Cahaya

195 10 0
                                    

Jika ada cahaya, berarti di sisi balik batu ini adalah ruang kosong, aku harus mendorongnya. Aku mundur untuk mengambil ancang-ancang, kemudian berlari mendorongkan badanku ke arah batuan tersebut. Tak bergerak. Kemudian aku ulangi lagi dan lagi, tapi hanya sedikit geseran yang terjadi. Oh baiklah, setidaknya ada sedikit kemajuan. Mungkin aku harus mencari cara lain. Aku meraba sekelilingku, baik di samping maupun di bawah permukaan yang kupijak, aku berjalan merangkak, siapa tahu aku berhasil menemukan sesuatu. Ya, aku menemukannya. ada sebuah batu besar yang teronggok, semoga batu ini cukup ringan untuk kuangkat, namun cukup berat untuk menghancurkan batuan itu. Aku kembali mengambil ancang-ancang mundur, kemudian mengangkat batu itu, dan melemparkannya. Bebatuan di sana mulai bergeming, suara retakan mulai terdengar. Aku harus mempercepat prosesnya, pikirku. Aku kembali mendobrak batuan itu, seketika batuan itu hancur, disusul bunyi reruntuhan. Tubuhku doyong ke depan sehingga aku jatuh, dan disambut hantaman tanah dan runtuhan bebatuan yang tak beraturan.

Kurasakan memar-memar yang ada di seluruh tubuhku mulai berdenyut-denyut. Aku meringis kesakitan, tapi aku harus segera bangkit dan melihat ada apa di balik sini. Saat membuka mataku, aku terkesiap karena melihat seorang wanita telah berdiri tepat di atasku, dengan matanya yang juga terkejut melihatku. "Sheila." ia memekik. "Joey. Oh, Syukurlah kau bertemu denganmu Joey. Maafkan aku, sungguh, aku minta maaf." aku segera bangkit. "Baiklah, tidak apa-apa." ia menghapus air matanya. "Kamukah yang menangis tadi Joey?"tanyaku. "Aku,,ah,,iya. Tapi bagaimana caranya.."pertanyaannya terputus olehku. "Panjang sekali Joey. Aku pun tidak tahu bahwa sumur itu akan menuju ke sini, ke gua mu ini." jawabku. "Maksudmu, apakah ada terowongan di balik gua ini?" pertanyaannya tak membutuhkan jawaban, kami segera menghadap ke belakang gua dan mengamati lubang besar yang menganga di baliknya. "Mungkin memang tadinya terowongan itu masih bagian dari gua ini. Namun jalannya tertimbun oleh batuan ini." Aku menunjuk sisa runtuhan batuan tadi. "Ada apa saja di sana?" ia kembali bertanya padaku. "Gelap sekali di sana, tapi yang jelas kamu akan bisa merasakan berbagai macam binatang bergerak & menggeliat di sekelilingmu." ujarku dengan bergidik dan tak mau masuk lagi ke sana untuk kedua kalinya. "Wah, kurasa aku harus menutupnya kembali. Aku tak ingin binatang-binatang itu masuk ke guaku." katanya tidak senang.

Aku melihat semburat cahaya matahari mulai memasuki celah dari penutup gua milik Joey ini. "Joey, lihat. Aku berhasil. Aku masih hidup. Lihat, hari sudah pagi." aku memekik kegirangan, sementara Joey hanya tersenyum. "Tapi kamu harus segera pergi dari sini La, sebelum mereka menyadari bahwa mereka telah gagal." raut wajah Joey kembali menegang. Mereka tidak akan membunuhmu, tidak, mereka tidak memiliki alasan kuat untuk membunuhmu hanya karena dendam. Tapi kamu bisa jadi sepertiku nanti. Kamu akan dicap seperti pengkhianat, sampah. Bahkan kamu akan dikucilkan nanti." jawab Joey. Aku tertegun untuk beberapa saat, teringat tatapan sinis mereka pada Joey, teringat perlakuan mereka yang menganggap Joey seperti tidak ada. Siapkah aku dilakukan seperti itu oleh mereka? Sanggupkah? Aku menatap mata Joey lagi. Di samping itu, aku terbayang wajah Renald, tawa sinisnya yang merasa menang jika aku kembali lagi ke rumahnya. Tidak, tidak. Aku menepis bayangan itu. "Aku siap. Aku akan bersamamu. Kita akan berdua." jawabku tegas. "Bahkan jika kamu melihat beberapa murid yang menjadi gila dan mereka menyalahkanmu atas itu?" tanya Joey lagi. Aku mulai takut, membayangkan murid-murid yang menjadi gila, berlarian & berteriak-teriak di sekelilingku. Kemudian mereka menujuk-nunjukku dan menuduhku penyebab mereka menjadi seperti itu. "Tapi--tapi--"aku menjadi ragu. "Dengar, itu bukan salahmu. Kalau memang kamu benar mau melanjutkan hidup di sini, bersamaku. Satu hal yang harus kamu tanamkan di hatimu adalah, bahwa kamu tidak bersalah. Bukan kamu yang menyebabkan semua ini." ia mengguncang kedua bahuku. Aku mengangguk. "Nah, jika kamu sudah yakin. Ayo kembali ke asrama. Bereskan barang-barangmu, karena mulai sekarang kita akan jadi teman sekamar." ia terkekeh.

Saat gedung asrama mulai terlihat, langkahku jadi terasa terlalu berat, tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri dan pada Joey

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat gedung asrama mulai terlihat, langkahku jadi terasa terlalu berat, tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri dan pada Joey. Aku harus kuat. Aku tahu, walau aku menunduk, aku masih bisa melihat tatapan sinis mereka kepada kami, kepadaku. Apakah mereka sudah sadar bahwa mereka gagal? Ya, tentu saja. Karena tak lama kemudian, kami mulai mendengar teriakan-teriakan, disusul tawa, kemudian ada juga tangisan. Kutukan itu sudah dimulai, kurasa. Tiba-tiba ada seseorang yang menampar wajahku, kemudian dia tertawa terbahak-bahak menunjuk-nunjuk diriku. Tidak, jangan bilang dia gila, jangan bilang dia salah satunya. Dia- Melissa.

End

Hitam PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang