Bagian 22

3 0 0
                                    

14.6

Tepat di luar rumah, saat pas tengah hari, seorang anak perempuan mencoba berdiri. Walau otot-otot wajahnya masih saja berkehendak ingin terus tertawa dalam gila, sedikit ampas dari akal sehat menyergapnya. Mendekapnya, meraba tiap penjuru liang tubuhnya. Riasmas harus bisa tetap waras. Jikalau tidak, ia merasa bayang-bayang masa depan yang kedua orang tuanya sering bilang dan tekan akan jadi onggokan kotoran menjijikkan.

Ia tentu tidak ingin hal tersebut terjadi dan menjadi hal nyata. Ia mau tetap berpegang pada harapan. Tuhan Ahop pasti mendengar tangis ibunya yang sedang berlonggok di depan mayat ayahnya. Pasti, Tuhan akan mengabulkan permintaan egoisnya. Itu benar, mari lupakan mayat dingin sang ayah maupun sang pembunuh ayah yang lari terbirit-birit. Pasti ada jalan, kepastian adalah hal yang mutlak.

Namun, otot-otot di sekitar bibirnya masih saja bertarung pada maksud Riasmas. Mereka berkedut dalam sinkronisasi menuju kecepatan cahaya, menarik jauh tenaga si anak perempuan melewati relung palung dalam dari lubang hitam. Mereka, pikir si anak, menolak tegas ide mengenai itu. Satu per satu dari mereka membaris rapi, tetapi pada akhirnya tidak lain akan jadi abu.

Untungnya, Riasmas bukanlah orang yang akan dengan serta-merta memasrahkan dirinya pada katatonia. Dengan masih mengunci mulut yang ingin meneriakkan kata-kata umpatan pada arah surga, Riasmas berjalan. Kakinya yang mungil lagi kecil ia paksa seret. Bunyi gesekan lantas menggema. Pasir-pasir kering haus air berhamburan dalam tiap gerakan kaki si anak, kemungkinan mencoba untuk protes besar-besaran pada langkah loyo yang memijak mereka.

Tapi, Riasmas meludahi semua benda ricuh di sekitarnya. Ia akan terus berjalan kepada sang ibu yang tengah meracau. Kehangatan tubuh dan suara bak malaikat dari diri si anak mungkin bisa menyelamatkan sang ibu. Si anak hanya perlu mendekati target yang ia kehendaki, lalu menyiraminya dengan kata-kata ajaib lagi penuh mistik. Semudah itu saja, segampang menghirup udara.

Riasmas berhasil sampai pada lokasi di samping kiri tubuh ibunya. Begitu sampai, si anak langsung membisikkan kata panggil "Ibu". Suaranya yang punya atribut lembut mencoba mengeluarkan kemampuan iritabilitas sang ibu meski dengan paksa. Ia menyisip dalam-dalam, merogoh tiap sudut lubang telinga. Yang merespon panggilannya adalah bunyi tulalit gaib. Hening. Sang ibu masih enggan untuk bicara, begitu istilah mudahnya.

Frustrasi sebab sang ibu tidak mau sedikit saja berpaling pada muka imutnya, Riasmas mulai mengusap punggung sang ibu. Di kala semuanya masih normal, ibunya akan selalu tersenyum bila si anak melakukan hal ini. Tubuh sang ibu biasanya akan langsung terisi penuh oleh energi imajiner, berkat sentuhan ajaib dari Riasmas. Si anak kembali memanggil "Ibu", kali ini dalam suara yang lebih meminta. Riasmas yang haus jawaban, sayangnya, harus kembali dapat rasa kecewa. Namun itu bukanlah rasa tak senang akibat tidak dapat jawaban belaka.

Kali ini bukan sunyi atau hening yang ibunya suguh. Jauh dari dua kata itu, bahkan. Sang ibu pada akhirnya memang memutar wajah. Sorot matanya tepat mengarah pada milik si anak. Si anak sontak mengukir senyum. Ibunya merespon tindakannya. Sayangnya, di detik-detik terakhir kibaran senyum yang ia bentang, sang ibu berteriak. Sebuah teriakan tunggal yang mesti akan Riasmas ingat sampai ia tewas nanti.

"Semua ini gara-gara kesalahanmu! Dasar anak sial! Bocah bencana! Keturunan iblis!"

Tentunya, Arnysa hanya mengucap perihal tersebut semata karena ia tengah berada dalam momen campur aduk emosi. Ia sungguh tidak serius. Riasmas merupakan anak dari rahimnya sendiri –darah dagingnya sendiri. Ia bukan orang tua yang tega melimpahkan semua beban dosa seluruh dunia pada sang anak. Ia bukan tipe orang tua yang akan senang hati menaruh mahkota duri di atas kepala sang anak. Namun, kenyataannya Arnysa mengucapkan itu. Entah ia seratus persen sadar atau impuls akibat stres dan trauma mengendalikan dirinya, Arnysa mengatakan hal-hal kejam tersebut. Terlebih lagi, semua tepat pada wajah anaknya langsung.

Abad HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang