BAB III (Ugh, Sebel!) 3

217 21 5
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akhirnya Karl mendengarnya dan menoleh ke belakang. Memandangku dengan polosnya.

"Karl, stop di situ." Aku lalu berjalan tergesa ke arahnya. Tapi Karl malah dengan santainya, seolah tidak ada yang memintanya berhenti, melenggang santai menyusuri koridor.

Ugh, satu orang ini benar-benar! Aku pun menge-gas kakiku setengah berlari mengejarnya.

"Karl...I asked you to stop. Why don't you listen to me?" semburku dengan marah saat aku sudah menyalipnya. Berdiri di depannya dengan terengah-engah sambil mengangkat satu tanganku ke depan menahannya.

Karl hanya mengangkat satu alisnya, sementara matanya sedikit menyipit tidak mengerti.

"Saya mau kita bicara."

"Sekarang?" tanyanya enteng.

"Iya. Sekarang! Right now!" jawabku dengan galak.

"Bisakah diundur hingga 5 menit ke depan?"

"Tidak bisa. Saya maunya sekarang. Memangnya ada urusan apa hingga harus menundanya 5 menit sementara ini bisa diselesaikan sekarang juga?"

"Well...," Dia memiringkan kepalanya menunjuk arah di belakangku. "Aku sangat butuh untuk ke sana."

Aku menoleh dengan tidak sabar. Apa sih yang tidak bisa ditunda oleh Karl barang 5-10 menit? Aku mengaku kalah. Karl menunjuk pintu toilet yang berada persis di belakangku. Kalau untuk urusan ini...jelas tidak bisa ditunda.

"Uhm...baiklah," aku mengalah. "tapi saya akan menunggu Anda di sini. Saya tidak akan membiarkan Anda kabur." Aku bersidekap dan memberinya jalan.

"Terserah Anda saja." Karl lalu masuk ke dalam toilet.

Sementara aku menunggunya dengan bersandar di dinding pas di dekat pintu. Menunggu memang hal yang tidak menyenangkan. Waktu terasa lebih lama. Baru 30 detik aku merasa sudah 10 menit berlalu. Aku jadi tidak sabar dan berjalan mondar-mandir. Beruntung tidak ada orang yang ke toilet saat itu. Pasti nanti aku dikira orang gila.

Pintu terbuka. Karl sedikit terlihat terkejut melihatku.

"Kukira kamu sudah pergi," katanya sambil mengancingkan pergelangan kemejanya.

"Saya bukan orang yang mudah menyerah."

"Baiklah, kamu mau bicara soal apa?"

"Saya ...."

"Sebaiknya jangan bicara di sini, lebih baik kita ke tempat lain saja," potong Karl, lalu beranjak pergi.

"Heh?" Aku segera mengekor di belakangnya dengan susah payah.

Karl membawaku ke balkon di lantai yang sama.

"Jadi?" tanyanya sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana. Menatapku.

"Kenapa Anda tega melakukan ini kepada saya?" Aku langsung to the point. "Mengapa Anda tidak pernah memikirkan perasaan saya sedikit pun? Anda menggunakan saya untuk taruhan dengan kolega Anda? Bagaimana Anda bisa sampai hati melakukan ini? Walaupun jika ini bukan taruhan, saya mempertanyakan nilai saya di mata Anda. Anda bahkan tidak mempertahankan saya untuk tetap di sini, malah mengantarkan saya di persimpangan untuk memilih. Memangnya saya tidak berarti bagi perusahaan? Bagaimana juga saya bisa meninggalkan perusahaan ini pindah ke perusahaan lain? Perusahaan ini keluarga saya di sini. Tempat pertama yang mau menerima saya dan belajar banyak hal setelah saya lulus. Dan Anda yang mau mengulurkan tangan untuk mengangkat saya yang tadinya belum tahu apa-apa memjadi seperti sekarang. Anda pikir saya akan dengan mudah tergiur dengan gaji tinggi dan posisi lebih baik di tempat lain? Bukankah Anda sudah mengenal saya dengan baik? Ataupun jika Anda berniat menguji saya, bukan seperti itu caranya. Anda bisa langsung menanyakannya kepada saya langsung tanpa harus melalui orang lain. Apakah saya serendah itu?" Aku mengatakan dengan emosi meluap-luap. Memuntahkan semuanya. Bahkan hampir menangis karena merasa kecewa.

Karl cuma terdiam mendengarnya.

"Ini sangat melukai perasaan saya. Bagaimana bisa Anda tidak mempercayai saya?" Aku menggigit bibir. Berusaha menahan tangis, tapi tetap saja air mataku turun. Buru-buru aku menghapusnya. Aku tidak mau terlihat cengeng di depan Karl. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak mau dipandang sebagai kacang lupa dengan kulitnya. Aku bukan orang yang seperti itu.

Karl melangkah mendekat. Dia menarik napas panjang. Tangan kanannya terangkat, lalu mengusap-usap rambutku. Eh? Aku membatu. Bingung. Karl berusaha menenangkanku?

"Justru karena aku percaya kepadamu," kata Karl dengan lembut. "Aku membiarkanmu menjawab sendiri karena Mr. Yamato tidak akan menerima jika aku yang mengatakannya, bahwa kamu akan tetap stay di sini. Akan lebih jelas baginya. Dan lagipula itu bukan taruhan. Walaupun kamu berniat untuk pergi, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi." Sudut bibirnya sedikit naik membentuk sebuah senyum.

Aku terpana. Aku bahkan tidak berkedip. Jantungku juga mendadak berhenti berdetak. Ini bukan halusinasi, kan? Jangan-jangan Karl sedang mabuk.

Karl menarik lepas heels yang ada di tanganku. Lalu jongkok di depanku. Aku langsung salah tingkah tidak tahu harus berbuat apa saat dengan pelan dan hati-hati dia dia mengangkat satu kakiku memakaikannya. Lalu kaki satunya. Otomatis badanku agak goyah dan mau tak mau aku mencari pegangan. Dan itu pundaknya. Ini terpaksa lho, ya. Nggak ada niatan lain.

Ketika Karl berdiri kembali, jarak di antara kami menjadi sangat dekat. Aku bahkan melihat dengan jelas ke dalam mata abu-abunya yang memantulkan cahaya lampu. Aku tidak tahu mengapa aku merasa sangat aneh. Posisi ini membuatku kikuk. Buru-buru kutarik tanganku dari pundaknya.

Karl memandangku tajam. "Ini peringatan, Dewi. Jangan lagi kau berlari-lari seperti tadi tanpa memakai sepatumu. Jujur saja itu cukup memalukan," bisiknya, lalu pergi.

Aku langsung ternganga? Maksudnya aku ini memalukan, begitu? Wuuuaaah, orang ini memang keterlaluan. Setelah dia membuatku deg-deg-an sesaat, lalu dia melemparku ke bawah dengan cepatnya.

"Karl, aku benar-benar membencimu!" teriakku. Tidak peduli jika ada orang lain yang mendengarnya.

Karl hanya mengangkat tangan kanannya sambil terus berjalan.

Mukaku langsung tertekuk berlipat-lipat. Aku benar-benar membencinya.

******    

My Daddy Long-Legs (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang