One day before their first day at high school
Ellie berhenti di depan taman yang disediakan oleh pengembang perumahan yang ditempati keluarganya. Sambil menghabiskan sisa lollipop, dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut taman. Beberapa jam yang lalu dia sempat melewati taman ini. Saat itu taman penuh dengan anak-anak yang bermain ditemani orang tua atau pengasuhnya. Sekarang taman terlihat sepi. Mungkin karena sudah menjelang magrib.
Setelah membuang gagang lollipop di tong sampah dekat pintu masuk, Ellie berjalan menghampiri ayunan. Ayunan ini masih sama dengan ayunan yang menemani masa kecilnya. Tidak hanya ayunan, banyak yang tidak berubah di taman ini. Taman ini masih dipenuhi jajaran pohon rindang di setiap sisinya, bangku taman dengan cat yang sudah pudar, serta berbagai permainan yang akan membuat anak-anak betah menghabiskan waktu bermainnya. Seperti yang dilakukannya dulu.
Dia menengadahkan pandangannya ke langit lalu mulai mendorong ayunan. Semakin lama ayunan itu berayun semakin tinggi dan semakin kuat. Ellie tersenyum menikmati angin yang menerpa wajahnya. Senyum itu semakin lebar ketika dia menatap langit.
Sejak kecil Ellie senang menatap langit. Langit yang seakan tanpa batas selalu membuat seluruh keterbatasan yang dirasakannya menghilang. Seakan segalanya mungkin terjadi. Langit juga selalu mengingatkan kalau dia tidak lebih dari sebutir debu dalam semesta ini. Kesadaran yang akan meringankan perasannya tidak peduli seberat apa pun masalah yang sedang dihadapinya. Selain itu juga karena semua yang ada di atas sana terlihat cantik. Langit biru, matahari bersinar keemasan, pelangi dengan tujuh warna istimewa, bulan purnama pucat dan taburan bintang yang mengundang decak kagum. Tidak hanya senang menatapnya, langit juga merupakan obyek yang paling sering difotonya.
Ellie berhenti mengayun dan perlahan ayunan mulai kehilangan kecepatannya. Setelah ayunan benar-benar berhenti, dia mengeluarkan sebungkus Lays, camilan kesukaannya, dari backpack dan mulai mengudap sambil memeriksa foto hasil jepretannya melalui layar LCD mirrorless hadiah ulang tahun dari Papa.
Ketika sedang menandai beberapa foto yang menurutnya bagus dan akan diunggahnya ke Instagram, suara langkah kaki yang mendekat menarik perhatiannya. Dia hapal pemilik suara langkah itu hingga tanpa harus mengangkat pandangannya dia tahu siapa yang datang.
"Tumben. Biasa kamu paling malas keluar rumah sore-sore gini."
"Disuruh Kak Cher beli minyak wijen sama," Endra melongok ke dalam kantong belanjaan di genggamannya, "Nggak tahu ini apa aja. Mana berani aku nolak kalau Kak Cher udah bertitah? Mau nggak dapat makan malam?"
Ellie terkikik lalu kembali memperhatikan LCD mirrorless-nya.
"Hunting foto?" Endra bertanya sambil meletakkan kantong belanjaan di dekat backpack Ellie lalu duduk pada ayunan di samping Ellie.
"Ya," Ellie memalingkan wajah ke arah Endra sambil tersenyum lebar, "Mumpung masih liburan."
Endra melompat turun dari ayunan yang sedang bergerak, menyambar bungkus Lays di pangkuan Ellie lalu berlari menjauh dari cewek itu yang masih terkejut dengan tindakan tidak terduga sahabatnya.
"MONYET! Balikin, nggak?!"
Endra terkekeh lalu kembali menjauh dari Ellie dengan menaiki frame climb dengan cekatan dan duduk di bagian teratas, "Kalau mau ambil ke sini, El!"
"Monyeeet!" Ellie berlari menuju frame climb, "Balikin Lays aku!"
"Ambil sendiri!" Endra berteriak sambil meraup camilan itu dan menikmatinya. Dia sengaja melakukannya. Sudah lama dia tidak mengisengi sahabatanya.
Tanpa menunggu lebih lama, Ellie langsung memanjat naik. Satu menit kemudian dia sudah duduk di samping Endra lalu segera menyambar bungkus camilan kesukaannya, "Rese banget, sih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Salad Days [Completed]
Teen FictionTHE SALAD DAYS - Cerita cinta pertamaku fiksi remaja oleh Dy Lunaly "Mungkin dia memutuskan untuk pergi karena sejak awal dia nggak pernah mencintaiku" SMA selalu identik dengan cerita cinta. Pertama kali tertarik pada lawan jenis, tersipu karena p...