Bagian 8

12 1 0
                                    

///

Sekarang adalah saatnya kemunculan tokoh yang (lagi-lagi) baru.

/// 10

Apa yang ada di dalam pikiran pria ini adalah, rasa gugup dan tidak tenang. Ia sedari tadi duduk di sini sendirian, termangu selama berjam-jam, sembari minum beberapa gelas bir. Gerak keseluruhan jasadnya tampak tidak tahu arah. Ia mengetuk keras meja tempatnya menopangkan dagu, merasa tidak bernafsu dengan segala sesuatu.

Umurnya sudah memasuki yang ke-32 tahun ini, dan ia tentu telah banyak melakukan dosa-dosa, entah sekecil atau sebesar apa pun mereka. Untuk meredakan rasa sakit hatinya, ia pergi ke bar untuk minum-minum dan bermabuk-mabukkan.

Si pria tersenyum getir pada bayangan dua orang yang terlintas di kepala. Meski ia telah melupakan wajah dan suara mereka, namun bayangan dua orang itu tetap tidak mau pudar. Dua bayangan yang sama-sama berwarna sangat gelap, melambaikan tangan mereka dalam gerakan teramat lambat. Gerakan tangan yang mengundang siapa saja untuk datang, ingin menarik-narik tubuhnya menuju kegelapan. Namun sapaan seseorang yang si pria kenal akrab menghilangkan sosok kedua bayangan, dan membuatnya kembali sadar --meski ia sudah setengah mabuk.

"Shoum Otino Aro, sahabatku! Ah, sudah lama kita tidak berjumpa... Bagaimana keadaanmu? Seperti yang sudah kamu lihat, aku menggemukkan diri! Haha!"

Seorang pria paruh baya, berkumis tebal, dan rambut mulai botak lalu duduk di depan Shoum. Ia tersenyum lebar pada si pria berambut berantakan di depannya. Shoum lalu duduk tegak. Pria ini lalu meraba-raba janggutnya yang halus dan tipis, memicingkan mata pada wujud pria di hadapannya. Shoum lalu membalas senyum si pria berkumis.

"Aldalu Serugi... Ehehe... Kawan... Selamat malam..." Shoum menjawab sapaan si pria berkumis dengan mata mendelik. Karena ia berada dalam alam di tengah dunia fantasi mabuk dan kesadaran, cahaya yang otaknya terima berpendar-pendar acak. Saat ini mata Shoum tengah berada dalam sensasi mirip melihat buih yang muncul di pusaran air kuat, langsung dari bawah buih-buih itu: benar-benar tidak jelas.

Pria bernama Aldalu lalu tertawa bergumam. "Hihi. Dasar Shoum. Apa kamu jatuh begitu rendahnya, sampai profesi tetapmu sekarang adalah seorang pemabuk?"

"Hah? Aku... bukan pemabuk... Bajingan..." sangkal Shoum. Ia sedang mencoba menahan kepalanya tetap mengampu lurus. Sayang tingkat mabuknya sudah terlalu tinggi, membuat kepalanya kadang mau jatuh ke kanan dan ke kiri.

"Jadi, apa yang ingin kamu sampaikan padaku?" tanya Aldalu, langsung menyerang inti. Shoum tertawa kecil, masih mabuk. "Setelah 'dua orang' itu meninggal dunia, pasti hidupmu terasa susah. Jika kamu mau, silakan utarakan saja padaku. Aku akan menjadi pendengar yang baik."

Wajah Shoum langsung pucat. "Heh, aku membenci diriku sendiri berkat mereka yang mati... Hoaam..." kata Shoum, mengadukkan ucapan dan kuap. Aldalu masih menimbang ucapan teman lamanya, yang membuatnya kaget.

"Bodoh. Jangan membenci dirimu. Kamu sungguh rendah sekarang, Shoum," tegur Aldalu, gusar. Shoum memasang senyum menghina, yang ia tujukan pada dirinya sendiri. Aldalu memelintir bagian ujung kumisnya, sembari masih menatap Shoum tepat pada mata. Shoum kembali menopang dagu di meja, lalu menatap gelas birnya yang sudah kosong.

"Kalau begitu aku akan membenci ke-22 Tuhan dunia saja..." ucap Shoum, setelah menguap lebar. "Aku ingin tokoh-tokoh brengsek itu mati saja... Dengan begitu, manusia berkesempatan untuk bersinar..."

Sebuah serdawa keras menutup perkataan Shoum. Aldalu menggelengkan kepala, bingung mau bicara apa pada Shoum. Aldalu lalu meletakkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia lalu memandang Shoum, yang masih bercengkerama dengan gelas bir kosongnya. Karena iba pada temannya, Aldalu akhirnya memanggil seorang pelayan datang ke meja mereka.

Abad HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang