Fla's POV
Kali ini aku duduk termenung di taman dimana aku dan Niall biasa bertemu. Ugh, sudah jam 4 sore dan tidak biasanya Niall terlambat seperti ini. Biasanya aku yang selalu terlambat, bukan dia.
Aku melirik arloji milikku yang Niall berikan ketika ulang tahun ke-17 ku. Sweet, isn't it?
Arloji ini berwarna abu-abu dan merah. Warna favoritku.
Ups, tidak penting sekali aku menjelaskan tentang arloji pemberian Niall ini. Ha ha. Tetapi yang jelas... Arloji ini hadiah terindah yang pernah Niall berikan kepadaku.
Aku membuka handphoneku dan menemukan bahwa Niall belum membalas pesanku sama sekali.
Niall Horan.
-Niall, jelaskan padaku ada apa?
Sent 14 hours ago.
-Seriously, what happen?!
Sent 14 hours ago.
-Niall, ada apa? Aku serius, Niall! Apa perlu aku ke rumah mu sekarang juga?
Sent 14 hours ago.
-Niall, reply my text, now!
Sent 14 hours ago.
-Sumpah, ini tidak lucu, Niall!
Sent 14 hours ago.
-Niall, what do you mean about "i love you"? You love me, seriously?
Sent 14 hours ago.
-NIALL HORAN, TELL ME WHAT HAPPEN!
Sent 14 hours ago.
-Meet me at the park at 3 p.m. x
Sent 10 hours ago.
-Hey, Niall... when you'll come, Ni? It's 4 and you still didn't come :(
Sent 1 minute ago.
Jika kalian bertanya apa status antara aku dan Niall sekarang, jawabannya adalah kami adalah sahabat. Kami bersahabat sejak kami menginjak bangku sekolah dasar. Saat itu, kami berdua sering makan bekal kami bersama, dan tak jarang kami bertukar makanan. Oh, apakah aku sudah berkata kalau aku juga teman sebangkunya?
Seiring berjalannya waktu, kami makin dekat.
Ketika lulus dari sekolah dasar, kami melanjutkan pendidikan kami ke sekolah menengah pertama dan kami satu sekolah, namun sedihnya adalah, kami tidak pernah satu kelas.
Persahabatan kami berjalan sampai sekarang. Dan sekarang kami sudah menginjak bangku sekolah menengah atas dan sebentar lagi kami lulus. Target kami berdua adalah memasuki Harvard dan mengambil jurusan Hukum. Berdua.
Kami juga pernah berencana untuk menjodohkan anak kami berdua jika nanti kami sudah menikah dengan pasangan pilihan kami masing-masing.
"Coke?" ujar seseorang secara tiba-tiba yang membuyarkan seluruh lamunanku dan membuat aku sedikit bergeser dari tempat semulaku.
Aku tersenyum begitu melihat orang yang menawarkanku coke tersebut, "Niall?" ujarku tak yakin dan langsung memeluknya. "Astaga, aku khawatir sekali denganmu, Niall. Katakan apa yang terjadi padamu pagi tadi?" ujarku sambil mengelus punggungnya.
Niall melepas pelukannya dan langsung memegang wajahku dengan kedua tangannya yang besar itu, "Tidak ada apa-apa yang harus kau khawatirkan, Fla. Hanya aku yang hampir membakar rumahku. Haha." ujarnya dan aku menghela napas lega.
"Syukurlah kalau begitu, Ni." ujarku sambil menepuk-nepuk bahunya.
Niall mengangguk. Tak memberi balasan terhadap ucapanku barusan.
"Hey, Niall. Bisakah kau jelaskan padaku mengapa kemarin kau tiba-tiba saja berkata kalau kau mencintaiku?" tanyaku dan dia tidak menjawab. Dia hanya menunduk sambil memegangi tengkuknya.
"Coke, Fla?" ujarnya sambil menyodorkan sekaleng minuman bersoda kepadaku dan aku mengambilnya.
"Thanks, Niall," ujarku, "Bisakah kau menjawab pertanyaanku barusan?" tanyaku yang menuntut jawabannnya.
Pertama-tama, Niall mendengus kesal, lalu mengacak-acak rambutnya sebelum menatap lurus ke arahku, "Aku mencintaimu, Fla. Hidup dan matiku, aku akan selalu mencintaiku. Aku tahu ini dapat menghancurkan persahabatan yang telah kita rajut selama bertahun-tahun... Tetapi.. Perasaan ini muncul saja." ia menggantungkan ucapannya, "Tidak dapat dikontrol." ia terkekeh singkat, lalu meringis tiba-tiba. Mungkin karena luka jahitan di wajahnya belum sembuh total. Mungkin.
Aku menatap wajahnya yang terdapat luka jahitan tersebut dan tidak mengeluarkan suara apapun.
Niall menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis ke arahku, "Fla, i know you'll never be mine, and i'll never be yours. Because... Because... Ah, i can't tell you now. I'm sorry!" ujarnya, lalu mengacak-acak rambutnya.
Aku tersenyum kaku ke arahnya, "I-it's okay, Ni," ujarku sebelum membuka coke pemberian dari Niall dan meneguknya.
He love me...
And i don't love him...
Should i tell him?
Haruskah aku menghancurkan hatinya sekarang juga? Oh, ayolah, itu tidak berperikemanusiaan sekali!
Tidak. Aku tidak boleh berkata yang sejujurnya pada Niall sekarang juga. I'll never break his heart. Never.
"Fla, apakah orang tuamu sudah kembali dari Jepang?" tanya Niall sebelum meneguk coke miliknya.
Aku mengangguk, "Ya. Kemarin malam mereka sudah sampai di rumah. Dengan selamat, untungnya." aku menghela napas panjang. "Besok akan kuantarkan oleh-oleh untukmu dan keluargamu," ujarku.
Niall menggeleng, "Tidak usah, Fla. Kau tidak perlu ke rumahku. Biar aku saja yang ke rumahmu." ujarnya yang menolak ucapanku barusan.
"Memang kenapa kalau aku ke rumahmu, Niall?" tanyaku dan dia hanya menggeleng.
"Kenapa, Niall?" tanyaku lagi.
"Tidak ada apa-apa, Fla. Hanya ada sedikit perang dingin di rumahku." ia tertawa miris, "Kau tidak perlu repot - repot ke rumahku, Fla. Biar aku saja yang kerumahmu. Tidak apa, kan, Fla?" tanya Niall.
"Y-yeah.. It's okay, Ni," balasku dan keadaan diantara kami menjadi hening kembali.
Tiba-tiba Niall bangkit dan mengulurkan tangannya padaku, "Fla, ayo jalan-jalan." ajaknya dan aku menerima uluran tangannya.
"Kita mau kemana?" tanyaku dan dia hanya tersenyum tipis.
"Kita mau kemana, Niall?" ulangku dan kali ini dia menghela napas panjang.
"Fla, ikut saja." ujarnya dan menarik tanganku dengan lembut kearah yang sama sekali aku tidak ketahui. "Kau tidak akan terluka, Fla. Believe me," ujarnya lembut.
TO BE CONTINUED!
Leave your vote and comment, please? xx
KAMU SEDANG MEMBACA
MSS [3] : Childhood Friend || AU
Fanfiction[COMPLETED] WAS " Can't Sleep? " Bagaimana reaksimu begitu kau mendapati kalau orang yang kau cintai dibunuh di depan matamu? ~~~ MSS aka Midnight Stories Series go find the rest of the series on my profile / reading list "Midnight Stories Series" ©...