Pagi datang dengan cepat. Aku bangun subuh hanya demi mengejar kereta. Perintah Karl memang tidak bisa diganggu gugat walaupun di luar tugas utama.
Jadilah aku sekarang. Mau tak mau aku harus mengasuh bayi besar keponakan atasanku itu. Datang ke Yogya naik kereta, bukannya naik pesawat yang lebih cepat. Bayi besar itu ingin menikmati nasi goreng di kereta. Hhhh...ada-ada saja. Namanya Eduard Wilbert. Lengkapnya Eduard Sigmund Wilbert. Di Jerman nama tengah biasanya tidak disebut. Umurnya baru 18 tahun, 7 tahun lebih muda dariku. Seperti kebanyakan orang Jerman, perawakannya tinggi, berambut cokelat agak pirang, bermata biru dan tentu saja tampan. Perkenalan singkat kami cukup canggung. Apalagi saat aku menjemputnya di bandara. Dia cerewet seperti pamannya, sementara aku hanya menanggapi pendek-pendek seperlunya. Soalnya aku masih setengah hati melakukan tugas ini.
Kubuka hay day, memanen dan membuat keju, saat Eduard sudah kembali dari toilet. Memamerkan senyumnya.
"Let's go," ujarnya bersemangat. Aku tersenyum tipis, setengah hati membalasnya. Lalu menyeret koperku, sementara Eduard melangkah santai di sampingku dengan ransel di punggungnya. Matahari sudah di barat dengan sinar keemasannya.
Aku hendak memanggil taxi di depan stasiun, tapi Eduard mencolek pundakku.
"Is the hotel far from here?" tanyanya.
"Tidak terlalu jauh, sih. Itu gedungnya kelihatan," sahutku sambil menunjuk sebuah bangunan yang berada persis di seberang jalan Malioboro.
"Jalan saja, ya. Aku mau berfoto di depan plang jalan Malioboro."
Aku memandangnya shock. Jalan? Yah, walaupun tidak terlalu jauh, paling hanya 300 meter. Tapi kulihat sepatuku, heels setinggi 8 cm (aku lupa jika ini bukan perjalanan dinas, tapi malah memakai setelan resmi), dan koperku yang cukup berat, membuatku depresi. Belum sempat aku protes, itu anak sudah melenggang di depan menyusuri boulevard stasiun ke arah pintu gerbang khusus pejalan kaki. Terpaksa aku menyusulnya. Jika sampai dia hilang, aku bakal kena marah Karl.
Eduard benar-benar anak yang membuatku pusing tujuh keliling.
Bayangkan, dia memintaku memotonya di depan plang Malioboro yang ikonik dan mengajakku foto selfie bersama di sana. Seumur-umur, baru kali ini aku foto di sana. Apa sih yang menarik foto dengan latar belakang plang hijau tosca bertuliskan JL. MALIOBORO dengan aksara Jawa di bawahnya. Malunya luar biasa. Apalagi di jalan paling ramai di Jogja, banyak orang yang mengarahkan pandang ke arah kami. Ditambah beberapa polisi yang senyum-senyum dari pos tenda mereka di seberang jalan di depan rel kereta api. Segera saja kutarik Eduard menuju hotel untuk check in.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Daddy Long-Legs (completed)
RomanceMenjadi seorang Dewi yang mempunyai atasan Karl mungkin bagimu tidak akan menyenangkan. Namun dibalik sifat keras Karl, Dewi menemukan seseorang yang ternyata begitu lekat dalam ingatannya. Hal-hal yang selama ini tidak pernah terbersit dalam pikira...