17
Hari itu 11, 3 Bam Mahŭnŭn, Tahun 627.
Ada suatu hal besar yang menimpa kota Reritik malam kemarin, dan semua warga yang bekerja pada pagi hari berikutnya pun ikut resah. Salah satu bangunan ikonis kota Reritik, penginapan yang telah keluarga Serugi jalankan sejak lebih dari 30 tahun lalu, tiba-tiba hancur dan rubuh dalam semalam. Api melahapnya, membakar tiap-tiap kamar yang mewah itu. Bahkan beberapa desas-desus di sekitar gang kecil kota mengatakan kalau pemiliknya yang sekarang, Aldalu Serugi, telah tewas dan tinggal jadi abu saja.
Pagi ini, para warga menyempatkan waktu luang mereka dengan sebentar menengok hasil kerusakan kebakaran malam tadi di sela-sela kesibukan. Kota Reritik yang biasanya ramai oleh percakapan antara pembeli dan penjual menjadi tambah ramai sebab insiden pembakaran tersebut. Beberapa dari mereka bahkan mau berputar jauh hanya demi melihat penginapan Serugi yang telah hangus.
"Ulah siapa, ya? Apa mata-mata dari Peria?"
Seorang ibu-ibu penjual kue menatap reruntuhan penginapan yang habis terbakar di seberang. Ia melakukan hal tersebut sambil mengipasi dagangannya dengan telapak tangan agar para lalat lapar menjauh. Ini ialah keseharian beliau, bersebab kepada para lalat entah mengapa terlalu menyukai kuenya. Tempatnya berjualan untung tidak terlahap api, karena jarak antara seberang jalan ke sini cukup jauh –meski tetap saja sempit dan ia pun hampir kena ciprat.
"Sepertinya cuma bandit."
Bapak-bapak yang merupakan salah satu calon pembeli kue, mengeratkan jaket yang menutupi tubuhnya. Meski hari ini hampir memasuki musim semi, dingin pada pagi hari masih belum mampu tubuhnya kuasai. Parahnya, ia cuma memakai kaus tipis saat ini. Angin sepoi-sepoi pun bahkan bisa membuat tubuhnya bergetar seperti puding. Karenanya, ia masih belum mau menjatuhkan pilihan pada kue apa yang akan ia beli sekarang.
"Aku dengar pelakunya berhubungan dengan pemberontak."
Calon pembeli lain mengucapkannya sambil menatap rapat-rapat kue-kue yang sang ibu telah sejajarkan di meja. Kebanyakan dari kue-kue tersebut adalah kesukaan ibu muda itu. Ia ingin membeli semua yang menurutnya enak namun kembali ingat kalau ia hanya membawa uang berupa 5 Arpah. Pilihannya haruslah tepat. Waktu yang ia buang pasti akan bermanfaat ketika ia sudah mencicipi kue-kue tradisional yang ia beli.
Tapi ada sebuah keributan tertentu yang mengganggu keseharian ketiga orang itu. Seorang wanita muda mendatangi tiga orang yang berkerumunun di dekat kue-kue. Begitu sampai, ia berhenti dahulu untuk mengambil napas. Ketiga orang yang terlebih dahulu berada di sana menatapnya saja, keheranan.
"Ada apa, mbak? Mau beli kue?"
Ketiganya entah mengapa serentak bertanya demikian.
Sang wanita muda masih terus mengambil napas yang menyebar di udara pagi. Ia sepertinya telah menghabiskan waktunya untuk berlari ke sini, dan paru-parunya mengeluh minta kelonggaran. Jika sepasang kantong itu tidak mau sang wanita ladeni, maka mungkin saja kesadarannya akan benar-benar pudar tepat pada saat ini.
Selepas sudah mulai baik-baik saja, ia membenarkan kacamata berbingkai cokelat yang mulai menurun dari hidungnya. Binar kecemasan menembus kaca bening. Ketiga yang lain agak sedikit membeliakkan mata. Keresahan yang benar-benar kuat di wajah sang wanita yang cantik menciptakan lukisan yang kurang sedap mereka pandang.
"Serugi... Aldalu Serugi... Mana?!"
Bahkan ketika sudah merasa lebih baik, napas milik sang wanita masih saja terputus-putus. Apa yang ia mampu ucapkan hanya ada tiga buah kata berbeda. Dirinya mungkin saja sudah sadar akan tingkahnya yang memalukan itu, dan ia pun memalingkan muka memerahnya dari ketiga orang. Namun masih saja, napasnya tak luput dari derai-derai rasa khawatir yang satu butirnya sebesar gunung. Sesak maya kembali mengadang jalur pernapasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abad Hitam
FantasyAda banyak sekali hal yang terjadi di dunia ini setiap detiknya, namun kebanyakan manusia hanya melewatkannya. Hanya segelintir yang mau berpikir, akan keindahan kejadian-kejadian harian di seluruh penjuru semesta. Yang ingin mengetahuinya, terpuruk...