Ch. 8

111 2 0
                                    


** New update guys....thank you yang udah mau ttp baca 😄

Selamat membaca**

Dengan keadaan kakiku itu, rasanya perjalanan sangat jauh dan lama. Bahkan untuk pergi ke mini market yang hanya berjarak 100 meter saja terasa berjalan sejauh 1 kilometer. Setelah membeli kebutuhanku, aku kembali berjalan menuju rumah yang jaraknya dua blok dari situ. Yah, lumayan melelahlan dengan luka seperti ini. Alhasil, sudah cukup jelas. Sampai di rumah, kakiku membengkak dan sedikit darah mulai keluar.
"Ya ampuun, apa yang terjadi padamu??" Ujar ibuku saat aku masuk ke dalam rumah.
Aku tersenyum sambil meringis, "tadi ada sedikit kecelakaan di tempat kerja. Tapi sekarang sudah baik-baik saja."
"Apanya yang baik-baik saja," jerit ibuku sambil memapahku untuk duduk di sofa, "perbanmu sampai penuh darah begini. Tunggu sebentr, ibu akan ambilkan alkohol untuk membersihkannya," beliau langsung pergi mengambil kotak obat. Tiba-tiba aku ingat kalau aku belum mengembalikan jaket milik Kenny. Aku segera melepaskannya dan melihatnya dengan baik, syukur saja tidak ada noda darah disana. Ibuku datang sambil mencoba memberikan perawatan sebisanya.
"Ma, aku bisa minta tolong cucikan jaket ini? Dikucek aja, baik-baik jangan sampe pudar, atau sobek, ato rusak apapun itu ya," ujarku.
"Ada apa dengan jaket ini? Kok kayaknya spesial banget?" Tanya ibuku sambil melirik sebentar kemudian kembali fokus pada lukaku. "Ugh, bagaimana kamu bisa luka seperti ini, nak!" Guman ibuku.
"Jaketnya memang spesial, kalau ga kayak gitu, bisa-bisa besok aku pulang tinggal nama," lanjutku Beliau tertawa, terdengar seperti candaan di telinga ibuku. Padahal itu adalah kenyataan.
"Nak, apa sebaiknya kamu berhenti saja bekerja malam-malam? Akhir-akhir ini sepertinya banyak hal buruk menimpamu. Dan selalu berakhir cukup parah pada tubuhmu. Bagaimana tubuh seorang gadis yang baru beranjak dewasa bisa sering terluka seperti ini. Tiap malam melihatmu pulang, ibu merasa sedih,"
Aku menarik napas dan tersenyum, "selama aku masih sehat walafiat, masih bisa berjalan, melihat, tertawa bersama kalian, aku sama sekali tidak memikirkan hal lain. Aku sudah menyiapkan fisikku dengan terpaan badai, bu! Jadi tenang saja, jangan khawatirkan aku!"
Ibu meremas kedua tanganku, "sudah cukup ibu bertahan melihatmu bekerja sangat keras di usia yang seharusnya kamu habiskan untuk bermain bersama teman-temanmu. Sekarang giliran ibu menggantikanmu,"
"Apa maksud ibu?"
"Ibu akan kembali bekerja di rumah sakit, bagian hemodialisa masih membutuhkan tenaga medis dan ibu sudah di terima," cerita ibuku, raut wajahnya yang perlahan mulai mengerut di beberapa bagian terlihat bahagia. "Ibu akan mulai bekerja lusa!"
"Tapi bagaimana dengan Ina dan Joni bu??"
"Jangan khawatir, ibu sudah menceritakan semuanya kepada mereka. Joni mengatakan kalau dia sudh cukup besar untuk bisa menjaga Ina. Mereka akan baik-baik saja, Fi. Kita akan baik-baik saja!" Ujar ibuku sambil merangkulku dalam pelukan hangatnya.
Tanpa kusadari, kelopak mataku mulai di penuhi dengan butiran air mata yang tidak pernah kuinginkan muncul disana. Jika berhubungan dengan keluargaku, aku cukup cengeng. "Ibu, maafkan aku karena membuat ibu kembali kelelahan," bisikku sambil menangis dalam pelukannya.
Ibu berusaha menenangkanku dengan menepuk punggungku, "kamu tidak bersalah, nak. Justru ibu berterima kasih karena sampai sekarang kamu yang membuat kita bisa tetap berkecukupan!" Dan malam itu pun aku merasa jauh lebih lega dibanding hari-hari sebelumnya.

##

Entah jam berapa itu, tapi teleponku sudah berbunyi dengan semangat. Dengan lelah kubuka kelopak mataku yang masih terlalu berat, membuka tirai jendela. Di luar bahkan masih gelap. Hanya terdengar kokokan ayam jantan. Kuraih telepon yang kusimpan di atas meja belajar, nomor tak dikenal. Kembali kuletakkan teleponku dan berusaha masuk ke alam mimpi. Tapi nomor itu terus saja menghubungiku. Dengan kesal akupun segera bangun dan mengangkatnya.
"Siapa sih?! Subuh-subuh sudah mengganggu orang saja!!" Ujarku dengan kesal.
"Mendengar suaramu yang semangat di pagi ini, sepertinya kamu baik-baik saja," ujar suara dari seberang. Nada suara tinggi dan congkak itu mendadak sangat familiar di telingaku.
"I--ini dengan siapa?"
"Jangan pura-pura bodoh! Sekarang juga aku tunggu kamu di rumahku!"
"Eh?? Sekarang?? Bagaimana bisa aku pergi, aku tidak tahu dimana rumahmu, dan jam segini pasti tidak ada kendaraan umum. Bagaimana aku bisa pergi?!!" Ujarku dengan nada memelas.
Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil dari depan. Aku berdiri dengan kaget, melirik keluar dari jendela kamarku. "Sopirku sudah menunggumu. Cepat datang kemari, aku tidak mau mentoleransi keterlambatan!" Dan Ryan pun menutup telepon tanpa menungguku menjawabnya.
Ibuku membuka pintu kamar dan bertanya tentang suara bel di depan. Aku menjelaskan sebisaku sambil memasukkan baju seragam ke dalam tas sekolahku. "Ibu, nanti saja aku jelaskan. Pokoknya kalau aku nggak pergi sekarang, maka aku takut tidak bisa lulus SMA!" Ujarku sambil terus merapikan isi tasku. Ibu juga membantuku dengan menyimpan beberapa perban dan betadine kedalam kantong plastik.
"Tapi apa harus sepagi ini? Bahkan belum jam 4, siapa sih temanmu itu?"
"Ada deh, nanti aku cerita semua. Ibu, aku minta tolong soal jaket itu ya. Besok mau aku kembalikan! Daa ibu!!" Aku langsung berlari keluar dengan tertatih-tatih.
"Ingat kamu harus mengganti perban di kakimu!" Ujar ibu saat aku masuk ke dalam mobil. Aku hanya melambai saat mobil itu melaju pergi.
Di dalam mobil, aku berusaha duduk tenang mengatur napasku dengan baik sambil meringis kesakitan karena lukaku agak terasa sakit memaksa berlari.
"Dia terlihat seperti anak yang pemalas, bagaimana bisa sudah bangun jam segini?!" Gumanku pelan.
"Tuan Ryan tidak pernah tidur malam, nona," jawab sopir itu.
"Tidak pernah tidur?? Kenapa? Dia insomnia??" Tanyaku terkejut.
"Saya juga tidak begitu tahu nona. Tapi yang pasti seperti itu. Tiap pagi, biasanya nona Ruby yang menemaninya olahraga. Ini pertama kalinya saya di suruh menjemput nona,"
"Ruby? Apa Ryan dan Ruby pacaran?"
"Nona tidak tahu? Mereka sudah bertunangan,"
Dahiku mengerut hebat, tidak ada yang tahu soal hubungan Ryan dan Ruby. "Apa Ruby sudah bersama Ryan disana?"
"Nona Ruby selalu sampai di rumah tepat jam 5 pagi. Setelah itu mereka akan bersama-sama pergi ke sekolah."
"Wah, sangat mengejutkan," bisikku. Hal yang mustahil dan sangat tidak bisa di percaya. Karena terlalu semangat memikirkan hubungan Ryan dan Ruby, rasa kantukku langsung hilang. Begitu tiba di rumah Ryan, aku hanya bisa menganga sambil menatap rumah dengan pencahayaan luar biasa itu. Bahkan langit gelap terasa terang karena hal itu. Rumahnya kelewat mewah.

**Baca chapter berikutnya yaa~
Thank you!! **

Ready For Your Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang