"Dewi Ambarningrum Lestari," suara Vivi Setyawati membahana di cafe langganan kami, satu gedung dengan kantor, begitu kukatakan kalau aku tidak bisa menjadi bridemaids-nya. Orang-orang langsung memandangi kami. Beruntung saat itu cafe sepi pengunjung, cuma ada segelintir orang yang mungkin mahasiswa, kayaknya, sedang sibuk dengan laptopnya. Coba kalau di perpus, bakal dilempar pulpen sama Nicholas Saputra. "Beraninya kamu ninggalin acara paling penting dalam hidupku. Mending kalau kamu cuma jadi penerima tamu,. Kamu itu bridemaids. BRIDEMAIDS. Tokoh utama kedua setelah pengantinnya."
Aku tertunduk. Aku menerima semua kemarahan wanita cantik berambut lurus sepinggang itu. Memang aku yang bersalah.
"Apa kamu tidak menganggapku sahabat yang penting, sampai-sampai kamu mengundurkan diri menjadi bridemaids-ku? Memangnya kamu nggak menganggap pertemanan kita selama tiga tahun ini? Kamu juga lupa kalau mas Irfan juga salah satu temanmu?"
Aku menggigit bibir. Irfan memang teman satu kantor yang sayangnya kenal begitu dekat karena kita masuknya barengan. Gaya rambut plontosnya yang pendek banget begitu ikonik karena cuma satu-satunya di kantor. Dan dia calon suami Vivi. Makin menumpuk rasa bersalahnya.
"Tapi mau bagaimana lagi, Vi. Aku tidak bisa menolak perintah Karl." Aku berusaha membela diri. "Dia atasanku, ingat?"
Vivi menatapku garang. "Ya pake alasan apa, kek. Cuti kek, pulang kampung kek, ada acara keluarga kek. Kamu mau menghancurkan pesta pernikahanku ya?"
"Kamu bisa cari penggantiku, kan?" tanyaku takut-takut.
"Dalam waktu seminggu? Kamu gila, ya? Susah, Dew. Apalagi harus beli bahan kebaya lagi yang belum tentu ada karena stocknya terbatas. Belum jahitnya. Butuh dua bulan, Wi, buat jahit kebaya. Kamu tega ya."
Aku tertawa miris sambil mengaduk-aduk tidak beraturan caramel machiatoku.
"Si Ria saja ya yang menggantikan aku. Postur tubuhnya sama lagi denganku. Jadi nggak perlu jahit kebaya. Dia juga masih jomblo kok. Jadi weekend dia pasti free," ujarku sok yakin. Padahal aku juga belum tentu pasti. Ria, anak Desain Grafis di kantor. Soal bikin gambar, packaging, hingga layout buku dia jagonya. Urusan Ria belakangan, sekarang yang penting bisa meredakan kemarahan Vivi dulu.
"Itu artinya kamu tidak bisa datang ke pernikahanku?" suara Vivi langsung berubah sendu. "Aku kan maunya kamu yang dapat bucket bunganya supaya cepat nyusul nikah. Kamu kan lebih tua dari aku. Harusnya kamu yang duluan nikah."
Jleb. Menusuk begitu dalam. Cuma beda dua tahun doang, aku sedikit sewot. Susah memang kalau masih single, sementara teman-teman yang lain sudah punya gandengan ataupun nikah. Pasti selalu disindir-sindir kapan punya pacar, kapan menikah.
"Maaf, ya. Kamu kan tahu Karl orangnya seperti apa."
"Mengapa sih tuh orang tidak bisa melihat orang lain bahagia. Mana tahu dia soal cinta." Vivi marah-marah sambil mengaduk-aduk minumannya. "Tidak punya perasaan. Pantas saja jika dia tidak pernah punya pacar."
"Sudahlah, Vi." Aku menenangkan. "Aku ke toilet dulu ya." Aku berdiri. Saat akan beranjak, aku dikejutkan dengan Karl yang melintas sambil menenteng kopinya ke pintu keluar cafe. Aku terpaku. jangan-jangan dia tadi mendengar semuanya. Counter kopi tak terlalu jauh dari meja kami. Kenapa tadi aku tak melihat dia datang? Pastinya dia mendengarnya. Pasti itu. Aku memejamkan mata, merasa bersalah. Matilah aku!
"Ada apa, Dew?" Vivi mencolek tanganku. "Katanya kamu mau ke toilet?" Dia melihatku bingung.
"Ah, tidak."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Daddy Long-Legs (completed)
RomansaMenjadi seorang Dewi yang mempunyai atasan Karl mungkin bagimu tidak akan menyenangkan. Namun dibalik sifat keras Karl, Dewi menemukan seseorang yang ternyata begitu lekat dalam ingatannya. Hal-hal yang selama ini tidak pernah terbersit dalam pikira...