Aku berusaha menarik tubuhku lebih dalam ke lubang itu, perlahan-lahan aku lepaskan genggaman tanganku yang satu dari akar, terus turun, meraba setiap inchi dinding sumur dari tanah tersebut, hingga saat aku yakin sebagian besar tubuhku sudah masuk ke dalam lubang, aku melepaskan tanganku yang satunya, dan dalam sekejap, aku sudah berbaring telentang di dalam lubang tersebut. Saat yakin posisiku sudah stabil di dalam lubang, aku membuka penutup mataku. Tidak ada perbedaan yang mencolok, karena di dalam sini pun amatlah gelap, belum lagi ini masih malam hari, dan sumur ini letaknya di tengah hutan pula, yang bahkan sinar mataharipun enggan masuk menembus setiap pepohonannya yang rimbun.
Mataku mulai bisa beradaptasi dengan kegelapan ini, perlahan-lahan aku mengedarkan pandang, tinggi lubang ini cukup untukku merangkak, tapi terlebih dulu aku harus membalik tubuhku. Susah sekali bergerak di lubang sekecil ini, salah-salah aku bisa terjatuh ke dalam sumur. Sejenak aku menengok ke permukaan lubang, tampaknya letak lubang ini ada di tengah-tengah, aku belum bisa melihat dasar sumur, tapi aku juga tak bisa melihat permukaan sumur. Kemudian saat aku berhasil membuat tubuhku dalam posisi merangkak, aku mulai memikirkan cara lain. Aku harus bisa keluar dari sini, tapi jika aku harus mendaki untuk sampai permukaan, aku rasa itu mustahil, tak ada pijakan atau tempatku bergantung, hanya tanah. Jadi cara satu-satunya adalah lubang ini, aku harus menggali lubang ini secara horizontal untuk membentuk sebuah terowongan. Aku tahu itu sulit, tapi tidak mustahil.
Aku mulai menggaruk-garuk tanah di hadapanku dengan tangan kosong, terus menggali dan menggali, hingga jari-jariku mulai terasa kebas & memar. Yah, setidaknya aku masih bisa untuk cukup merangsek semakin dalam. Hampir setengah jam aku menggali, aku mulai kelelahan, tapi tak lama, aku menemukan sesuatu yang keras, seperti sebuah bongkahan batu besar. Ya ampun, apalagi kali ini? Aku terus menyingkirkan tanah di sekitar batu besar itu, ketika batu itu sudah jelas terlihat, aku mulai mengerahkan tenagaku untuk menariknya. Oh ayolah, aku hanya perlu celah sedikit saja, agar bisa melewati batu itu. Aku berusaha semampuku menariknya, tapi nihil, batu itu tetap tak mau bergerak. Hingga akhirnya aku putus asa. Aku membalikkan tubuhku membelakangi batu besar tersebut, kemudian aku menyandar padanya, rasanya lelah sekali malam ini, tubuhku terasa remuk redam. Tapi, sesaat kemudian keajaiban terjadi, mungkin karena dibantu oleh berat tubuhku juga, batu itu bergerak, tapi anehnya ia terdorong ke belakang, dan kemudian menggelinding bersamaku. Bruuughhh.. Aku terjatuh dengan bunyi bentur yang cukup keras. Ternyata di balik batu besar itu ada sebuah terowongan, lebih mirip gua sebenarnya, tak terlalu luas, tapi cukup dalam dan tinggi, aku memprediksi sebisaku karena tak ada cahaya sedikitpun di sekitarku
Aku bangkit dari posisi jatuhku tadi, menyentuh nyeri di sekitar lengan dan kakiku. Sekilas kurasa aku menyentuh sesuatu yang basah di lenganku, dan kemudian disusul rasa sakit yang perih, aku rasa aku berdarah. Tapi tidak ada waktu untuk merasa cengeng, aku harus keluar dari sini, pikirku. Aku berjalan marambat menyusuri dinding terowongan itu, pelan-pelan, tapi tetap saja aku sering terantuk bebatuan. Belum lagi aku merasakan seperti ada yang bergerak-gerak melintasi kakiku. Entah itu tikus atau apa, aku tak peduli. Belum lagi kurasakan ada yang menggeliat-liat di sela-sela jemari kakiku, seperti cacing. Tapi semua rasa jijik dan takut itu terasa tak ada artinya di sini, seperti hanya gangguan kecil saja jika dibandingkan dengan yang aku alami saat ini. Hingga akhirnya aku menemukan jalan buntu. Aku meraba penghalangnya, sepertinya bebatuan, tak besar, tapi mereka tersusun sehingga menutupi jalan. Kemudian aku melihat semburat cahaya yang menembus celah bebatuan itu, hanya sedikit, tapi cukup untuk memastikan bahwa di sebrang sana terdapat cahaya, ya, jalan keluar. Aku harus memikirkan bagaimana caranya aku menyingkirkan bebatuan ini. Harusnya sih lebih mudah, karena batuan ini bukan batu besar, hanya seperti reruntuhan. Tapi tunggu, sayup-sayup aku mendengar suara tangis dibalik bebatuan ini. Suara tangis yang menyayat hati, seperti suara seorang wanita. Siapakah dia?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih
HorrorBersekolah di tempat yang baru memang merupakan hal yang kurang menyenangkan bagi Sheila, belum lagi sekolah barunya ini mengharuskan dirinya tinggal di asrama, pasti terasa sangat menyebalkan. Namun bukan hanya menyebalkan yang ia rasa, ia juga har...