Slide Five [End]

29.2K 2.3K 38
                                    

Bel tanda istirahat berakhir dan pelajaran berikutnya akan segera dimulai terdengar hingga ke setiap sudut SMA Persada Gemilang. Seluruh siswa bergegas menuju loker dan ruang kelas masing-masing untuk bersiap kembali belajar.

Tapi tidak dengan Renata.

Dia berlari menuju klinik yang terletak di belakang dan terpisah dari gedung SMA. Baginya, ruang klinik merupakan pilihan terbaik untuk saat ini. Sekarang ini dia hanya ingin menenangkan diri, bersembunyi bahkan kalau perlu menghilang. Renata malu, kesal, marah sekaligus merasa bodoh ditambah dengan berbagai perasaan lain yang membuatnya ingin menangis dan berteriak untuk meluapkannya. Setelah ini dia tidak yakin mampu menghadapi teman-teman sekelasnya.

Renata beruntung karena klinik sedang sepi. Tidak ada siswa yang sedang beristirahat karena sakit. Setiap tempat tidur yang memenuhi klinik kosong. Dokter yang sedang bertugas juga sepertinya belum kembali dari istirahat siang. Segera dia menuju tempat tidur di ujung ruangan. Setelah menarik gorden, tanda ruangan itu sedang digunakan, tangisnya pecah.

Bodoh! Bodoh! Bodoh! Dia tidak habis pikir bagaimana dia bisa sebodoh ini. Renata yang terkenal selalu bisa memecahkan soal yang paling sulit sekalipun dan selalu bisa menemukan solusi untuk masalah apa saja tidak berkutik ketika berhadapan dengan perasaannya sendiri.

Renata mengenal Mirza ketika menemani Ellie menjadi kado ulang tahun Yasha ketika mereka kelas X. Tanpa sepengetahuan Renata ternyata sahabatnya itu mengajak Endra dan Endra mengajak Mirza. Perkenalan pertama mereka sama sekali tidak romantis. Bagaimana bisa dikatakan romantis kalau saat itu mereka langsung terlibat perdebatan tentang Apple dan Samsung? Tapi sejak hari itu entah bagaimana Mirza selalu berada di sekitarnya hingga dia menjadi terbiasa dengan kehadiran cowok itu. Termasuk pertengkaran dan perdebatan mereka.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka disusul suara langkah. Tergesa Renata menghapus air mata dan berusaha merapikan penampilannya. Sesaat dia berpikir kalau dokter yang bertugas sudah kembali tapi ketika suar alangkah itu semakin dekat dia yakin kalau dia mengenali pemilik langkah itu, Ellie.

"Re," Ellie menyingkap gorden lalu merapikannya kembali sebelum duduk di samping Renata di lantai sudut klinik. Sahabatnya itu tidak mengatakan atau melakukan apa pun selain memeluk Renata dengan erat. Di saat seperti ini Ellie tahu kalau pelukan lebih bermakna dibandingkan jutaan kalimat menyemangat.

"Kamu ngapain ikutan bolos?" Suara Renata terdengar serak.

"Aku sakit perut," Ellie memegang perut lalu pura-pura meringis kesakitan.

Senyum Renata terulas tipis melihat tingkah Ellie. Ringisan di wajah Ellie berganti dengan cengiran lalu dia mengeluarkan tisu dari kantong roknya dan mengusap sisa air mata Renata, "Mana bisa konsen kalau kamu kabur kayak tadi?"

"Alasan. Sejak kapan kamu konsen belajar?"

"Selalu konsen, kok. Konsen melamun," Ellie menyandarkan punggung pada dinding dan meluruskan kaki lalu menggoyang-goyangkannya, "Kamu nggak berubah, ya? Kalau lagi nggak beres selalu ke sini. Nyari bau antiseptik sama hening. Aneh banget. Orang, tuh benci, eh, kamu malah suka."

Tidak biasanya Ellie mengoceh panjang lebar tapi demi sahabatnya dia rela melakukan apapun. Dia sengaja mengambil peran sahabatnya agar Renata merasa lebih tenang karena fokus kepada ocehannya dan melupakan alasannya menangis.

"Aku suka," Renata mengambil selembar tisu dan membersihkan wajahnya, "Mungkin karena waktu kecil sering main di rumah sakit, kali, ya?"

Kedua orang tua Renata berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit besar di kota ini. Dulu setiap kali jadwal praktek orang tuanya berbenturan, mereka akan membawa Renata dan mengasuhnya di rumah sakit. Saat anak-anak yang lain bermain dokter-dokteran dengan mainan, Renata melakukannya dengan peralatan yang sesungguhnya. Dia juga lebih mengenal aroma dan sudut rumah sakit dibandingkan rumahnya sendiri.

The Salad Days [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang