Kai menghela napas panjang sebelum membuka pintu mobil dan menjejak tanah.
Beberapa menit lalu mobil yang ditumpanginya masih melaju menuju bandara internasional Soekarno Hatta. Ada penerbangan yang harus dikejar walau dia tidak sedang-terburu-buru. Tadi dia berpikir untuk menghabiskan sisa waktunya di kota ini dengan bersantai di sudut salah satu gerai kopi yang menjamur ditemani secangkir piccolo dan muffin. Rencana itu berubah ketika tidak sengaja melihat foto terbaru yang diunggah cewek itu di akun Instagramnya.
Foto dua lembar Polaroid di atas meja berlapis taplak yang sangat dikenalnya. Hanya satu tempat yang menggunakan taplak dengan motif itu, Parfait Blue. Obyek yang diabadikan oleh kedua Polaroid itu yang membuatnya meminta Pak Agus, supir yang dipinjamkan pria itu kepadanya, untuk mengganti tujuan mereka. Dia harus mengunjungi tempat ini. Mungkin untuk yang terakhir kali.
"Lima belas menit lagi saya balik," dia menutup pintu mobil lalu menengadahkan pandangannya.
Langit biru. Pemandangan kesukaan gadis itu. Obyek yang diabadikan oleh Polaroid pertama.
Setelah puas menatap langit dia meleparkan pandangan ke rumpun dandelion yang memenuhi salah satu sudut bangunan terbengkalai di adapannya. Ellie pasti mengambil Polaroid kedua di sana.
Langkah panjangnya segera berayun menuju rumpun itu. Tanpa pernah direncanakan dia berjongkok dan hidungnya berusaha keras untuk menghidu, mencari sisa aroma Ellie. Belum terlalu lama, seharusnya aromanya masih tersisa.
Nihil.
Kai kembali menghela napas panjang. Kali ini sambil mengeluarkan smartphone dari saku celana. Bukan untuk menghubungi Ellie atau ketiga sahabatanya yang lain. Bukan. Sejak hari itu dia memutuskan untuk mengambil jarak. Menjauh dari semua yang dia kenal. Termasuk keempat sahabat yang mewarnai hari-hari terakhirnya di SMA.
Dia pernah bertanya kepada dirinya sendiri, seandainya dia tidak berencana kuliah ke luar negeri apa dia tetap melakukan hal yang sama?
Berulang kali dia bertanya dan jawabannya selalu sama. Kai akan tetap melakukan ini. Waktu mengajarkannya kalau sendiri selalu lebih baik. Tanpa keluarga. Juga tanpa sahabat. Melihat Lamira dan pria bajingan yang seharusnya menjadi orangtuanya membuat Kai meyakini itu. Seharusnya sejak awal dia tidak pernah mengizinkan mereka untuk masuk dalam hidupnya.
Tetapi binar mata Ellie menghancurkan pertahanannya.
Ada sesuatu pada diri cewek itu yang membuat jantungnya berdetak tidak terkendali setiap kali tatapan mereka bertemu. Senyum Ellie menjadi sesuatu yang dirindukannya juga menjadi satu-satunya yang memastikan kewarasannya tetap terjaga di tengah ketidakwarasan yang melingkupi hidup sejak dia dilahirkan.
Dia sudah memperhatikan Ellie sejak mereka berada di kelas XI. Cewek dengan oversized cardigan dan converse itu terlihat mencolok di antara cewek-cewek yang lain. Ditambah kamera yang seakan tidak pernah lepas dari tangannya. Juga senyum hangat yang jarang terulas karena Ellie lebih sering memasang wajah serius. Senyuman yang hanya akan terlihat jika dia bersama Endra. Menjelang mereka naik kelas ada orang lain yang berhasil membuat Ellie mengulaskan senyuman, Renata dan Mirza. Sejak itu dia ingin menjadi salah satu alasan Ellie untuk tersenyum.
Dan Tuhan menjawab harapannya di tahun terakhir mereka di SMA.
Bersama kesempatan yang tidak pernah diduganya.
Ellie. Apa yang akan dilakukannya sekarang? Nanti?
Sebelum ini rencana masa depannya terlihat sempurna. Lulus dari SMA dengan beasiswa olahraga, kemampuan memanahnya tidak perlu diragukan, di salah satu universitas di Eropa, meninggalkan Lamira dan bajingan kaya itu kemudian memulai semuanya di tempat baru. Mewujud sosok Kai yang baru tanpa bayangan latar belakang keluarga dan juga masa lalu yang memberari langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Salad Days [Completed]
Roman pour AdolescentsTHE SALAD DAYS - Cerita cinta pertamaku fiksi remaja oleh Dy Lunaly "Mungkin dia memutuskan untuk pergi karena sejak awal dia nggak pernah mencintaiku" SMA selalu identik dengan cerita cinta. Pertama kali tertarik pada lawan jenis, tersipu karena p...