"Lov lo beneran mau suka sama dia?" tanya Cecil ketika aku dan dia sedang menjalani misi yang akhir-akhir ini sudah biasa ku lakukan, memata-matai Bara lalu memfotonya melalui kamera ponsel atau DSLR yang sengaja aku bawa dari rumah. Dan sekarang aku sengaja membawa SLR agar lebih leluasa dan hasilnya akan lebih bagus.
"Iyaa Cecil sayangku. Kenapa sih? Lo tuh nggak pernah berhenti nanyain itu."
"Aduh Lov..." Cecil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Masalah wajah ok dia lumayan deh. Tapi dari gaya? bibit bebet dan bobotnya? Ampun, lo bisa di ketawain mantan-mantan lo."
Aku menurunkan kamera dari depan mata, kemudian memandang Cecil yang tengah menatapku balik --pasti ia memandangiku sedari tadi--, dan memberikan tatapan butuh penjelasan yang lebih jelas.
Cecil menghela nafas kemudian membuka mulutnya, "Gini Lova, sekarang lo bandingin Ka Adam sama mantan-mantan lo yang bejibun dan nggak keitung. Bagusan mana?"
"Kak Bara." jawabku singkat kemudian membidik kamera ke arah Bara lagi yang sedang berolahraga di bawah lapangan sana. Untung saja setiap sabtu pagi guru di kelasku jarang masuk, jadi aku bisa puas sesuka hati memandangi Bara dan mengumpulkan koleksi-koleksi fotonya untuk di gantung di kamar. Sedangkan Cecil, ini kedua kalinya ia menemaniku menonton Bara yang sedang berolahraga, biasanya ia akan menemaniku ketika bel pulang berbunyi saja. Kebetulan, guru kelasnya tidak masuk.
"Iihhh Lova.." sewotnya terlihat gemas, "Maksud gue dari bibit bebet bobotnya gitu. Ok salah satunya, bandingin sama Vian coba,"
Aku bergumam Hmm, seakan benar-benar membandingkan Vian dengan Bara. Ok, tapi faktanya sekarang aku sedang membayangkan wajah Vian, membayangkan apa saja bebet bibit dan bobotnya sesuai apa yang dikatakan Cecil, kemudian mulai membandingkan dengan bebet bibit dan bobotnya Bara.
Mereka memang terlihat lumayan jauh.
Vian tampan. Badannya tinggi tapi tidak mempunyai ukuran badan yang sexy, kulitnya putih pucat seperti orang-orang Cina, alisnya tipis dan ia tidak mau mempunyai kumis seperti apa yang aku idamkan dari para lelaki. Uh, tentu kalau dari hal itu masih lebih top Bara.
Tapi... kalau dari bebet bibit dan bobotnya aku tidak yakin kalau Bara akan menang. Vian itu anak dari salah satu teman bisnis Ayah, ia termasuk keluarga yang lebih dari kata berada, karena kedua orangtuanya bekerja. Orangtuanya sangat baik padaku, mereka bahkan terlihat sangat senang ketika tahu aku menjalin hubungan dengan Vian. dan Vian mempunyai kakak perempuan yang sekarang lebih memilih tinggal di Inggris daripada di Indonesia. Kakaknya juga baik padaku, sebulan sekali ia suka mengirimiku barang-barang dari luarsana, seperti contohnya parfume keluaran dari Justin Bieber yang saat itu bahkan di Indonesia saja belum ada.
Tapi sayangnya, hubunganku tidak lebih dari 3 bulan bersama Vian. Sifatnya yang suka seenaknya dan egois membuatku kadang kesal dan ingin melemparkannya ke segitiga bermuda. Meski dia selalu memberikan apa yang aku inginkan dengan mudah tapi tetap saja aku tidak suka sifatnya yang egois itu.
"Lov, lo udah bayangin kan? Gimana? Bagusan Vian kan?" suara Cecil membuatku membuyarkan semua lamunan beberapa bulan yang lalu.
Aku berdecak dan menatap Cecil sinis. Huh, lupakan masalah Bebet Bibit dan Bobot.
"Terus gue relain sahabat lo pacaran makan ati terus?"
"Tapi kan kalau di bandingin sama Ka Adam masih bagusan Vian."
Aku hanya diam, tak ingin menanggapi omongan Cecil yang mungkin bisa membuatku mengeluarkan kata-kata pedas. Kalau memang aku bisa menyukai Vian lagi maka aku mungkin akan memilih Vian, bukan malah menjadi penggemar rahasia dan penguntit laki-laki yang bahkan tak kenal padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Fortune Cookies
RomanceIni cerita Lovana tentang usahanya meleburkan hati laki-laki dingin, Laki-laki yang sifatnya berbanding jauh dengannya..