Mobil melaju dengan mulus kembali ke Yogyakarta. Beristirahat dahulu sebelum besoknya rapat kembali dengan vendor game di kantor mereka. Kali ini kami menginap di resort yang berada di jalan Kaliurang dan berbeda kamar tentu saja. Suasananya sangat nyaman dan sejuk.
"Makanlah." Karl memasukkan sepotong roti ke dalam tasku dengan memaksa begitu berada di depan pintu kamarku. Yah, aku memang menolak untuk makan sesampainya di resort.
"Tapi Karl, aku tidak lapar."
Karl langsung menjentik jidatku cukup keras. "Jangan menjadi orang yang egois, Dewi. It's not for you. Aku tidak mau kamu sakit sehingga mengganggu meeting besok. I need you, so don't be childish."
Kuusap-usap dahiku. Ternyata sakit juga.
"Baiklah."
Puas dengan jawabanku, Karl pergi ke kamarnya di sebelah sementara aku masuk ke kamarku. Membuka jendela agar udara segar bisa masuk, lalu langsung merebahkan badanku di atas ranjang. Entah mengapa aku merasa sangat lelah. Kantuk pun dengan mudah membawaku terlelap.
Bangun-bangun, kudapati lampu kamar sudah menyala. Di luar jendela, suasana sudah gelap gulita. Kuambil handphone-ku dan melihat jam. Sudah pukul 7 malam. Tanpa sadar aku sudah tertidur hampir 3 jam lamanya.
Aku berusaha untuk duduk. Akh, kepalaku langsung terasa pusing. Ini pasti karena kebanyakan tidur. Perutku juga memprotes keras, lambung mendadak perih seperti ditusuk dengan keras. Gawat, maagku kambuh.
Kusambar tasku dan mengeluarkan semua isinya mencari tablet antasida yang selalu tersedia untuk jaga-jaga. Setelah menemukannya, aku langsung meminumnya dengan air putih yang sudah ada di meja kecil di dekat tempat tidur. Aku kembali meringkuk menggulung tubuhku seperti bola menahan rasa sakit. Aku harus menunggu setengah jam sebelum bisa memakan sesuatu. Benar kata Karl, seharusnya aku makan roti pemberiannya sesegera mungkin tadi.
"Tok, tok, tok" terdengar ketukan di pintu. Kuabaikan.
Lalu hening.
Aku tidak menghiraukan karena perutku melilit begitu hebat. Sebisa mungkin kutekan keras-keras dengan kedua tanganku untuk mengurangi rasa sakitnya. Keringat dingin mulai bermunculan. Sembari berdoa semoga efek obatnya cepat terasa.
"Kamu sakit?"
Suara Karl mengagetkanku. Aku membuka mata, Karl ada di dalam kamar.
"Karl? Bagaimana bisa kau ada di sini?" tanyaku sedikit meringis. "Maagku kambuh."
"Sifat cerobohmu itu tidak pernah berubah," sahutnya enteng sambil melemparkan kepalanya ke arah jendela yang terbuka.
"I want to take you dinner. But with your condition right now, I think it's better to eat here." Karl bergerak ke meja kecil di depan cermin dan mulai menelepon layanan kamar.
Aku tidak terlalu mendengar apa yang dipesan oleh Karl.
"Are you okay? Or I should call a doctor?". Lalu aku mendengarnya mengembuskan napas keras. "So, you don't eat yet the cake I gave to you?" Dia mengambil roti di antara isi tasku yang berserakan di atas ranjang, lalu melemparkannya kembali. "Well, you never hear what the people said to you."
"Maaf," aku memang tidak mau berdebat dengannya. Tak ada tenaga untuk itu. "Aku sudah minum obat. Sebentar lagi membaik, kok."
Karl menarik dan membalik tubuhku agar telentang, lalu memeriksa dahiku dengan tangannya yang besar. Aku terkesiap melihat wajahnya yang begitu serius. Tangannya lalu turun ke bawah.Wajah Karl mendekat, membuatku langsung menahan napas. "Sudah gemar menabrak orang, tidak mau dinasihati pula," ujarnya mengeluhkan kebiasaanku. Aku kan cuma menabraknya sekali saat di lift, bukan hobi. Itu pun saat pertama kali bertemu dengannya saat akan wawancara kerja. Aku hendak membantahnya, tetapi mata Karl yang berwarna biru keabuan menghipnotisku. Aku bahkan takut untuk berkedip. Tatapan Karl membuatku membeku di tempat. Bagaimana bisa?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Daddy Long-Legs (completed)
RomanceMenjadi seorang Dewi yang mempunyai atasan Karl mungkin bagimu tidak akan menyenangkan. Namun dibalik sifat keras Karl, Dewi menemukan seseorang yang ternyata begitu lekat dalam ingatannya. Hal-hal yang selama ini tidak pernah terbersit dalam pikira...