Tinggal 3 hari sekolah akan dimulai. Hari itu hanya aku sendirian di rumah. Tante Rahma sedang berbelanja keperluan di luar, Om Dino kerja, sementara Renald, seperti biasa, sibuk bermain dengan teman-temannya. Kemudian telepon rumah berbunyi. Aku segera mengangkatnya "Halo Sheila, ini tante." terdengar suara dari ujung telepon. "Ya Tante?" tanyaku. "Boleh minta tolong ga? Jadi gini, tadi Renald telepon, katanya skateboardnya ketinggalan di kamar. Nah maksud tante kamu tolong ambilin ya di kamar Ren, kunci serepnya ada di dalam guci di samping meja dekat TV. Biar tante ga usah masuk rumah dulu nanti, langsung anter boardnya ke Renald. " jelas tante Rahma. "Oh, oke Tante." jawabku mengerti. "Oh ya, skate board nya ada di dalam lemari, samping meja belajar Ren ya. Makasih Sheila. Tante sampe rumah sekitar 20 menit lagi." telepon pun tertutup. Aku melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh tane Rahma, setelah pintu kamar Renald terbuka, aku segera menuju lemari tempat skateboard itu disimpan. Di atas meja belajar, sesuatu menarik perhatianku, PC milik Renald. Wah, sudah lama sekali rasanya aku tidak membuka media sosial, rasanya hambar. Aku bertekad untuk segera membeli ponsel nanti sore. Tapi bolehlah ya, sepertinya aku meluncur sebentar di dunia maya dengan PC milik Renald. Toh hanya sebentar saja.
Aku segera membuka PC nya, kemudian kegirangan karena tidak dikunci. Aku segera membuka semua media sosialku, mulai dari Facebook, Instagram, dll. Kemudian aku berpikir, ah, bagaimana kalau aku video call dengan sahabatku Nadira? Aku rindu sekali dengannya. Kemudian aku mencoba mencari cara untuk menyalakan kameranya. Aku mencoba mengklik sebuah aplikasi bergambar kamera, tapi aku bingung, yang terlihat bukanlah wajahku. Melainkan sebuah ruangan. Setelah aku berhasil mengamati ruangan itu, aku terkejut. Itu--itu kamar yang aku tinggali. Jadi, ini seperti kamera pengawas, cctv. Aku mencoba memastikannya, apakah ini hanya prasangkaku saja bahwa ini hanyalah sebuah foto, atau memang semua ini nyata. Aku pergi ke kamarku, kemudian melihat-lihat sekeliling, berusaha mencari di mana kamera tersebut di simpan. Agak susah, karena di langit-langitpun terdapat ornamen dinding, yang menyulitkanku melihat dengan jelas. Kemudian aku mencoba mengambil beberapa barang dan kuletakkan di atas kasur, dan segera berbalik kembali ke kamar Renald. Benar saja, ternyata gambar yang kulihat sekarang berubah, dan beberapa benda di atas kasur yang kuletakkan tadi, benar-benar ada di tempatnya, sesuai dengan yang ada di kamar sekarang. Aku ternganga, masih tak percaya. Ini mengerikan. Tak kusangka Renald selicik itu. Dan apa maksudnya? Pantas saja selama ini aku merasa seperti sedang diawasi. Apa dia berniat jahat padaku? Atau dia memang cabul? Ah, entahlah, aku bergidik ngeri membayangkannya. Aku harus bicara padanya. Harus.
Malam itu, setelah selesai makan malam, kuketuk pintu kamar Renald. "Siapa? Masuk aja." katanya dari dalam. Aku masuk dengan wajah kesal tak tertahankan. "Lo mau apa sih Ren?" Apa maksudnya?" aku langsung meracau. "Apanya yang mau apa? Lo ngomong apa sih?" Renald masih berpura-pura tidak tahu. "Gue udah muak tahu ga lo. Gue bisa bilangin ke Om atau Tante. Copot tuh kamera!" kataku hampir teriak. Dengan sigap, Renald membekap mulutku. "Eh, diem deh lo. Ini rumah gue. Kalo lo berani lapor, gue udah punya banyak video lo ganti baju. Bisa aja kan gue posting tuh, Hahaha." Renald tertawa merasa menang. Perutku langsung mulas & jantungku hampir berhenti berdetak mendengar ancamannya. Benar, aku kalah telak. Aku segera kembali ke kamar & mengunci pintu. Aku masuk ke dalam selimut dan menangis. Bingung pada apa yang harus aku lakukan. Kemudian di bawah selimut yang terlindung dari tatapan jahat yang kutahu Renald sedang mengawasiku dengan kamera pengawasnya, aku tertidur.
Keesokan paginya, aku meminta izin untuk pergi berjalan-jalan dan membeli ponsel baru. Aku butuh suasana baru & ketenangan untuk berpikir. "Kenapa ga mau tante temenin sih, La? nanti kamu nyasar lho." tante Rahma bersikeras ingin mengantarkanku. "Ih, tante, tenang aja, Sheila udah 17 tahun, bukan anak kecil lagi. Lagipula Sheila ga jauh kok, cuma mau ke Mall situ doang. Ya Tante?" aku membujuknya. "Ya udah, jangan lama-lama tapi ya. Hati-hati lho. Begitu udah dapat HP nya, langsung hubungi tante ya." akhirnya tante Rahma mengizinkan. Aku mengambil kunci motor yang tergantung di garasi, kemudian menyalakannya. Sesampainya di Mall, aku memilih ponsel yang ingin kubeli. Setelah selesai, aku menuju food court untuk sekedar minum kopi dan bersantai. "Ini mbak pesanannya." seorang pelayan menyajikan pesananku di atas meja. "Oh, iya, Makasih ya Mba." aku tersenyum padanya. Tak jauh dari tempatku duduk, aku melihat sekumpulan wanita, yang jika kuprediksi, mereka sebaya attau setahun dua tahun lebih muda daripadaku. Mereka sedang asik bercanda, sambil sesekali menunjuk-nunjuk kertas yang mereka pegang. Kemudian, seorang temannya datang dari arah lain "Ayo, filmya udah mau mulai." dan mereka semua beranjak dari bangku itu meninggalkan selembar kertas yang mereka sibuk obrolkan tadi. Karena penasaran, aku segera beranjak dan mencoba mengambil kertas itu, siapa tahu ada event atau acara dekat sini, aku kan bisa mampir ke sana, pikirku. Tapi aku kecewa, ternyata bukan. Itu hanya sebuah flyer untuk sekolah asrama. Tapi eh, tunggu-tunggu.. Asrama? Aku kembali menelitinya lagi. Sekolah Asrama Khusu Wanita. Seketika aku punya jalan keluar dari semua masalahku. Ya, lebih baik aku tinggal di asrama daripada harus tinggal bersama si brengsek Renald yang mesum itu. Aku melonjak girang dan segera memasukkan flyer itu saku, kemudian pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih
HorrorBersekolah di tempat yang baru memang merupakan hal yang kurang menyenangkan bagi Sheila, belum lagi sekolah barunya ini mengharuskan dirinya tinggal di asrama, pasti terasa sangat menyebalkan. Namun bukan hanya menyebalkan yang ia rasa, ia juga har...