Titik Balik

411 10 0
                                    

"Sheila,,ayo turun. Udah siap semua nih, tinggal kamu doang." teriak Mama dari bawah tangga. Aku masih sibuk menyisir rambut keritingku yang sulit sekali ditata, ah, ini semua gara-gara Papa, ujarku mengomel di dalam hati. Rambut keriting gimbalku ini adalah hasil turunan dari Papa. Papa sih enak, laki-laki kan ya, ga harus sibuk mengatur penampilan sebegini rapinya. "Iya Ma, Sheila turun." Aku segera mengambil ranselku dan menuruni tangga. Di luar rumah kulihat Papa yang masih sibuk mengatur barang di bagasi, sementara Dio, adikku yang berusia 9 tahun sudah asik terduduk di dalam mobil sambil memainkan mainan robot-robotannya. "Duh, kamu lama amat sih." Mama mengomel lagi. Beliau sedang mencari sesuatu di tas nya. "Iya Ma, ini tadi rambut Sheila kusut banget."jawabku kesal. "Nah, ini dia. Ayo semua naik ke mobil."ujar Mama setelah berhasil mendapatkan kunci gembok rumah. Beliau mengunci pintu rumah & menggemboknya. Iya, hari ini hari pertama liburan sekolah. Kami akan berlibur ke Jogja, berekreasi bersama. Ah, aku senang sekali rasanya membayangkan deburan ombak di pantai atau semilir angin yang akan membelai rambutku di sana. Kami semua sudah bersiap. Papa segera menyalakan mesin mobil dan berangkat. Sepanjang perjalanan, kami tertawa, bercanda, tak jarang juga aku mengusili Dio untuk membuatnya menangis yang walaupun akhirnya aku dimarahi Mama, tapi aku puas bisa menjahili Dio, hahaha, terdengar agak keterlaluan ya?

Lalu lintas semakin padat, namun karena kami berusaha berangkat sepagi yang kami bisa, kami akhirnya tidak terjebak macet. Apalagi setelah memasuki jalan tol. Papa melaju dengan kecepatan sedang, walaupun jalan di hadapan kami terasa lengang. Aku tahu, Papa adalah orang yang sangat perfeksionis & teliti. Ah, hidupku lengkap sekali rasanya dengan mereka, walau ya tentu terkadang kami juga sering bertengkar. Aku mengeluarkan keripik singkong dari dalam ranselku, kemudian siap-siap memasang earphone untuk mendengarkan lagu kesukaanku, ketika tiba-tiba aku melihat sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan yang masuk ke jalur kami. Bruuuaaagghh

Kejadian itu berlangsung begitu cepat, hingga yang bisa aku rasakan hanya rasa sakit yang teramat sangat, menusuk semua tubuhku, dan kemudian, hitam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kejadian itu berlangsung begitu cepat, hingga yang bisa aku rasakan hanya rasa sakit yang teramat sangat, menusuk semua tubuhku, dan kemudian, hitam. Hitam & gelap, kemudian terdnegar teriakan dan tercium bau amis darah yang menusuk.

Aku terbangun oleh suara tangisan seorang wanita, mataku masih terasa berat untuk terbuka, tapi aku merasa harus segera bangun, seperti aku lelah sekali dan bosan memejamkan mata. Pelan-pelan aku bangun, dan berusaha mengamati sekeliling, di sana kulihat tante Rahma sedang menangis, istri dari Om Doni, adik Mama.Om Doni berdiri di sebelahnya, merangkulnya, dan berusaha menenangkannya. Tak jauh dari mereka, kulihat anak mereka, Renald, yang sebaya denganku sedang mengobrol dengan Om Adit, adik bungsu Papa. Aku berusaha mengelurkan suara, mencoba memanggil mereka. Namun yang terdengar hanya suara dengusan perlahan. Om Adit yang kemudian menyadari usahaku segera menghampiriku "Kamu sudah sadar La. Mba, Mas, coba lihat." seru Om Adit kegirangan. Mereka semua segera menghampiriku. Tante Rahma mengelap air matanya dan berusaha tersenyum. "Alhamdulillah." ujarnya. Om Doni segera pergi untuk memanggil dokter.

Setelah diperiksa, dan dokter menyatakan aku sudah baikan, dan tak ada luka fatal yang membahayakan, aku mulai mengingat kembali kejadian lalu & alasan mengapa aku bisa berada di rumah sakit ini. Seketika aku sadar, bahwa aku belum melihat keluargaku. "Om, Tante. Mamah-Papa-sama Dio dimana ya?" aku berusaha berbicara. Namun hanya tangisan lagi yang aku terima dari Tante Rahma sebagai jawaban. Akhirnya om Doni angkat bicara "Mereka semua udah pergi, La." katanya pelan. "Jadi mereka ga kenapa-kenapa maksudanya Om? Mereka udah keluar dari rumah sakit ini? Syukur deh kalau begitu." ujarku meminta penjelasan. Om Doni menggeleng lemah. "Mereka udah tenang di sana, La. Sabar ya, Om tahu ini berat banget buat kita semua, terutama kamu." Om Adit membantu menjelaskan. Aku menangis sejadi-jadinya, masih tidak percaya akan semua yang terjadi. Tidak percaya pada apa yang mereka katakan. Kami akan pergi berlibur, itu yang aku tahu, dan aku tidak percaya, lebih tepatnya tidak mau percaya pada apa yang mereka katakan. Aku mngerang, menjerit, dan memohon agar mereka mengatakan yang sebenarnya, tapi aku tahu, sebenarnya aku hanya ingin mendengar apa yang ingin kudengar, bukan hal yang sebenarnya terjadi. Namun mereka tetap diam. Hingga akhirnya aku sudah lelah menangis, tante Rahma memelukku, dan tak lama aku kembali tertidur di pelukannya.

Butuh waktu bagiku untuk menerima semua ini. Tapi aku mencoba untuk bangkit, walaupun masih terasa begitu perih di hati ini, kehilangan semua orang yang aku cintai. Hari ini aku kembali ke rumah, semua terasa begitu menyesakkan, melihat foto-fotoku & keluarga dipajang rapi menghiasi dinding, belum lagi setiap inchi rumah ini menyimpan semua kenanganku bersama mereka. Ya, tapi kali ini aku hanya merapikan barang-barangku saja. Sekarang aku harus tinggal bersama keluarga Om Doni di rumahnya, apalagi mengingat aku sudah tidak memiliki nenen & kakek lagi, baik dari Mama maupun Papa. Tante Rahma berdiri di sisi ku, "Yuk, kita pergi. Kita juga harus cari sekolah baru buat kamu kan." katanya. Aku mengangguk.

Tante Rahma tinggal di Surabaya, berarti jelas aku harus pindah sekolah. Liburan sekolah kenaikan kelas masih tersisa satu minggu lagi, itu artinya masih ada waktu bagiku untuk mencari sekolah baru. Rumah Tante Rahma tidak sebesar rumah Papa, tapi ada cukup kamar untukku, di sebelah kamar Renald. Malas sekali sebenarnya aku harus tinggal serumah dengan sepupuku itu, heran aku, Mama-Papanya orang baik-baik, tapi berbeda sekali dengan Renald, ia sangat nakal, hingga terkadang kedua orang tuanya pun kewalahan meladeni sikap anak semata wayangnya itu, bahkan di sekolahnya, aku tahu pasti ia sudah dijuluki begajulan oleh teman-temannya. Tapi ya, mau bagaimana lagi? Ini satu-satunya tempatku berteduh saat ini.




Hitam PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang