"Kita ngapain?" Itu pertanyaan yang pertama terucap dari mulut Renata ketika dia sampai ke lantai teratas bangunan terbengkalai yang ada di kawasan Jakarta Selatan.
Renata tidak mungkin menginjakkan kaki di kawasan ini jika bukan karena Ellie yang memintanya. Dan hanya karena Ellie. Sahabatnya yang satu itu memang unik. Dia tidak bisa dikatakan tomboi walau tidak terlalu sering memperhatikan penampilannya. Ellie hanya unik. Cewek itu berbeda. Dan kemungkinan itu yang membuat Renata bisa bersahabat dengannya.
"Seriusan, El?" Kali ini giliran Mirza yang bersuara.
Tentu bukan masalah besar untuknya sampai di lantai teratas setelah menaiki beratus anak tangga. Komentar itu diucapkan karena dia memikirkan pacarnya, Renata. Ketika Ellie mengajak mereka berkumpul dan mengirimkan lokasi pertemuan mereka melalui grup Whatsapp tidak ada yang menduga kalau mereka akan bertemu di bangunan terbengkalai yang baru setengah selesai seperti ini.
Mirza seperti biasa mengenakan celana jins dan kaos putih dilapis kemeja flanel dengan lengan tergulung sebatas siku, Endra kali ini mengenakan kaos pola berwarna biru dan celana pendek selutut berwarna khaki, Ellie memilih tank top hijau berlapis kardigan tipis motif bunga dan celana tujuh per delapan warna hijau lumut sementara Renata terlihat salah kostum dengan tank top berwarna biru dipadu maxi skirt batik, untungnya hari ini cewek itu memilih flat shoes bukan high heels yang sering digunakan untuk melengkapi penampilannya. Walau salah kostum dan kepayahan untuk sampai di lantai teratas Renata sama sekali tidak mengeluh.
Demi Ellie. Demi persahabatan mereka. Mungkin ini terakhir kalinya mereka berkumpul sebelum masing-masing memilih menjalani takdir yang berbeda. Universitas yang berbeda dan negara yang berbeda.
"Kai mana?" Nafas Endra yang sempat memburu sudah kembali normal. Dia membuka ransel dan mengambil kaos polo yang sudah disiapkan sejak semalam ketika membaca lokasi yang dikirimkan Ellie.
"Nggak tahu," Ellie menjawab bersamaan dengan Endra yang selesai berganti pakaian.
Senyum Ellie yang menyambut kedatangan mereka sesaat terlihat penuh kesedihan di mata Endra. Hanya sesaat karena sedetik berikutnya ketika dia ingin memastikan kesedihan itu menghilang. Apa yang terlewat olehnya?
"Kok nggak tahu?" Renata mengernyit selain bingung dengan jawaban yang dilontarkan Ellie juga karena dia kepanasan.
"Emang nggak tahu," Ellie mengendikkan bahu, "Aku harus jawab apa?"
"Semalam Kai juga nggak balas," Mirza menghampiri Endra lalu mereka melakukan tos.
"Ada yang tahu dia ke mana?" Renata yang bertanya.
Ellie menggeleng pelan, "Terakhir ngobrol di sekolah. Dia ngasih tahu kalau keterima di Inggris habis itu nggak ada kabarnya lagi."
"Kai nggak bilang kapan berangkat?" Kembali Renata yang bertanya.
"Aku nanya tapi dia nggak jawab," suara Ellie masih terdengar sama seperti sebelumnya. Tetapi mereka sudah terlalu lama bersahabat sehingga Renata, Mirza dan Endra tahu kalau Ellie tidak setenang yang diperlihatkannya.
"Kamu ngapain ngajak kita ketemuan di sini?" Endra bertanya lembut. Dia hanya ingin mengalihkan pembicaraan. Ini mungkin akan menjadi terkahir kalinya mereka berkumpul bersama. Dia tidak ingin menjadikan hari ini sebagai kenangan buruk. Dan membicarakan Kai hanya akan membuat Ellie murung. Hal terakhir yang diinginkannya.
"Oh," Ellie mengeluarkan kamera dari tasnya. Dua buah kamera, mirrorless dan Polaroid, "Have fun," senyumannya kembali, "Buat kenang-kenangan. Nanti kalau kita jauh-jauhan foto-foto ini pasti berguna."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Salad Days [Completed]
Teen FictionTHE SALAD DAYS - Cerita cinta pertamaku fiksi remaja oleh Dy Lunaly "Mungkin dia memutuskan untuk pergi karena sejak awal dia nggak pernah mencintaiku" SMA selalu identik dengan cerita cinta. Pertama kali tertarik pada lawan jenis, tersipu karena p...