"Turun, Re," Mirza mengulurkan tangan ke arah Renata yang sedang meniti tepian trotoar di Kota Tua.
Biasanya Sabtu pagi seperti sekarang dihabiskan Mirza dengan berlari dan olahraga ringan sebelum menyiap sarapan untuk Bunda. Untuk Bunda hari Sabtu bukan hari libur karena beliau tetap ke butik untuk menyelesaikan pesanan. Mirza menghargai semua yang sudah dilakukan Bunda untuknya dan dia berusaha membalas dengan menjadi anak yang baik juga mendedikasikan hari libur untuk Bunda. Tetapi ketika Renata menghubunginya dengan suara bergetar dia tidak bisa menolak permintaan cewek yang sekarang menjadi pacarnya. Setelah menceirtakan dan meminta izin kepada Bunda di sini mereka berakhir. Kota Tua.
Mereka sudah menjelajah Kota Tua selama setengah hari. Mirza sudah tidak menghitung berapa banyak museum yang mereka kunjungi, sejauh apa dia harus membonceng Renata dengan sepeda untuk menuju Pelabuhan Sunda Kepala, berapa banyak wefie yang mereka ambil atau jumlah kemasan air mineral yang dibeli untuk Renata. Dia hanya memedulikan satu hal, senyum yang perlahan terulas dengan sempurna di wakah Renata.
Tanpa perlu bertanya Mirza tahu apa yang dihadapi Renata. Rumah bukan tempat yang menyenangkan untuk cewek itu. Selain orang tua yang sering kali tidak memedulikan Renata dan hanya menganggap cewek itu sebagai piala untuk dipamerkan serta rekening yang harus diisi, suasana rumah sejak kakak Renata keluar untuk kuliah semakin mendingin. Di saat cewek itu sudah melewati ambang batas toleransi dia akan meminta Mirza untuk menemaninya. Selalu seperti itu dan cowok itu sama sekali tidak merasa keberatan. Dia malah bangga karena menjadi satu-satunya tempat Renata berbagi sepi.
"Nggak mau," Renata menepis tangan Mirza. Jika diinginkan Renata bisa berubah menjadi sosok yang sangat keras kepala.
"Oke," Mirza masih mengulurkan tangan, "Paling nggak pegang tangan aku."
Langkah Renata terhenti. Dia memalingkan wajah dan menatap Mirza seakan berusaha meyakinkan dirinya sendiri sebelum akhirnya membalas uluran tangan Mirza dan menggenggamannya erat.
"Good girl."
"Berisik," Renata menjawab cepat sambil berusaha menutupi pipinya yang memerah karena rasa malu. Walau sudah menjadi pacar Mirza selama beberapa bulan tetap saja dia belum merasa terbiasa dengan status juga perhatian yang Mirza berikan. Walau mereka masih sering bertengkar seperti sebelumnya.
"Maaf," Renata berbisik pelan. Setelah kalut yang menghantui sejak tadi malam, tepatnya ketika menemukan rumah dalam kondisi sepi dan dia merasa ditinggalkan seorang diri, perlahan menghilang dia kembali berpikir jernih. Hal pertama yang disadarinya adalah kesalahan besar yang dilakukannya, meminta Mirza menemaninya di hari Sabtu.
"Boleh tahu kenapa kamu minta maaf?" Mirza berusaha menahan Renata yang hampir terjatuh dengan menguatkan pegangannya.
"Aku lupa kalau ini hari Sabtu."
"Kamu nggak perlu minta maaf," Mirza tersenyum konyol.
"Tetap aja aku ngerasa nggak enak. Bukan cuma sama kamu tapi juga sama Bunda."
"Hm," Mirza bergumam pelan, "Bunda udah ngizinin, kok. Lagian aku nemenin kamu karena aku pengin nemenin kamu."
Kembali pipi Renata memerah tanpa bisa dikendalikannya, "Karena aku pacar kamu?"
Mirza menggeleng kepala sambil menatap Renata, "Karena aku peduli sama kamu."
"Sekalipun aku bukan pacar kamu?" Terlalu salah tingkah hingga Renata tidak bisa mengendalikan ucapannya.
"Sebelum kita pacaran, kita udah sering ngelakuin ini, kan?"
Renata mengangguk, "Ya. Kamu selalu ada tiap kali aku butuhin."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Salad Days [Completed]
Ficção AdolescenteTHE SALAD DAYS - Cerita cinta pertamaku fiksi remaja oleh Dy Lunaly "Mungkin dia memutuskan untuk pergi karena sejak awal dia nggak pernah mencintaiku" SMA selalu identik dengan cerita cinta. Pertama kali tertarik pada lawan jenis, tersipu karena p...