/// 6
Napas Butré tergopoh-gopoh. Helaan udara yang hidungnya hirup dalam-dalam masih saja terantuk dengan perasaan penat di tubuh, mengakibatkan seluruh raga Butré tidak berdaya. Frasa yang bisa secara jelas dan tepat menjelaskan apa yang Butré rasakan saat ini ialah, "kecapaian yang teramat sangat". Untuk melepas lelah yang membebani tubuh, Butré membiarkan air peluh yang hangat menyiram tubuhnya dalam gerakan teramat lancar dan lambat.
Kliennya berdiri di dekat Butré, di samping kiri. Rasa jengkel tergambar jelas di dalam gerakan tubuhnya. Maktso telah menghela napasnya selama lebih dari seratus kali semenjak si penyihir memaksanya untuk berhenti di tengah jalan. Tak seperti Butré, dirinya sama sekali tak tampak lesu. Wajahnya masih saja terlihat berseri-seri, bahkan sampai menyilaukan mata Butré. Meski keringat mengalir pelan dan deras di kulitnya yang menonjolkan relief tulang, ia tidak merasa hal itu terlalu mengganggu. Malahan, semua itu justru makin menambah semangat yang ada di hatinya.
Pakaian biru tua dari tenunan kain bernilai tinggi yang membubuhi dekapan menghangatkan hati pada tubuh kerempengnya seolah sama sekali tidak memberatkan gerak tubuh Maktso. Butré mulai mengkhayalkan kalau sebenarnya tidak ada sesuatu apa pun di dunia ini yang bisa melenyapkan bara semangat dalam hati si bocah.
"Dasar monster... Tolong... Beri aku... Waktu... Untuk tarik napas dahulu... Ka... Kamu... Jalanmu terlalu cepat..." protes Butré, kepayahan. Butré merasa malu sehabisnya. Apa yang ia lisankan benar-benar terdengar tidak jelas.
Maktso melirik kesal pada Butré, yang masih berupaya mengumpulkan udara untuk masuk ke paru-parunya. Tubuh Maktso yang tidak tenang terus berdiam mematung mulai meronta-ronta ingin bergerak, ingin terus melanjutkan perjalanan. Yang ambil inisiatif terlebih dahulu adalah mulutnya, yang sebentar lagi akan membalas protes dari Butré. "Kita baru saja berjalan sebentar, Butré. Sekarang belum genap sepuluh menit, bahkan! Kita masih belum keluar dari hutan tempatmu mengurung diri, masih sangat jauh dari negeri Peria. Kamu sendiri yang bilang, kalau kita perlu waktu delapan hari berjalan tanpa henti untuk sampai ke tujuan kita. Tapi sekarang kamu justru berhenti dan berhenti terus. Kita tidak akan pernah sampai ke sana kalau sikapmu terus begini."
Ungkapan kekesalan Maktso memantul begitu getarannya ingin masuk ke lubang telinga Butré. Saat ini kondisi si wanita sangat tidak bisa Maktso ajak damai. Meski Maktso berniat mengungkapkan seluruh kekesalannya sampai suara yang ia miliki benar-benar menghilang menggunakan seluruh gaya bahasa yang ia tahu, tetap saja Butré tidak bisa mewujudkan harapannya. Mau tidak mau, Butré harus istirahat.
Butré, yang sudah lancar dalam mengatur sirkulasi napasnya, mulai menjawab tatapan Maktso. "Bocah. Aku sama sekali sedang tidak membuat alasan apapun sekarang. Aku bersungguh-sungguh. Izinkan aku untuk tidur selama beberapa menit... Malam tadi aku sama sekali tidak menyiapkan diri untuk berjalan jauh seperti ini... Maafkan aku, tapi ini harus aku lakukan."
Helaan napas berat Maktso menutup dan menyelesaikan argumen mereka saat itu juga. Butré bersiap diri berbaring di rerumputan hutan. Akar pohon yang keras jadi bantal bagi kepalanya. Tapi Butré tidak terlalu mempermasalahkan soal tekstur super tidak nyaman tempat kepalanya berada, karena seolah ada sesuatu yang menarik kesadarannya begitu ia mulai merebah. Sesuatu --atau bahkan mungkin, seseorang-- menyedot dirinya ke dalam pusaran spiral antar ruang-waktu. Dirinya seolah bergerak melambat pada ujung dunia, di mana waktu tak berujung menemaninya dalam kesendirian. Eksistensi waktu bergerak terlampau pelan, dan tubuh Butré terasa terus-menerus memanjang dan mengendur berulang kali.
Seketika ada cahaya. Cahaya dingin berwarna putih memaksa masuk pada manik mata Butré, mengembalikan tubuhnya dari dalam lubang hitam kepada kenyataan. Sebuah kenyataan yang lain. Kenyataan yang sudah terlalu Butré kenal dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abad Hitam
FantasyAda banyak sekali hal yang terjadi di dunia ini setiap detiknya, namun kebanyakan manusia hanya melewatkannya. Hanya segelintir yang mau berpikir, akan keindahan kejadian-kejadian harian di seluruh penjuru semesta. Yang ingin mengetahuinya, terpuruk...