Derita "Unggul"

94 9 4
                                    

Waktu kalian lihat judul ini, mungkin kalian bakal mikir ada yang salah, mengingat tulisan gue ini menceritakan tentang berbagai derita-derita yang seorang Unggul (yang kebetulan gue) alami. Tapi gue pastikan gak ada yang salah dengan mata kalian. Kecuali kalau kalian baru bangun tidur, coba cek ada beleknya atau kagak. Kalau ada buruan bersihin, soalnya gak romantis-romantis amat kalau sampai belek lu dibersihin sama doi. Dan itu kemungkinan cuma bisa terjadi di imajinasi liar kalian yang udah terlalu lelah nunggu chat "Selamat Pagi" dari doi kalian.

Lanjut.

Sehubungan sama tulisan gue yang isinya soal penderitaan gue ini, harusnya gue bahas mulai dari penderitaan punya nama Unggul. Karena apalah arti sebuah nama.

Eh, salah Quote.

Pokoknya gitulah intinya—lanjut baca aja biar ngerti. Ya, gue maksa.

Jadi, gue baru sadar kalau nama gue yang keren dan super bagus dengan segala lesapan doanya ini memberikan sedikit penderitaan buat gue. Bukan cuma penderitaan beban karena nama gue ini cukup berat kalau istilah orang Jawa, tapi juga beban di keseharian gue.

Punya nama Unggul itu emang unik banget, dikit orang tua yang ngasih nama anaknya pakai kata Unggul. dan yang pasti, nama Unggul itu gak bakal ada di kaleng Koka-Kola.

Tapi, karena unik ini juga, orang-orang jadi susah percaya. Tiap kali gue kanalan, orang-orang pasti natap gue dengan tatapan menusuk ala-ala orang nagih utang. Saking seringnya orang yang gak percaya itu nama asli gue, respons gue pun berganti. Kalau dulu gue bakal bilang, "Itu nama asli, kok." Sekarang jadi, "Gak percaya, kan? Udah biasa, kok."

Agak pedih emang. Tapi gue udah kebiasa. Sebelas-duabelas lah sama kalian yang udah kebiasa dipotekin sama doi tapi masih berharap.

Nah, ada lagi nih. Ini juga yang menyadarkan gue akan fakta bahwa nama gue ini memberikan suatu penderitaan tersendiri bagi gue.

Alkisah, hiduplah seorang remaja berusia 19 tahun. Ia kuliah di kampus yang tinggi—secara harfiah—dan sering kuliah di lantai 5. Suatu hari, tepatnya pada tanggal 22 November 2016, anak itu curiga kalau ada cewek-cewek yang bikin status "Tanggalnya bagus nih, nggak pengen ngajak jadian gitu?"

Eh, maaf, salah. tapi gue curiga emang ada yang kayak gitu sih. Ngaku lo.

Lanjut, deh.

Jadi, ketika remaja itu sampai di lantai 4 dan dalam proses menuju lantai 5—lewat tangga—dia mendengar sepotong percakapan antara dua mahasiswa yang entah semester berapa. Kurang lebih, potongan percakapan yang dia tangkap adalah, "...tapi, yang ini seharusnya bisa lebih unggul karena...."

Berhubung anak ini pelupa, seenggaknya dia selalu berusaha buat gak tuli. Ini berguna ketika dia ketemu sama orang yang dia udah lupa dan orang itu ternyata inget. Biar kalau dipanggil, si anak nggak terkesan pura-pura budek aja—meskipun emnag rada budek—jadi dia selalu mengasah kemampuan pendengarannya agar peka terhadap kata "Unggul".

Akhirnya si anak merasa terpanggil dan dia baru sadar kalau mereka lagi ngediskusiin sesuatu. Kebetulan, si anak itu namanya emang Unggul, yang kebetulan lagi, itu gue.

Sebenernya, itu gak parah-parah amat. Pernah lebih parah.

Jadi waktu itu pas masa-masa awal, masih maba. Waktu itu masih semacam masa ospek dan dosen yang jadi MC itu bikin semacam 'Perjanjian' buat penyemangat. Jadi kalau dia bilang "Universitas PGRI Semarang" kita harus jawab, "Unggul, Berjati Diri, ... (yang terakhir gue lupa)."

Ya wajar lah gue lupa, orang waktu dia ngasih tau aja gue langsung jawab, "Apa?" tiap dia bilang bagian, "Unggul,..."

Dan ya, akhirnya hari-hari berikutnya gue gak pernah ikutan jawab karena gue selalu merasa terpanggil. Jadi tiap diingetin, atau yang lain pada jawab, gue malah sibuk kaget sambil bilang, "Apa?" "Eh, iya, apa?" "Hah?"

Bahkan, pernah sampai parah banget. Tepatnya di hari ketiga. Waktu itu gue jawab keras banget, "Ya, Apa?"

Walau pun gak sampai kedengeran di depan, seenggaknya anak-anak dalam radius 5 meter denger semuanya dan ngelihatin gue. Dan gue Cuma bisa jawab, "Nama gue Unggul."

Sebenernya reaksi kaget bingung dari orang-orang ini terjadi hampir tiap hari semasa ospek.

Dan itu berlangsung sekitar seminggu. Bayangkan, seberapa menderitanya gue karena merasa bego. Karena tau itu pada jawab dan gue selalu ngerasa terpanggil.

Belum lagi, tiap kali guru bilang sesuatu dan bawa-bawa kata-kata yang mengandung kata "Unggul", langsung deh gurunya bilang, "Bukan Unggul yang itu, beda lagi." "Tapi kalau di kelas ini sih ada Unggul." dan semacamnya.

Belum lagi respons temen-temen sekelas yang pasti, "Nggul, disebut tuh." "Dipanggil tuh, Nggul." Atau sekadar sorakin, "Nggul."

Satu lagi nih. Orang Indonesia itu suka banget menggal nama buat panggilan di awal atau di akhir kalimat. Jadi gue ya disebut "Nggul". Gak ada yang salah dan gue jelas gak masalah sama itu. Masalahnya, orang Indonesia juga gak kebiasa sama 3 huruf konsonan yang berjejeran di awal suatu 'kata'. Alhasil, temen-temen gue banyak yang suka motong satu huruf lagi dan berakhir jadi "Ngul" kalau di BBM (fyi, grup kelas dan pertemanan medsos kelas gue masih pakai BBM, kudet emang.)

***

Yak, gue balik setelah ngilang sangat lama. Well, gue emang cuma balik gak yakin bisa seaktif sebelumnya karena ada beberapa alasan sih. Tapi gue mau usahain buat balik aktif lagi, moga bisa deh.


[Ion Arfeus]

Diari ala GueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang