden grup itu sepertinya mewarisi gen yang luar biasa, mereka tetap bermain seperti biasa dan tidak pusing memikirkan ujian yang tinggal beberapa. Aku berusaha keras agar bisa berkonsentrasi belajar. Setiap hari berusaha melakukannya, Setiap hari juga aku dikalahkan oleh perasaan rindu yang membuat dadaku terasa sesak. Aku hampir tidak bisa mencerna semua pelajaran.
Aku menahan diriku untuk tidak bertemu Kenny, setiap hari menahan rindu. Ingin rasanya memberontak, namun aku lebih berpikir jernih dan mengutamakan ujian akhir. Kenny sering datang kerumahku. Namun, aku hanya mengintip dari jendela kamar. Aku takut jika aku berada di dekatnya aku tidak bisa menahan diri. Pernah sekali Kenny menerobos masuk ke dalam rumah. Aku langsung mengunci pintu kamar dan menahan isak tangisku saaat dia memanggil namaku.
"apa kesalahan yang aku lakukan sampai kamu seprti ini!! Tolong jangan menghindar, temui aku dan katakan semuanya dengan jelas di hadapanku! Kalau kamu ingin berpisah, kita akan berpisah asalkan kamu mengatakannya secara langsung!" Kenny bicara dengan nada penuh amarah. Dia menggedor pintu kamarku dengan kasar.
"katakan sesuatu, Fi!! Aku mohon," nada suara Kenny berubah. "Fia!"
Aku terduduk sambil bersandar di pintu, kedua telapak tanganku mendekap mulutku dengan erat. Air mata sudah membasahi wajahku. Selanjutnya aku mendengar ibu berbicara dengan Kenny.  Suara mereka semakin menjauh dan aku tidak mendengarnya lagi. Setelah itu, Kenny tidak pernah datang lagi.
Ujian nasional akhirnya tiba. Siap atau tidak, kami harus bertempur dengan soal-soal yang menjadi penentu kelulusan kami. Untung saja, selama ujian pikiranku bisa teralihkan. Tapi jika jam pulang dan aku melihatnya dari kejauhan, berjalan bersama teman-temannya. Berbicara, tertawa, dan menjalani hari seperti biasa. Sebaliknya aku hanya bisa terpaku pada pemandangan yang tak akan pernah bisa kudekati lagi. Rangkulan manja Lilian pada Kenny membuat dadaku semakin bergejolak. Senyumam tipis yang di tunjukkan Kenny saat Lilian bercanda manja padanya membuatku semakin tidak bisa menahannya. Aku berlari secepat mungkin keluar dari gerbang sekolah, menuju tempat dimana aku bisa melampiaskan kesedihanku.
"Fia!" panggil Abigail. Aku tahu kami seharusnya pulang bersama, tapi aku tidak bisa.
Aku terus berlari, tidak tahu arah. Hanya mengikuti naluriku. Lurus atau berbelok sesuka hati, berlari hingga kelelahan dan akhirnya tangisanku pecah. Aku tidak pernah tahu kalau perasaan cinta bisa lebih menyiksa daripada soal ujian nasional yang mustahil.
"aku bahkan nggak berhak untuk sesedih ini! Kenapa kamu juga nggak mau bekerja sama denganku!!" jeritku sambil memukul dadaku sendiri. Aku terduduk lemas di pinggir jalan yang sepi, tertunduk lemas dan membenamkan wajah di antara lututku. Tangisanku tidak kunjung berhenti. Semakin aku mengingatnya, semakin keras aku terisak.
"ah, apa yang harus kulakukan," aku berusaha menegadahkan kepalaku, berharap air mata ini berhenti mengalir. Sembari menarik napas dalam-dalam agar aku merasa lega. Tapi itu tidak begitu membantu. Bisa kurasakan mata, bibir, dan hidungku mulai membengkak. Ponselku berdering. Nama Abigail tertera di layarnya.
"halo," jawabku dengan suara sengau.
"kamu dimana! Jangan nangis sendiri-sendiri gitu napa!" marahnya.
"aku lagi pengen sendiri, Abi,"
Abigail menghela napas kesal, "baiklah, tapi jangan terlalu larut. Besok masih ada ujian terakhir," dia berusaha membuat kenyataan menjadi candaan yang kaku.
Mau tidak mau aku pun tertawa, "aku mengerti. Terima kasih,"
Aku memutuskan sambungan dan melihat mobil yang lewat berhenti di hadapanku. Awalnya aku tidak mempedulikannya. Tapi saat Kenny turun dari mobil itu, aku langsung mengemasi barangku dan berlari dari sana. Bagaimana bisa aku membiarkannya melihat kondisiku. Dan aku kalah cepat. Kenny berhasil mengejarku dan menarikku dalam pelukannya.
"tolong berhenti bersikap seperti ini," bisiknya sembari mengeratkan pelukannya. "tolong berhenti melarikan diri dan bicara denganku. Karena bukan hanya kamu yang tersiksa. Aku pun merasakan yang sama!" lanjutnya. Suara dan hangat tubuh yang kurindukan, kubenamkan wajahku dalam pelukannya saat air mata yang sempat terhenti itu kembali mengalir.

Kami duduk di pinggir trotoar, Kenny terdiam sambil memperhatikanku. Menunggu tangisanku reda.
"apa kamu nggak masalah duduk disini?" tanyaku dengan suara yang semakin sengau.
Kenny menghela napas panjang sambil membersihkan kotoran di tangannya yang mulus, "sebenarnya aku nggak suka ini. Duduk seperti gembel dan mengotori diri. Tapi kalau kamu merasa lebih nyaman disini, aku akan berusaha nggak ada masalah,"
Ekspresi wajah Kenny sangat jelas kalau dia benci duduk disana. Tapi dia menahannya. Aku mengambil buku dari dalam tas, merobek kertasnya, "bangun dulu, kamu pake alas ini saja biar celananya nggak kotor,"
Kenny berdiri dan melihat celananya kotor, dia bahkan tidak berniat membersihkannya dengan tangannya itu. Aku tertawa lucu dan menepuk celananya hingga bersih. Dia langsung tersipu malu saat aku memperlakukannya begitu. Setelah itu, dia pun duduk beralaskan kertas yang kuberikan.
"kamu nggak pake alas?" tanyanya.
"nggak perlu. Aku sudah terbiasa begini," bisikku sambil menatap wajah sempurna Kenny. "apa yang kamu suka dariku?" tanyaku.
Kenny balas menatapku, "sifatmu,"
"sifatku?"
"iya, cewek mandiri yang bisa melakukan semuanya sendirian. Cewek yang tetap berjalan tegap meskipun hanya berdiri sendiri. Cewek pemberani yang selalu memikirkan orang lain sebelum memikirkan dirinya sendiri," jelas Kenny sambil menatapku dengan pandangan yang bisa membuatku meleleh seketika.
"memangnya aku seperti itu?"
"dan wajah bengkakmu sehabis menangis sangat lucu!" tukas Kenny sambil tertawa. Aku langsung panik dan menyembunyikan wajahku. "aku sudah lihat, percuma di sembunyikan!" Kenny berusaha menjauhkan tanganku. Dan aku mendapati diriku kembali bersimbah air mata.
Suara tawa itu langsung menguap, "sebaiknya kita berhenti bertemu saja," gumanku dalam isak tangis. "aku nggak tahan kalau harus seperti ini. Jika pada akhirnya kita nggak bisa bersama, apa gunanya kita berjuang seperti ini. Disaat masa depanmu sudah jelas, sementara aku bukan apa-apa,"
Kenny memegang pipiku dengan lembut, "maafkan aku karena bersikap pengecut, aku nggak bisa mengutamakan dirimu. Apa dayaku yang belum bisa lepas dari pengaruh orang tuaku,"
"bukankah itu wajar? Kita masih siswa SMA yang butuh orang tua kita. Memberontak pun bukan hal yang bisa kita lakukan,"
Tiba-tiba Kenny mendekatkankan wajahnya ke wajahku. Bibir merah Kenny bertemu dengan bibirku. Kehangatan aneh yang belum pernsh kurasakan sebelumnya, bercampur dengan air mata. Ciuman pertamaku terasa basah, asin, namun hangat. Ciuman pertama yang tidak akan pernah kulupakan. Aku bisa merasakan cinta Kenny tersalurkan.
"kita akan bertemu lagi saat aku sudah cukup hebat untuk berdiri sendiri. Aku akan menunggumu dan menemukanmu untuk diriku sendiri," bisik Kenny.
"apakah kamu bisa menungguku? Disaat Lilian sudah ada disampingmu selama ini,"
"akan kulakukan segala cara untuk menghindari hal itu. Aku bersumpah hanya menerimamu sebagai pengantinku,"
Begitulah percakapan terakhirku dengan Kenny. Hingga pengumuman kelulusan kami tidak pernah bertemu lagi. Tidak ada foto kelulusan bersama meskipun Abigail sudah memaksaku untuk berfoto bersama Kenny saat Diana menghampiriku. Malah Ardy yang menarik Kenny dari cengkraman Lilian yang dahsyat dengan alasan berfoto bareng teman sekelas. Canggung sekali rasanya saat melihat Kenny. Aku berusaha tersenyum sambil menekan ujung lidah ke langit-langit mulutku, berharap hal itu bisa menahan tangisanku. Saat Lilian lengah, Ardy berhasil mendorong Kenny ke arahku dan Abigail sukses mengabadikan momen kami. Kenny merangkul pundakku. Dan di foto itu kami berdua tersenyum bahagia. Siap menjalani hari-hari yang bisa membuat kami pantas bersanding di masa depan.
Antara aku dan Kenny, tidak saling memberitahu kemana kami akan melangkah selanjutnya. Hanya sebuah senyuman dan jabatan tangan ringan yang menjadi salam perpisahan kami.

Hari keberangkatanku ke Swiss penuh dengan air mata. Melihat adik-adikku yang masih kecil harus diurus ibu sendirian. Tata dan Abigail tak berhenti memelukku sambil menangis. Bajuku sampai basah oleh air mata dan ingus mereka. Padahal saat itu Abigail juga akan kuliah di Australia. Waktu keberangkatan kami sama, hanya berbeda gate saja. Tata cukup dengan kuliah di kampus terdekat. Dan Diana, dia berencana melebarkan sayap dengan kuliah fashion di Paris. Aku tidak percaya dia mau mengantar kepergianku. Dia bahkan memberikan satu koper baju kepadaku. Dan itu membuat Tata dan Abigaik iri, tapi ternyata Diana juga sudah menyiapakan beberapa hadiah untuk mereka. Kesedihan pung hilang, bercampur dengan kegembiraan. Tata berjanji akan sering-sering berkunjung ke rumahku dan membantu ibuku menjemput dua cecungguk kesayanganku.
Saat harus masuk ke ruang tunggu,, aku memeluk Diana dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan yang entah secara sengaja atau tidak sengaja dia lakukan buat keluargaku dan juga aku sendiri. Selanjutnya kupeluk erat ibuku yang sudah bekerja keras selama ini, kedua adikku yang sudah mulai mengerti kalau mereka harus mandiri.
"kamu ke sana juga nggak ndeso kali, jadi cukup kangen-kangenannya dan pergi sana!" tukas Diana saat aku tak kunjung berhenti bicara dengan keluargaku. Dan begitulah akhirnya aku segera masuk ke ruang tunggu.
Sampai jumpa Indonesia, aku pastikan saat kembali aku akan jadi orang yang lebih hebat dari sekarang.

Ready For Your Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang