Jam digital di meja kantor Dennis sudah menunjukkan pukul 17.00. Dennis menghentikan kegiatannya memeriksa kertas-kertas di depannya. Ketokan pintu dijawab dengan seruan untuk orang itu masuk. Wajah seorang gadis nampak, Dennis tersenyum kepadanya.
"Kau boleh pulang, Ra," katanya tanpa mendengar apa yang ingin Aurora katakan.
"Tidak ada yang diperlukan lagi, Pak?"
"Tidak. Kau sudah boleh pulang atau mau aku antar pulang?" tanya Dennis.
"Tidak perlu, Pak. Terima kasih. Saya permisi dulu pak, selamat malam." Aurora segera berbalik untuk keluar dari kantor bosnya.
"Eh, sebentar Ra." Suara Dennis menghentikan Aurora yang sudah akan membuka pintu.
"Maaf, ada apa Pak?" tanya Aurora dengan kening berkerut.
"Besok sabtu jam tujuh malam ada acara?"
"Tidak ada. Ada apa Pak?"
"Aku ingin mengajakmu datang ke pesta peluncuran produk dari Keller Group. Kau bisa kan?"
"Hmm.... Baiklah, Pak, tapi sepertinya saya bukan pasangan yang cocok buat bapak. Saya tidak pernah datang ke acara seperti itu, Pak." Aurora meremas-remas ujung bajunya.
"Tidak apa-apa. Besok sepulang kerja kau bisa kutemani untuk mencari pakaian yang cocok."
"Ah, tidak perlu repot-repot pak. Saya akan mencoba mencari sendiri."
"Tidak! Lebih baik kau mencarinya bersamaku. Aku akan mencarikan gaun yang pas dan besok sabtu jam lima akan kuminta seseorang untuk mendandani juga menata rambutmu," kata Dennis dengan nada final. "Sekarang kau boleh pulang."
Aurora segera membalikkan tubuhnya dan keluar dari ruangan Dennis dengan perasaan enggan. Bagaimana ia akan melewati sabtu ini? Apakah pesta itu bisa ia lewati dengan mulus? Ataukah ia harus menghadapi hal-hal yang tak ia inginkan.
Ah, entahlah.... Saat ini Aurora hanya ingin segera pulang, berjumpa dengan adik-adiknya, lalu tidur. Biarlah apa yang terjadi esok hari, terjadilah. Dengan satu helaan napas panjang, Aurora berjalan keluar dari kantor itu.
Di dalam kantornya, Dennis mengemasi barang-barangnya. Rencananya sepulang kerja adalah kembali ke apartemen, have a long shower, sebelum dia akan menghadapi makan malam yang ingin dihindari.
Yah, mungkin ia bisa sedikit terhibur, karena akan bertemu dengan saudaranya, Kevin.
***
Jam enam sore, Kevin sudah sampai di rumah besar namun dingin itu. Kevin berjalan masuk dan langsung menuju lantai dua dimana kamarnya berada.
Sejam lagi, makan malam bersama keluarganya akan berlangsung. Kevin tersenyum miris. Keluarga? Apakah keluarga itu? Rasanya, Kevin tak pernah merasakan memiliki keluarga. Hangatnya mengobrol dan tertawa bersama keluarga.
Keluarga didefinisikan sebagai ayah, ibu, dan anak. Itu memang komposisi keluarga ideal, dan Kevin memiliki itu. Tapi atmosfir keluarga sama sekali tidak ada. Kevin malah berpikir ia akan lebih memilih keluarga seperti keluarga Ara. Mungkin Ara tak memiliki ayah atau ibu, tapi Ara dan adik-adiknya saling menjaga serta memperhatikan. Sedikit bersyukur, karena sekarang ia mempunyai Dennis, saudara senasib, sepenanggungannya.
Kevin segera masuk ke dalam ruangan wardrobe-nya setelah selesai mandi. Memakai baju polo dan celana panjang kain, lalu ia kembali ke kamarnya, tanpa menyadari seseorang sudah duduk di sofa kamar.
"Apa kabarmu, Vin?" Suara itu menyadarkan Kevin kalau ia tak sendiri.
"Kau bisa melihat sendiri kan, Nis," jawab Kevin enteng duduk di samping Dennis menatap kosong pada layar televisi yang mati.
"Kau sudah bertemu mom dan ayah?" tambah Kevin.
"Aku tak berharap bertemu mereka, Vin. Kau kan tahu bagaimana aku."
"Iya, tapi kau juga tak bisa menghindarinya."
"Bukannya aku membenci ibumu, Vin, tapi aku kurang nyaman saja dengannya. Aku tak bisa sepertimu yang bisa menerima orang baru dengan cepat." Kevin tersenyum mendengar ucapan Dennis.
"Nis, it's been 5 years actually. Jadi alasanmu itu sudah tidak bisa digunakan lagi."
"Entahlah, mau setahun, tiga tahun, lima tahun atau bahkan sepuluh tahun, aku rasa aku tetap tidak bisa dekat dengannya."
"Tak hanya kau, Nis. Aku juga tidak terlalu menyukai mom. Tapi bagaimana pun, Mom satu-satunya yang kumiliki sebelum kau menjadi saudaraku, jadi mau tak mau aku harus menerimanya. Apalagi dia yang sudah membawaku hadir di dunia." Kevin menghela napas panjang setelah mengucapkannya.
"By the way, sepertinya kita sudah harus turun untuk menghadapi kedua orang tua itu," kata Dennis lalu berdiri dan berjalan turun menuju ruang makan diiringi Kevin.
Di ruang makan ayah dan ibu mereka sudah menempatkan diri. Ayahnya duduk di ujung meja dengan ibu yang duduk di samping kanannya. Kevin duduk di samping kiri ayahnya yang berhadapan langsung dengan ibunya sedangkan Dennis duduk di samping Kevin.
Suasana makan malam itu berjalan dengan hening, hanya bunyi piring yang beradu dengan sendok. Hal yang sebenarnya sudah dapat Kevin bayangkan. Selalu seperti ini, makan bersama keluarga, malah menjadi saat yang canggung.
"Bagaimana pekerjaanmu, Nis?" Suara ayahnya memecah kesunyian. Selalu pertanyaan basa-basi seperti itu. Bukannya ayahnya dan Dennis satu kantor?
"Baik, Yah." Dennis menjawab dengan malas, tanpa menatap wajah ayahnya.
"Kalau kau bagaimana Vin?"
"So far so good. Saat ini saya sedang mencari klien-klien yang mau bekerja sama, untuk memasarkan buku-buku yang diterbitkan dengan cara mendigitalisasi buku dan menjualnya dalam bentuk ebook."
"Ooh terobosan yang bagus. Saat ini, banyak orang yang sudah mulai bosan dengan buku karena tidak praktis. Mungkin dengan hal itu akan membuat orang-orang mau membelinya," ujar ayahnya.
"Iya, Yah," sahut Kevin lalu melanjutkan makannya.
"Kalian besok sabtu datang ke pestanya Keller Group?" Kedua anaknya menganggukkan kepalanya.
"Besok kau datang sendiri kan, Vin?" Ibu turut dalam pembicaraan.
"Iya, kenapa Mom?"
"Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang disana," jawab ibu sambil tersenyum kepada Kevin.
"Kalau itu mengenai perjodohan, lebih baik Mom kubur keinginan itu jauh-jauh, karena aku sama sekali tidak ingin dijodohkan. Aku akan mencari pendamping hidup sendiri, Mom! Kau tak usah ikut campur mengenai hal itu!"
"Kau sudah cukup umur untuk menikah, tapi hingga sekarang kau tidak pernah mengenalkan seorang wanita kepadaku. Oleh karena itu, lebih baik kau melihat dahulu wanita yang sudah kupilihkan untukmu. Wanita itu pasti wanita cantik, terpelajar dan sopan."
"Iya lebih baik, kau temui dulu. Siapa tahu dia adalah calon yang baik untuk," sahut ayahnya.
Kevin terlihat kesal dengan pembicaraan ini.
"Sudahlah, kalau Kevin memang ingin menikah, pasti Kevin akan menemukan yang paling tepat untuknya. Tidak perlu perjodohan seperti itu." Dennis yang kesal dengan orang tuanya yang memojokkan Kevin ikut angkat suara.
###
Pendek lagiiiii... maafkan saya, tak sempat buat ngetik lagi..
draft ini benernya udah lama, saya buat dan saya ingin menambahkannya lagi. Akan tetapi apa daya banyak hal yang harus dikerjakan.
Semoga walaupun sedikit dapat mengobati kekangenan dengan Dennis-Ara-Kevin
Kecup satu-satu yang baca
KAMU SEDANG MEMBACA
suami khayalan (on hold)
عاطفيةjust a romantic story between Ara, Dennis, and Kevin