BAB II (Yogya) 4

239 21 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dewi, apa ini?" tanya Karl dari ujung telepon. Saat itu aku tengah makan mi instan goreng di kubikal. Snack sore untuk mengganjal perut.

"Memangnya ada apa?" Apa-apaan sih sudah mau jam pulang kantor ribut-ribut.

"Bagaimana bisa tagihan kartu kreditnya melebihi limit? Kau memesan kamar president suite room? Layanan kamar eksklusif? Dan apa ini, spa? Buat apa kamu spa di hotel? Dan itu tidak hanya sekali melainkan 3 kali?"

Aku nyengir kuda. Ketahuan deh, hihihi.

"Itu karena Eduard mengajak saya kelilingan jalan kaki, badan remuk semua sehingga saya butuh lulur dan massage untuk mengembalikan kebugaran badan. Coba kalau dia mau ke mana-mana naik mobil atau taxi, tentu saya tidak perlu melakukan spa." Beuh, alasan banget ini. Kalau capek, langsung tidur juga besoknya sudah segar. Tapi sayang kalau fasilitas hotel tidak digunakan. Apalagi jika itu dibayarkan orang lain. Hehe.

"Kamu juga menghabiskan buffet full cookies dan cokelat?"

"Yah...itu karena kalau malam di hotel kan pengennya ngemil. Dan camilan paling pas ya cokelat, permen dan sesuatu yang manis-manis." Aku menggores-goreskan telunjukku melingkar-lingkar di permukaan meja.

"Memangnya ini perjalanan pribadi?" omel Karl. "Pengeluaran yang tidak kredibel, yang alasannya tidak jelas akan dibebankan kepadamu. Tentu saja dengan dipotong langsung dari gajimu per bulan."

"Apa?!" pekikku terlonjak. "Karl, kamu tidak bisa melakukan itu kepadaku. Bagaimana mungkin kau tega? Karl? Karl?" Aku sampai berdiri memanggilnya ketika tahu teleponnya sudah ditutup.

Aku tidak sadar jika suaraku ternyata mengundang tanya teman-teman satu ruangan yang lain. Termasuk Vivi. Dia bahkan ikut berdiri melihatku dengan pandangan yang jelas menanyakan "ada apa?". Aku hanya tersenyum simpul, menenangkan. "Tidak ada apa-apa," kataku tanpa suara. Lalu kembali duduk.

Kutangkupkan mukaku di meja dengan lemas. Ugh....Karl benar juga, sih. Aku yang salah. Tapi tetap saja aku merasa kesal.

******

"Terima kasih, ya, kamu kemarin sudah datang ke rumah sesudah kamu pulang dari Jogja. Aku terharu," ujar Vivi begitu terharu, saat jam makan siang di kantin kantor. "Korden batik darimu sudah terpasang di ruang tamu. Aku dan mas Irfan menyukainya, lho."

"Iya, sama-sama." Aku menyesap es tehku. Segar, siang-siang begini. Ternyata nikmat itu sederhana. Hahaha.

Tak lama Ria, Dion dan Tasya ikut bergabung. Mereka semua dari bagian desain dan artistik.

"Eh...ada berita baru," kata Tasya memulai percakapan. "Kalian tahu kan, si Lia?"

Kami semua mengangguk-angguk tanda mengiyakan.

My Daddy Long-Legs (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang