Slide Three

42K 3.1K 111
                                    

The needle tears a hole. The old familiar sting.
Try to kill it all away. But I remember everything
-Hurt-

Semilir angin yang masuk dari jendela kelas membuat Ellie memalingkan wajah. Beberapa detik dia membiarkan angin menerpa sebelum mengangkat wajah lalu bertopang dagu menatap pemandangan taman tengah yang mengintip dari balik vitrase. Sudah seminggu dia duduk di bangku ini tapi sampai sekarang dia masih tidak bisa beradaptasi. Bukan pada bangku dan posisinya melainkan pada kenangan yang sering hadir tanpa diundang. Diam-diam menyergap dan menghancurkan pertahanannya.

Dia mengalihkan perhatian dari jendela lalu menatap ke arah guru fisika yang sedang mengajar di depan kelas tanpa minat. Hampir seluruh teman sekelasnya mencatat dengan tekun. Tipikal siswa kelas MIPA. Termasuk Renata yang duduk di bangku sebelahnya. Walau cerewet, sering ikut campur dan sangat mengutamakan penampilan, cewek itu termasuk siswa pintar di SMA Persada Gemilang. Dari sudut mata Ellie melihat Endra dan Mirza, kedua cowok itu terlihat asyik sendiri. Mereka sama sekali tidak menyimak penjelasan guru. Mirza diam-diam sedang membaca manga sementara Endra terlihat asyik dengan rubik koleksi terbaru.

Bosan. Ellie memutuskan untuk mengeluarkan smartphone. Setelah mematikan suara dia mengarahkan smartphone ke arah jendela. Dalam bayangannya, pemandangan jendela dengan vitrase yang melambai tertiup angin, langit biru serta pepohonan hijau yang samar akan terlihat sangat artistik jika dipotret dari posisi duduknya saat ini.

Tepat ketika dia akan menekan shutter ada tangan yang tiba-tiba terulur keluar jendela. Refleks dia mengangkat pandangannya dan semakin terkejut ketika mengetahui pemilih tangan itu. Tangan milik Kai.

"Argh!," Ellie berusaha menahan diri sekuat mungkin agar tidak mengumpat sambil tetap menjaga posisi smartphone-nya agar tidak shaking.

Dalam hitungan sepersekian detik genggaman Kai terbuka tepat ketika angin berhembus. Dandelion dalam genggamnya dengan segera tertiup angin. Sesaat, langit yang dilihat oleh Ellie seakan dipenuhi serbuk putih serupa hujan salju.

Ellie terlalu terkejut hingga lupa untuk menekan kembali shutter smartphone-nya untuk mengabadikan momen itu. Padahal momen itu sangat sayang untuk terlewatkan. Rasa kesal yang sempat muncul karena Kai tanpa sengaja merusak komposisi fotonya berganti dengan rasa kesal karena tidak sempat mengabadikan momen tersebut.

Sambil menahan gerutuan kesal, Ellie memeriksa hasil foto yang ada di smartphone­-nya. Dia hampir memekik senang mendapati kalau tanpa sengaja dia berhasil mengabadikan momen langit yang penuh dandelion.

Hanya karena keberuntungan dia berhasil mengabadikan momen tersebut walau hasilnya bisa dikatakan sempurna. Fokusnya tajam, tone warna seperti yang direncanakan oleh Ellie dan tangan Kai berada di posisi yang tepat dan dandelion beterbangan memenuhi langit siang itu. Sempurna.

Setelah mempertimbangkan selama beberapa menit akhirnya Ellie memutuskan untuk mengunggah foto itu ke Instagram walau belum meminta izin kepada Kai. Toh, itu murni ketidaksengajaan, tidak direncanakan. Lagipula Ellie juga akan men-tag dan me-mention cowok itu. Kebetulan, Kai sudah mem-follow akun Instagramnya minggu lalu. Seharusnya tidak menjadi masalah, kan?

Ketika sedang menuliskan caption, Renata berulang kali menjawil lengannya. Cewek itu terlihat panik, "El, Ellie!"

"Apa, sih, Ren?" Entah mengapa dia ikut berbisik seperti yang dilakukan oleh sahabatnya.

"Kamu bawa rautan, nggak?"

"Rautan pensil?" Ellie balik bertanya.

"Kalau rautan pensil alis aku nggak nanya ke kamu," Renata mengacungkan pensil kayu dengan ujung mata yang patah, "Pensil gue patah! Aku lupa bawa. Kayaknya semalam habis pakai aku lupa balikin ke tempat pensil."

The Salad Days [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang