Ch. 9

106 4 2
                                    


** Selamat membaca! 😊 **

Aku menatap rumah mewah nan megah itu dengan tatapan --tentu saja dia tinggal di rumah sehebat ini-- dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal, "Dia hidup di rumah seglamor ini sejak kecil. Pantas saja,"
"Mari silakan masuk, nona," seorang pelayan menghampiriku dan memintaku untuk mengikutinya. Jangan di tanya lagi bagaimana bagian dalam rumah itu. Rasanya debu pun bisa di jual dengan harga yang luar biasa mahal. Kami terus berjalan, menaiki eskalator sampai lantai ke-2. Pelayan itu mengantarku sampai ke taman yang ada di balkon. Kemudian menyuruhku untuk menunggu disana. Sambil menunggu ku perhatikan sekeliling, halaman yang kulihat cukup luas untuk bisa bermain sepakbola. Dari balkon itu, aku bisa merasakan hembusan udara pagi yang dingin disertai embun. Aku mencoba berjalan berkeliling, hingga akhirnya aku merasa lelah dan duduk di sebuah bangku. Rupanya udara serta posisi duduk di bangku itu terasa sangat nyaman, sehingga tanpa kusadari akupun tertidur. Gonggongan anjing yang keras langsung membuatku terkejut hingga terjatuh dari bangku. Cara membangunkan yang sangat fantastis. Ditambah lagi anjing itu kelewat jinak, sampai melompat kearahku. Sialnya lagi, kaki belakang anjing itu tepat bertumpu pada lukaku yang sudah berulang kali berdarah kembali. Dan tentu saja akibat anjing jinak itu, cukup menyakitkan hingga membuat kakiku kram.
"Sekarang kamu sudah sadar?" Ujar Ryan sambil menarik anjingnya menjauh.
Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajah yang dilihat oleh Ryan, yang aku tahu hanya aku sedang berusaha terlihat kuat meskipun kakiku terasa mati rasa. Kalau aku terlihat lemah, dia akan semakin menyiksaku. "Kurasa begitu," jawabku pelan.
"Bagus! Sekarang bangun dan temani aku keluar!" Lanjutnya sambil melempar tali pegangan anjingnya kepadaku.
Okey, sekarang aku penjaga anjingnya. Kami turun melalui eskalator, karena masih kesakitan, aku hampir tepeleset karena menginjak bagian ujung tangga eskalator itu. Syukur saja aku masih sempat berpegangan.
Ryan mendengus sinis saat melihatku, "bahkan anjingku masih lebih lihai darimu,"
Begitu sampai di halaman depan, anjing itu langsung berlari kesana kemari dengan lincah. Dengan kondisi kakiku yang tidak memungkinkanku untuk bertumpu kuat, aku jadi ikut terseret. Bajuku kotor, dan beberapa lecet kecil di wajah dan lenganku. Tapi Ryan tidak berbuat apa-apa. Dia hanya melirikku sebentar dan melanjutkan jalannya. Saat aku sedang membersihkan wajah dan bajuku, sebuah mobil melaju pelan memasuki halaman rumah Ryan.
Mobil itu berhenti tepat di depan Ryan, sopir segera turun dan membukakan pintu. Saat pintu terbuka, wangi yg luar biasa menerobos keluar. Ruby turun dari mobil dengan anggun. Matahari bahkan belum memunculkan sinarnya, namun Ruby sudah sangat cantik dan fresh seperti embun pagi. Bagaimana caranya menjaga tubuhnya seperti itu.
Saat melihatku, Ruby langsung mengerutkan dahinya. Terdiam sejenak, kemudian langsung bersin bersin. "Ada apa dengan cewek ini??" Tanya Ruby sambil menjauh.
"Aku sedang malas mengajak momo jalan-jalan,"
"Kamu bisa menyuruh pelayan atau penjaga kebun untuk menjaganya!"
"Aku tidak memikirkan itu," jawab Ryan santai. "Duduklah, aku bahkan belum mandi tapi kamu sudah sesegar ini," lanjutnya.
Ruby melipat tangannya dan menatapku, "ingat batasan yang kuberikan, Ryan. Kubiarkan kamu bertindak konyol, jangan pernah melewati batas!"
"Aku mengerti," guman Ryan dengan ekspresi datar sambil memanggil anjingnya.
"Tidak ada yang bisa mengubah akhir dari keadaan ini, kamu sudag tahu pasti akan hal itu," tukas Ruby sambil meninggalkan kami.
Perlahan sinar keemasan dari sang surya mulai muncul. Kulirik jam tanganku, sudah pukul 5:15. Jika aku tidak bersiap, bisa-bisa aku terlambat sekolah.
"Apa tugasku sudah selesai?" Bisikku pelan.
Ryan berbalik, "mandikan momo, setelah itu kamu boleh pulang," ujarnya sambil meninggalkanmu. Kutatapan gumpalan bulu dengan air liur yang sibuk berlari kesana kemari begitu Ryan melepaskan ikat lehernya. Aku langsung bisa tahu, kalau hari ini aku akan sangat terlambat ke sekolah.
Begitu kupanggil namanya, anjing itu segera berlari ke arahku. Syukur saja dia termasuk jinak meskipun hyperactive. Aku tidak tahu harus memandikannya dimana, jadi aku berkeliling dan bertemu seorang lelaki tua yang sedang menyapu halaman. "Selamat pagi pak, dimana aku bisa memandikan momo?"
Lelaki tua itu menghentikan pekerjaannya dan menatapku dari ujung rambut hingga kakiku. Mungkin untuk beberapa saat dia berpikir aku pemulung. "Kalau boleh tahu, nona siapa? Bagaimana bisa kemari?"
"Ryan yang memintaku kemari, untuk satu dan banyak alasan yang tidak jelas, aku harus selalu menuruti keinginannya," jelasku acuh.
"Tuan Ryan?" Nada suara lelaku tua itu terdengar heran.
"Iya! Kalau bapak tidak percaya, tanyain saja,"
Lelaki tua itu termenung sejenak, bukannya curiga, tapi ekspresi wajahnya lebih ke tidak percaya. Mungkin mengundang orang sepertiku datang ke istana ini merupakan kejadian luar biasa. "Biarkan saja nona, nanti saya yang akan membersihkannya. Berikan pada saya," ujar lelaku tua itu sambil meninggalkan sapu yang dipegangnya dan meraih kalung leher momo.
"Pak, kalau boleh aku bisa sekalian numpang mandi tidak? Tapi jangan bilang siapa-siapa," tanyaku.
"Mandi?"
"Aku harus ke sekolah, tapi lihat baju dan mukaku, kalau begini terus bagaimana bisa aku ke sana. Kalau tidak segera siap-siap, aku bisa terlambat," jelasku lagi, tapi di tambah efek sedikit memelas dan kasihan.
"Baiklah kalau begitu, nona ikut saya saja. Sekalian kita bawa momo. Nona bisa pakai kamar mandi pembantu di belakang," ujar lelaki tua itu sambil mengajakku. Sambil berjalan, banyak hal yang beliau tanyakan. Lebih banyak tidak percaya dengan sikap Ryan yang aneh karena bukan hal yang biasa dia lakukan. Sesampainya di tempat para pelayan, semuanya sudah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Kami berjalan dari belakang dapur, dari jendela aku bisa melihat kesibukan dapur yang luar biasa. Yang memasak bukan sembarang orang, sepertinya chef hebat yang ada disana.
"Pak warto!" Seseorang berteriak.
Kami sama-sama menoleh mencari asal suara itu. Terlihat ibu-ibu dengan badan cukup lebar, berjalan ke arah kami sambil membawa tumpukan handuk.
"Ada apa bu?" Tanya lelaki tua yang ternyata bernama Warto itu.
"Ini loh pak, si momo katanya mau di bawa ke salon saja. Nona Ruby bilang ini waktunya dia di vaksin. Jadi tidak usah di mandiin dulu," jelasnya.
"Ke salon? Baik kalau begitu bu, makasih."
Pandangan ibu itu teralih padaku, "terus, eneng sebaiknya segera bersiap-siap ke sekolah. Setelah itu bareng sama saya metik bunga di kebun,"
Dahiku mengerut, jadi sekarang aku benar-benar seorang pelayan. "Kebunnya tidak jauh kok, neng. Nanti saya tungguin neng,"
"Metik bunga untuk apa bu?"
"Nona Ruby tiap pagi selalu mengganti bunga-bunga di dalam rumah ini dengan bunga segar. Jadi katanya harus eneng yang nyari. Tapi nanti saya juga ikut,"
Aku menghela napas lagi. Pundakku langsung melorot lemas. Apa-apaan ini. Seolah mereka sedang berusaha membuatku terlambat ke sekolah. Namun jika aku terlambat, maka aku akan semakin di remehkan. Karena itu aku segera pergi ke kamar mandi,  membersihkan wajahku, mengganti pakaian, dan segera keluar begitu semuanya beres.
"Cepat sekali, neng,"  ujar pak Warto yang ternyata masih bersama momo.
Aku tertawa, "kalau tidak buru-buru aku bisa terlambat. Ibu yang tadi mana pak?"
"Bik Siti? Langsung aja ke belakang neng, nanti lihat ada rumah kaca masuk aja disana,"
Aku mengangguk dan segera berlari pelan ke arah yang di tunjukkan oleh pak Warto. Rumah kaca yang di maksud ternyata sangat indah. Dari luar saja aku bisa melihat berbagai bunga warna-warni tumbuh di sana. Kulihat ibu Siti sedang membuka pintu rumah kaca itu.
"Bibik," panggilku.
"Loh neng, cepet banget mandinya," tukasnya, "ayo cepat masuk,"
Aku mengikutinya masuk ke dalam, "bunga apa yang mau di petik, bik?"
"Biasanya tuan sama nyonya suka bunga mawar, tulip, sama bunga matahari. Neng petik bunga tulip ya,"
Memetik bunga ternyata tidak semudah yang aku pikirkan. Kita harus memotongnya selembut mungkin agar tidak mengganggu pertumbuhan bunga di pohon yang sama. Aku memetik tiga tangkai bunga, kemudian merangkainya bersama bunga yang di petik oleh bibik Siti.  Menyatukan bunga-bunga indah itu ternyata sangat menyenangkan, tanpa kusadari aku terlarut brgitu saja pada kegiatan itu. Ketika selesai, bibik Siti menepuk pundakku dengan bangga.
"Bagus sekali!! Ternyata kamu pandai merangkai bunga ya,"
Aku tersenyum puas melihat hasil karyaku disukai oleh orang yang baru saja kukenal. Dan kesenanganku harus berubah menjadi kekhawatiran saat aku menyadari waktu telah berlalu dengan cepat. Waktu sudah menunjukkan pukul 06:30, setengah jam lagi, pelajaran pertama akan dimulai.
"Ya ampun, aku sudah hampir terlambat ke sekolah!" Tukasku dengan gugup.
"Kalau begitu kamu harus segera pergi! Jangan sampai terlambat," ujar bibi Siti sambil mendorongku keluar dengan buru-buru.
Kami bersama-sam berlari keluar dengan terburu-buru. Bibi Siti bahkan mengantarku sampai pintu gerbang. Namun langkah kami terhenti saat mobil Ryan berhenti di hadapan kami. Perlahan kaca jendela itu terbuka dan wajah Ruby kulihat yang pertama.
"Apa kamu sudah menyelesaikan tugasmu??" Tanyanya.
"Sudah ndoro putri, ini bunga yamg di rangkai sendiri sama neng Fia," ujar bibi Siti sambil memperlihatkan rangkaian bunga yang dia bawa.
Ruby memperhatikan bunga itu kemudian mengangguk pelan, "lumayan buat seseorang sepertimu," dan mobil itu langsung melaju pergi tanpa ada basa basi lagi.
"Neng juga cepet pergi sekarang, nanti terlambat!!" Ujar bibi Siti. Aku pun langsung berpamitan dan berlari keluar dengan terburu-buru. Sialnya lagi, perban yang kupasang sendiri tidak terikat dengan rapi sehingga ketika aku berlari perban itu mulai terlepas. Benar-benar menghambat. Terlebih saat aku melihat bus sudah tiba di halte, aku masih terlalu jauh. Kupaksakan kakiku melangkah dengan cepat, lumayan menyakitkan karena lukaku belum sempat mengering dengan baik. Tapi aku berhasil naik bus. Selama bus melaju, aku memperhatikan bayangan diriku di jendela bus. Bahkan aku sendiri malu melihatnya. Perban dan rambutku seolah sedang berlomba yang mana yang lebih berantakan. Aku mengambil kursi kosong di paling belakang, kemudian merapikan perban, menyisir rambutku dan sedikit berkaca untuk melihat bagaimana kondisi wajahku.
Lumayanlah.

** Terima kasih udah terus update membaca 😆 **

Ready For Your Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang