Aku berlari sekencang yang aku bisa. Hutan yang lebat, juga malam hari yang gelap gulita menambah kebutaan arahku. Aku tak tahu harus kemana, yang kutahu kini, Joey adalah orang gila. Ia terus berbicara hal-hal yang tak masuk akal. Sekarang aku harus mencapai asrama, mencapai kamarku kemudian mengunci pintunya. berlindung di bawah selimutku yang hangat & tebal. Mungkin tadi aku lup mengunci pintu kamar, sehingga Joey bisa masuk & kemudian membawaku ke bak di gubuk itu. Setelah berlari cukup lama tak tentu arah, mataku melihat sekumpulan cahaya di depan sana. Takut-takut dengan apa yang akan aku temui, aku melaju pelan, sambil tetap bersembunyi di rimbunnya pepohonan. Ah, itu mereka, pekikku dalam hati senang, melihat teman-temanku sedang berkumpul. Berkumpul di dekat sumur. Uh-oh. Apakah mereka semua mencariku? Mkasudku- mencariku karena khawatir padaku? Atau malah ingin membunuhku seperti yang dikatakan Joey? Aku menjadi ragu. Untuk mengetahuinya, mau tidak mau aku harus mendekati mereka. Mendengar apa yang mereka bicarakan, dengan sembunyi-sembunyi. Ketika aku sudah cukup dekat untuk mendengar suara mereka, aku kembali meringkuk di belakang pepohonan. "Ah, sial. Ini semua pasti gara-gara si brengs*k Joey." sesorang kudengar memaki, sepertinya itu suara Melissa. "Ya, dia pasti menolong & membawanya kabur." sesorang menimpali. "Tahu begitu sudah kudorong saja dia sejak tadi, tak usah lama-lama dibiarkan di bak." yang lain menambahkan. "Eh, diam. Apa-apaan sih kalian jadi ribut sendiri? Sekarang bukan waktunya ribut. Cari dia smpai ketemu. Waktu kita cuma tinggal 3 jam lagi sampai fajar tiba." Melissa memotong pertikaian. Hatiku mencelos. Entah aku harus bagaiamana sekarang. Kecewa sekali rasanya. Bila orang yang telah dianggap sebagai teman sendiri, ternyata ia ingin membunuhku. Apa-apaan itu?
Sejenak, instingku langsung bangkit & menyuruhku lari sejauh-jauhnya dari sana, lari kembali menuju gua Joey yang aman. Meminta maaf karena telah tidak mempercainya. Tapi, maukah ia kembali menolongku? Setelah sebelumnya aku malah kabur & melarikan diri darinya? Maukan ia memaafkanku? Entah omong kosong apa yang ia katakan, tapi setidaknya ia tak berniat mencelakaiku. Ketika aku hendak berbalik untuk lari, sesorang dari belakang tiba-tiba membekap mulutku. Aku berharap ini seperti layaknya adegan di film-film action, bahwa ternyata si penyelamatlah yang datang. Tapi ternyata aku salah. "Halo manis. Kamu mau kemana?" aku ingat suara itu, dan aku pelan-pelan melongok melihat siapa yang membekapku, oh, matilah aku, itu Rani. Aku terus meronta & memberontak, tapi ia terlalu kuat. Tapi aku tiba-tiba ingat tentang pisau yang kubawa dari gua Joey tadi. Aku mengambilnya dari saku & kemudian dengan cepat menggoreskannya ke tangan Rani. "Maafkan aku, aku tak punya pilihan." ujarku. Ia menjerit kesakitan & kaget. Tanpa perlu aba-aba lagi, aku langsung lari menjauh darinya. Aku berdoa dalam hati semoga Joey mencariku & masih mau menolongku lagi. Aku terus berlari dan berlari, merangsek jauh ke dalam jantung hutan ini. Setidaknya aku masih punya senjata, pisau ini. Barangkali ada beberapa dari mereka lagi yang menemukanku atau bahkan ada hewan buas di sekitar sini. Aku tak dapat lagi menemukan gua Joey, jadi pilihanku hanya berusaha menjauh dari sini.
Walaupun aku terantuk-antuk akar, tercabik-cabik dahan, bahkan memar & lebam yang menghiasi tubuhku kini karena jatuh takmku gubris sedikitpun rasa sakit itu. Akhirnya, setelah lama berlari, aku bisa menemukan sebuah jalan setapak. Aku menyusurinya, dan sampailah aku ke sebuah jalan besar. Jalanan kosong, tak ada satu mobilpun yang lewat, namun aku tahu, jika aku terus menyusuri jalan ini, paling tidak aku bisa menemukan pemukiman. Rasa lelah & haus melandaku, mungkin aku sudah berlari selama hampir satu sampai dua jam, hingga akhirnya aku menemukan pemukiman warga.
Bajuku kotor dan penampilanku awut-awutan seperti ini, apakah ada warga yang bersedia menolongku? Apalagi di waktu dini hari seperti ini? Tapi ah, aku harus mencoba. Aku mengetuk rumah salah satu warga. Cukup lama tak ada jawaban, aku terus berdoa dalam hati. Aku tak aman di luar sini, mereka bisa menemukanku kapan saja. "Siapa ya, malam-malam begini?" ujar suara dari dalam. "Maaf Pak, saya Sheila. Saya mau minta tolong. Bisa tolong bukakan pintunya?" aku mencoba menjawab dengan suara yang sememelas mungkin. Tak berapa lama, seorang pria paruh baya membukakan pintu, matanya memindaiku dari kepala hingga ujung kaki. "Pak, tolong saya, saya habis diculik tapi saya berhasil kabur." aku berusaha memberi penjelasan serasional mungkin. Ia masih menatapku ragu-ragu. Aku maklum bila ia takut jika aku penipu atau semacamnya. "Maaf nak, coba rumah di ujung sana, itu rumah pak RT. Lebih baik kamu ke sana." Ia langsung menutup pintu. "Tapi--tapi--pak,, tolong saya." aku meratap. Tapi pintu rumah sudah kembali terkunci. Aku ingin menangis rasanya. Tapi akal sehatku segera mengambil alih. Aku harus segera mencoba peruntungan di rumah lainnya. Sebelum mereka menemukanku. Aku berjalan lagi tertaih-tatih ke rumah berikutnya, layaknya di desa, rumah-rumah di sini tak berdekatan. Jarak masing-masing rumah di sini bisa sekitar hampir 50-70 meter. Aku mencoba berdoa di dalam hati, dan mencoba mengulangi sekali lagi mengetuk pintu. Oh Tuhan, tolong aku. Aku tak tahu sampai kapan mereka akan berhasil menemukan aku. Aku kembali mengetuk pintu walau belum ada jawaban yang kudengar dari dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih
HorrorBersekolah di tempat yang baru memang merupakan hal yang kurang menyenangkan bagi Sheila, belum lagi sekolah barunya ini mengharuskan dirinya tinggal di asrama, pasti terasa sangat menyebalkan. Namun bukan hanya menyebalkan yang ia rasa, ia juga har...