5.

3.6K 143 1
                                    

Kalau kalian lihat kondisiku sekarang, kalian pasti akan menyebutku seorang zombie. Mata merah dan berganti dari bulat menjadi sipit, hidung merah, dan juga rambut yang berantakan.

Aku benar-benar seperti mayat hidup.

Dan aku tidak benar-benar pulang tadi sore. Faktanya aku malah mengelilingi Jakarta dengan taxi dan ditemani supir taxi itu, hingga sampai aku mengeluarkan uang tiga ratus ribu rupiah untuk ongkosnya, biasanya lima puluh ribu saja cukup jika hanya ke rumahku.

Aku menangis, merutuki diriku sendiri, merasa malu dengan diriku sendiri dan menyesal.

Pak Supir taxi yang bernama Ahmad itu meski terlihat menakutkan dan pendiam tapi dia perhatian sekali. Bukan cuma memperhatikanku beberapa menit sekali dari kaca, tapi ia juga bilang tidak apa-apa membuang sampah di dalam taxi, biar nanti ia yang bersihkan --sampah tissue yang kuyakin berpuluh-puluh--

"Udah mbak, jangan nangis terus. Cantiknya hilang nanti." tiba-tiba saja Pak Ahmad berbicara setelah hampir satu jam aku menangis, dan itu pertama kalinya ia berbicara padaku.

Aku tersenyum pahit, menyusut airmataku yang seperti air terjun --tidak ada habis-habisnya--.

"Saya habis patah hati pak." kataku tiba-tiba, "Saya bilang suka sama cowok tapi cowok itu bilang saya bukan tipenya.."

"Saya malu pak, masa perempuan yang mulai. Sifat dia emang berbanding balik sama saya, dia pendiem, beda sama saya. Pokoknya beda banget deh Pak. Tapi nggak tahu kenapa saya lega udah bilang saya suka sama dia."

Ya, Ada perasaan lega disini. Hal yang selama dua minggu ini ku tutup rapat darinya, hal gila yang terlalu cepat dan hal yang tak pernah terfikirkan untuk ku ungkapkan saat itu sekarang terbongkar, di depannya dengan langsung kukatakan.

"Tapi saya udah bilang ke dia, kalau saya mau berubah demi dia pak. Jadi tipe perempuan yang dia pengen."

Aku menangis lagi, suaranya malah semakin besar ketika sudah bercerita pada Pak Ahmad yang diam tak mengomentari apa-apa. Mungkin ia tak mengerti dengan masalah percintaanku yang rumit, atau di dalam hati mengatakan bahwa aku gadis gila yang berani mengatakan cinta pada seorang laki-laki.

"Perjuangkan mbak.." katanya tiba-tiba setelah keheningan meliputi kami, "Meski emang mbak nanti di tolak lagi, seengganya mbak udah berusaha demi dia. Lagian nanti mba sama mas itu bisa saling melengkapi, dia pendiam sedangkan mba tidak."

"Witing Tresno Jalaran Soko Kulino."

Hah apaan tadi yang ia katakan? Soko? Apaan tuh?

Seakan mengerti dengan kerutan dahiku yang tidak mengerti dengan kalimat yang cukup ribet dan panjang tadi, Pak Ahmad tersenyum kemudian menjelaskan

"Cinta datang karena terbiasa, Mbak. Itu bahasa Jawa.."

Aku mengangguk-ngangguk. "Doain saya ya pak. Dan makasih udah dengerin cerita saya."

"Sama-sama mbak. Kalau sedang patah hati itu memang perlu di ungkapkan mbak, jangan di pendam sendiri. Nanti malah bukan sakit hati doang, sakit fisik juga." katanya yang membuatku tertawa kecil. Setidaknya perasaanku sedikit tenang kembali.

"Ya udah deh pak, sekarang ke jalan pulang aja."

Pak Ahmad mengangguk, kemudian memutarkan jalur mobilnya.

Aku pulang tepat pukul 7, yang ketika datang langsung di datangi si Mbok yang tergopoh-gopoh berlari kecil.

"Astaghfirullah Non. Kemana aja? Mbok telfon teman-teman Non-- Subhanallah, Kenapa Non keadaannya begini?!"

Aku memijit-mijit keningku. Kepalaku sudah pusing dan si mbok membuatku semakin pusing dengan kata-katanya dan pekikan-pekikannya itu. Kemudian ia memapahku untuk segera duduk di sofa ruang tamu.

[1] Fortune CookiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang