Aku mengamati Joey yang terlihat mulai rileks. Pisau yang sedari tadi ada di kantungnya pun, ia letakkan kini di sampingnya. Ia meringkuk sambil pandangannya memudar ke sembarang arah. Aku mulai bersiap melarikan diri, tapi kemudian aku kembali mengurungkan niatku karena ia mulai bicara. "Dulu, aku punya kakak yang sekolah di sini. Winda namanya. Ia anak yang sangat baik, namun walau begitu, takdir berkata lain. Aku tahu mereka telah membunuhnya, aku tahu jiwanya telah diambil dan digantikan dengan jiwa lain." air mata mulai tampak menggenangi mata Joey. Aku mulai mendekatinya. "Kakakku itu sangat pemalu & pendiam. Bahkan mungkin, hanya akulah satu-satunya teman yang ia punya. Ditambah lagi percerian kedua orang tua kami yang menyebabkan kami harus ikut salah satu dari mereka. Karena saat itu Ibu belum memiliki pekerjaan, kami berdua ikut ayah. Saat itu usia kakakku 18, dan aku 14. Tak lama kemudian ayah menikah lagi. Entah kenapa, kakak lebih memilih untuk pindah sekolah, walaupun sangat tanggung rasanya untuk pindah saat kelas 12, bahkan ia memilih sekolah asrama seperti ini. Tapi keputusannya sudah bulat, walaupun berat harus berpisah dengannya, tapi karena ini adalah keinginannya, aku harus menghormatinya." matanya masih menerawang sambil sesekali Joey memainkan rambutnya. "Terkadang ia meneleponku, bercerita padaku bahwa teman-temannya di sekolah ini sangat baik padanya. Mereka tak jarang memberikannya makanan. Hingga suatu hari, aku meminta izin pada ayah, untuk memberikan kejutan pada kakak, aku ingin menjumpainya. Ayah pun mengizinkan. Begitu sampai di sekolah, yang saat itu sedang hari libur, aku segera berlari ingin menjumpai kakak di asramanya. Aku mengendap-endap karena ingin memberi kejutan pada kakak. Tapi tak disengaja, aku mendengar percakapan dari beberapa orang, mungkin teman-temannya, aku masih bisa mengingatnya dengan jelas, saat mereka merencanakan untuk menjadikan kakakku persembahan, aku ingat betul saat mereka mengatakan akan mengikat kakaku, merendamnya dalam bak untuk mensucikannya, kemudian mendorong tubuhnya ke dalam sumur. Nama kakakku mereka sebut dengan jelas. Aku yang panik segera berlari menemui kakak, dia terkejut melihatku, antara senang, tapi juga bingung karena melihat wajahku yang pucat. Aku menceritakan semuanya pada kakak, tapi seperti yang kamu kira, ia tidak percaya padaku. Disangkanya aku hanya salah dengar. Karena kesal aku adukan juga pada ayah, tapi tentu saja, beliau lebih tidak percaya lagi padaku. Itulah terkahir kali aku melihat kakakku yang sebenarnya. Setelah lulus, kakak memang kembali ke rumah, tapi perilakunya sangat berbeda. Dia tidak seperti kak Winda yang aku kenal. Ia ceria, mudah bergaul, dan bahkan pertama kali berjumpa, ia sempat tidak ingat namaku. Aku yakin jiwanya telah pergi, dan di dalam tubuhnya, bersemayam makhluk yang lain." air matanya mulai tumpah & mengalir di pipinya. Suasananya begitu kikuk, aku hanya bisa menyentuh pundaknya.
"Aku mulai mencari-cari baik sejarah, maupun mitos tentang sekolah ini, baik dari keterangan tertulis, maupun dari cerita-cerita yang beredar di masyarakat sekitar. Dan aku menemukan bahwa dahulu, di jaman kolonial Jepang, sekolah ini didirikan. Saat Jepang menyerah pada sekutu, dan Belanda mencoba merangsek masuk lagi ke Indonesia, sekolah ini sempat menjadi sasarannya. Semua warga sekolah tidak ada yang selamat, mereka ditembaki dengan bengis. Tepat terjadi di tanggal yang sama seperti besok. Maka yang dirayakan besok sebenarnya bukanlah ulang tahun sekolah, tapi peringatan akan kejadian tersebut. Setelah keadaan berangsur membaik, sekolah ini kembali berdiri. Tapi setiap tahun ada saja yang murid yang mendadak menjadi gila, bukan hanya satu, bahkan hingga 3-4 murid. Kejadian tersebut sempat berlangsung beberapa tahun, hingga suatu hari, seorang murid kelas 11 tak sengaja terjatuh di sumur tepat pada malam sebelum peringatan pembantaian itu, ada seorang temannya yang melihat. Namun esoknya, si anak yang tercebur tersebut telah kembali di tengah teman-temannya, tentu dengan sifat yang berbeda, sama seperti kakak. Sejak saat itu, tak ada lagi yang menjadi gila. Tahun berikutnya, korban yang gila terjadi lagi, hingga akhirnya cerita beredar, dan disimpulkanlah kalau sekolah ini ingin terbebas dari kutukan, maka setiap tahun sekolah harus menumbalkan seorang siswa untuk diceburkan ke dalam sumur. Pernah suatu waktu yang ditumbalkan adalah seorang murid yang sudah mengetahui cerita ini, ia dipaksa, & diikat. Tapi tetap saja, masih ada lagi yang gila. Akhirnya mereka mencoba memanggil orang pintar, dan ternyata untuk tumbalpun butuh syarat khusus. Pertama, korban tidak boleh tahu kalau dirinya akan dijadikan tumbal. Kedua, korban sudah harus berusia di atas 16 tahun. Tentunya susah kan mencari anak kelas 10 yang belum tahu apa-apa tapi sudah berusia di atas 16?" jelasnya. Ini semua terdengar jadi tidak masuk akal buatku. "Lantas kenapa tidak ada yang lapor polisi aja?" tanyaku. "Hahaha, kamu lucu juga. Memang polisi mau percaya dengan cerita seperti ini? Lagi kita tidak punya bukti, karena korban yang dijadikan tumbal toh bisa kembali ke tengah-tengah keluarganya." jawabnya.
"Lalu? kenapa kamu malah mau sekolah di sini?" tanyaku lagi. "Mereka telah membunuh kakakku yang asli. Lalu apakah aku hanya diam saja? memang aku tidak akan bisa mengembalikannya ke dunia ini, tapi aku tidak mau lagi ada yang bernasib sama seperti kakakku. Tidak!" tegasnya. "Jadi kamu sekolah di sini untuk menolong para calon korban seperti aku?"tanyaku. "Iya. Bahkan jika aku harus dijauhi & dicap orang aneh. Tahun lalu, aku pernah berusaha menyelamatkan calon korban sepertimu, Eva namanya. Eva memang murid kelas 10, tapi karena ia pernah tidak naik kelas, usianya sudah lebih dari 16 tahun. Aku sudah coba memperingatinya agar menjauh dari para senior. Aku sudah dan selalu mencobanya. Hingga saat malam pengeksekusian, saat semua murid dari kelas 10-12 dikumpulkan jadi satu di dekat sumur itu, aku menerobos kerumunan untuk membebaskannya. Tapi aku terlambat. Aku masih ingat betul teriakan yang membawa Eva menuju kematiannya. Sejak saat itulah, aku dicap sebagai pengkhianat, aku dianggap tidak ada, bahkan dukucilkan. Ya, seperti yang kamu lihat sekarang. Tentu mereka menganggap diri merekalah yang benar, karna mereka hanya harus mengorbankan satu nyawa, agar yang lainnya terhindar dari kutukan gila itu. Apalagi kutukan gila itu terjadi secara random, siapapun pasti merasa was-was bila bisa berpeluang menerima kutukan itu." ia mengelap air matanya.
Haruskah aku memercayainya? Di lubuk hatiku aku ingin sekali mencoba mempercayainya, tapi cerita itu terlalu tidak masuk akal untukku. "Oh ya, dan pasti kamu bingung kan kenapa di sini semua hitam putih?" tanyanya lagi. Aku memberikan anggukan. "Aku juga tidak tahu asal muasalnya, tapi yang kutahu, semua warna akan terserap di sekolah ini. Katanya sih, dulu pernah dicoba untuk mengecat tembok dengan warna yang cerah, tapi kemudian, semua menjadi hitam & putih, begitu pula seragam. Seolah selain warna tersebut tak diiznkan untuk ada di sini."Ia merebahkan diri. "Tidurlah dulu, setelah fajar tiba, penumbalan terpatahkan, dan tidak akan berpengaruh lagi. " katanya. "Apa mereka akan membebaskanku?"aku bertanya. "Entahlah. Aku belum pernah tahu, yang jelas kamu sudah terbebas jadi tumbal, tapi untuk menjaga rahasia mereka, aku juga tidak tahu apa yang mereka akan lakukan padamu." katanya. Aku melihat jam tangan yang tergantung di tangan Joey. Pukul 02.40 dini hari. Aku harus kabur dari sini. Aku tak punya banyak waktu untuk mendengarkan ceritanya yang lebih lagi. Dia yang gila, pikirku. Dengan gerakan cepat, aku menyambar pisau yang sempat Joet letakkan tadi, kemudian segera berusaha membuka mulut gua. "Tidak! jangan pergi. Dengarkan aku. Nyawamu dalam bahaya." Joey bangkit, kemudian berusaha menyambar tanganku. Namun aku lebih sigap. Aku berhasil keluar gua, dan segera berlari kembali menuju asrama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih
HorrorBersekolah di tempat yang baru memang merupakan hal yang kurang menyenangkan bagi Sheila, belum lagi sekolah barunya ini mengharuskan dirinya tinggal di asrama, pasti terasa sangat menyebalkan. Namun bukan hanya menyebalkan yang ia rasa, ia juga har...