Pilihannya hanya mencoba atau tidak sama sekali. Aku mengeluarkan pisau yang ada di sakuku secara sembunyi-sembunyi. Mungkin aku bisa menyakiti beberapa dari mereka yang mencoba menangkapku nanti. Benar saja, begitu pintu terbuka, kulihat segerombolan murid di depan sana, mereka terleihat senyum menyeringai menatapku. Tanpa aba-aba lagi, aku segera menghambur ke arah mereka, sambil mengayun-ayunkan pisau yang kupegang. Tapi tentu saja, jumlah mereka jauh lebih banyak dariku, sempat aku mendengar umpatan dari beberapa orang yang tergores pisauku, tapi nyatanya mereka tetap bisa mengentikanku. Saat aku sadar tanganku dipelintir sehingga pisau yang kupegang jatuh ke tanah. Usahaku sia-sia. "Cobalah untuk berhenti menyusahkan kami dan dirimu sendiri. Toh ujung-ujungnya juga kamu akan tertangkap." kudengar Rani mengejek. Aku berusaha terus memberontak, tapi akhirnya aku mulai kelelahan, dan aku dibawa paksa kembali menuju sumur itu, kembali menembus hutan.
Aku mulai pasrah, inikah akhir hidupku? Sekarang? Seperti ini? Hanya satu yang membuatku tetap tenang, mungkin saat aku mati nanti aku bisa kembali berkumpul bersama Mama & Papa serta adik laki-lakiku, Dio. "Tunggu aku ya." desahku dalam hati. Langit masih gelap, mungkin fajar baru akan menyingsing sekitar 1 jam lagi, itupun aku tak tahu pasti. Mereka berjalan tanpa suara, gerombolan ini hanya terdiri dari sekitar 6-7 orang, mungkin saat mereka lengah, aku bisa mencoba kembali untuk kabur? Tapi ah, rasanya, aku lelah sekali. Belum lagi aku harus minta bantuan siapa lagi saat aku terbebas dari mereka? Dan dimana tempatku untuk bersembunyi? Salah-salah aku masuk lagi ke rumah salah satu dari mereka. "Ayo cepatlah. Kita diburu waktu." Melissa menarikku kasar, aku tak bisa melawannya.
Sampailah kami di sumur tua itu. Sudah banyak yang berkumpul di sana, aku dengar sayup-sayup seseorang menyanyikan lagu-lagu jawa seperti di film-film horror. Aku tak mengerti lagu yang ia nyanyikan. Kulihat seluruh mata tertuju padaku. Sesorang mengambil sehelai kain kemudian mengikatkannya mengelilingi kepalaku, menutup mataku. Mereka semua sudah gila, pikirku. Mereka menikmati pembantaian ini. Seseorang menahanku, menyuruhku untuk berhenti melangkah, aku tahu, mungkin aku sudah sampai di bibir sumur. Kudengar sesorang berkomat-kamit membaca mantera yang aku tak tahu apa artinya, seperti bahasa Sansekerta, tak lama kemudian aku merasakan tangan yang mendorongku ke dalam sumur. "Ma, Pa, Dio, tunggu aku." ujarku dalam hati. Aku terjatuh ke dalam sumur, tanganku menggapai-gapai dinding sumur, berharap ada sesuatu yang bisa menahanku agar tidak jatuh, aku tak tahu seberapa dalam sumur ini, atau apa yang menantiku di dasarnya. Tapi sepersekian detik kemudian, tanganku berhasil menggapai sesuatu. Seperti akar tumbuhan, aku menggenggamnya erat-erat. Tentu saja kain penutup mata ini masih menempel di mataku, aku tak bisa memastikannya, bahkan aku tak tahu sampai kapan lagi akar ini mampu menahan bobot tubuhku.
Aku berusaha mencari cara lain. Aku menendang-nendang bagian dinding sumur yang masih berupa tanah. Seketika kakiku tersangkut di sebuah celah. Eh, tunggu dulu? Celah? Jika celah itu cukup lebar untuk menampung tubuhku, kemungkinan aku bisa masuk ke sana. Tapi pertaruhannya besar, aku harus bisa menarik tubuhku, tepat masuk ke dalam celah itu, jika ternyata aku terpeleset sedikit saja, aku malah bisa jatuh karena melepas peganganku di akar ini. Kembali aku mengukur lebar celah itu dengan menggerakkan kakiku. Ah, aku coba saja. Toh beberapa detik lalu aku tak punya harapan hidup lagi, jadi kesempatan sekecil apapun harus aku coba. Aku berusaha memasukkan kakiku lebih dalam ke celah tersebut, satu-per satu. Saat yakin sebagian besar kakiku sudah mulai masuk ke dalam lubang tersebut, aku mulai membawa tubuhku, ini harus cepat, terlambat sedikit saja saat aku melonggarkan pegangan, aku bisa jatuh. Tuhan, tolonglah aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih
HorrorBersekolah di tempat yang baru memang merupakan hal yang kurang menyenangkan bagi Sheila, belum lagi sekolah barunya ini mengharuskan dirinya tinggal di asrama, pasti terasa sangat menyebalkan. Namun bukan hanya menyebalkan yang ia rasa, ia juga har...