Bagian 29

4 0 0
                                    

16.8

Aldalu mengikik pada respon Elr-Lre. Sebuah gerakan yang menyombongkan gigi, di antara radiasi lembut cahaya dari dua bola mata. Hatinya pun tenang sekarang. Tidak menderu-deru bak kuda kelaparan, melainkan kura-kura kecil yang berpiknik. Menatapi genangan air danau, berkontemplasi. Menyatukan jiwa pada dinginnya dinding marmer, membinasakan mereka. Memberi mereka hangat absolut cuma-cuma.

Terang cahaya yang ia dapat menyedihkan raga sang wanita. Membuatnya lemas, baik oleh kepuasan dan kelelahan fisik. Namun, pancaran sinar itu pulalah yang membuatnya senang. Mensyukuri akan harapan baru. Sebuah kunci menuju masa depan pilihan manusia akan datang bila semuanya berjalan mulus.

Dan, cita-cita sang wanita setelah sekian eon pun akan mewujudkan diri ia sendiri. Mengawali keberadaan –singularitas- berdasarkan roda-roda gigi dinamis yang telah menghukum dunia. Berjalan dengan pijakan yang lama-kelamaan kuat dan tegak, meghunjam tanah serta struktur yang sudah senior. Berkhianat, berevolusi.

Ketika sang bocah tidak melihat, ia mencuri-curi kesempatan untuk menyenyumi tiap-tiap luminositas potensi. Memuji-muji tiap-tiap dari manusia karena telah mampu berjuang. Mendukung masing-masing rentetan doa yang menyebar luas bak samudera. Mereka semua membuat kelembutan nan hangat mengendap di dasar hati, memotivasi dirinya sendiri agar mau lebih serius. Tamparan pada jiwa maupun raga, yang justru ia senangi kedutan kulit memerahnya.

"Kalau begitu, aku akan mulai serius."

Elr-Lre bermuka-muka pada Aldalu. Mencari posisi paling nyaman saat saling memandang. Hati dari sang mantan Tuhan sekarang menggigil oleh demam. Bukan karena gugup biasa. Ini seperti rasa tegang ketika kamu tak sabar menunggu perjalanan wisata yang akan sekolah adakan esok hari. Atau bahkan, lebih intens daripada itu. Rasa yang menggetarkan hati, menyunggingkan senyum lebar. Sekelebatan perasaan itu menghampiri, menerpa tiap-tiap kulit bak napas lawan pasangan di malam pertama bercinta.

"Mulai serius? Sudah saatnya kamu begitu. Jangan membuang-buang waktu. Dunia tidak perlu Tuhan yang bermalas-malasan doang."

Aldalu tersenyum pada kalimat yang sang wanita bilang, dan membalasnya dengan kalimat tajam. Semburat senyum sang bocah membuat Elr-Lre berkikikan kembali. Ia mengambil teko dan menumpahkan kopi tanpa gula ke dalam cangkir di hadapan Aldalu, sebagai bentuk terima kasih.

"Aku berharap banyak dalam kehidupan keduamu, Serugi."

"Itu sudah jelas. Aku akan menghajar si berengsek itu. Lalu, aku bisa digantung di langit tanpa banyak mengeluh," tandas sang bocah, menyiratkan salah satu rupa percaya diri paling tinggi yang pernah Elr-Lre lihat seumur hidup. Mirip sebuah senyum yang pernah anak didiknya yang teramat nakal, Butré Tonundight, pernah lontarkan. Bak durian matang yang berat dan besar, jatuh dan menempa kepalanya dalam euforia.

Namun, karena memanglah sifatnya berbuat jahil, Elr-Lre membalas tatapan bangga sang bocah dengan gerenyot muka paling licik. Aldalu jadi keder karena itu, dan tubuhnya agak sedikit mundur di sandaran kursi kayu warna putih. Penyangga punggung yang menyentuh kulit itu sayangnya tidak mampu menghentikan keringat mengucur. Tetesan yang jatuh membeku oleh dinginnya kamar sang wanita, menciptakan bunyi mirip denting lonceng. Ting tunggal, lalu berjumlah empat kali lipat hanya dalam fraksi sepersekian detik.

"Kamu harus ingat kalau kamu cuma sekadar hantu anak kecil, manusia. Artinya, kamu harus hidup dan patuh pada hukum yang menimpa para hantu."

Senyuman itu berhasil membuat Aldalu meneguk air liur. Rasa yang mendarat ke dalam tenggorokan adalah pahit, membuatnya hendak meringis dan berteriak seperti bayi kelaparan. Namun Aldalu bukan Aldalu bila ia tidak sedikit saja menampilkan sisi keren. Ia membalas senyum dari sang Iblis, sambil mengucapkan "Aku terima!" setengah berseru.

Abad HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang