Bagian 20

5 0 0
                                    

14.25

Ini adalah sebuah kisah dari masa lalu.

Dekapan yang membuat hati anak tersebut mengingat gelitik matahari dan bisikan angin malam berbulan harus ikut lanjuk berserah diri. Segala sesuatu pasti akan berakhir. Yang buruk, yang baik, bahkan yang tidak ia bisa rasakan sekali pun, semuanya harus kalah pada waktu. Waktu tidak bisa lekang, itu kata siapa saja. Namun, cercah kebahagiaan yang ia seru untuk terus berdiam lebih lama lagi harus lekang. Harus. Tidak boleh tidak. Meski sang anak akhirnya mencopot kedua bola mata yang ia punya dan mengganti tangis yang membasahi pipi itu dengan warna merah cerah yang hangat lagi erotis, ibunya tetap akan mati.

Meski ada lalat-lalat yang berkerubung di sekitar mulut sang ibu yang terbuka seolah ingin minta air minum surga langit ketujuh, mengejutkannya, sang anak masih tetap tinggal. Ia sudah berulang kali muntah. Muntahnya berserakan, sinar kejam dari senja di ujung barat mengilapkan sisa-sisa daging dan sayuran yang ia cerna sebelumnya. Si anak tentu panik --tapi ia tetap tinggal. Ibunya pasti marah --tapi ia tetap tinggal. Ia muntah layaknya anak kecil saja. Ia pasti akan dibentak-bentak dan dipukul dengan sapu lidi --tapi ia tetap tinggal. Sapu lidi yang ibunya sering pakai untung --mungkin, sayangnya-- malah tidak terbang layaknya anjing kurus kelaparan belum makan satu bulan penuh. Mungkin --meski tidak bisa seratus persen-- itu ialah alasannya bertahan layaknya infanteri yang sedikit lagi hampir menang perang.

Duh, si ibu sudah mati, nak. Tidak mungkin sapu itu bergerak dengan sendirinya. Si anak sangsi dengan arwah yang bisa merasuki sapu dan melukai orang. Ia menganggap ide itu bodoh. Sangat bodoh sekali sampai ia sendiri pun tertawa pada apa yang ia pikirkan di tengah senja. Tawanya mungkin lemah dan kehilangan remah-remah akal sehat yang tertinggal, namun keluguannya memancar jelas bak selangkangan malaikat utusan Tuhan. Tawanya merambat lewat udara sekitar, membentuk frekuensi yang bisa terdengar jelas pada telinga seorang manusia --dan tentu telinga mahamendengar para Tuhan dunia.

Si anak sudah rusak? Itu bisa saja jadi penjelasan mudah dan paling masuk akal mengingat kondisi. Sayangnya, di dunia ini tidak ada hal yang bisa siapa pun tahu keseluruhannya. Bentang kosong informasi ini yang paling penting. Namun, mata dari si anak sekarang meneriakkan pernyataan paling nyaring. Tidak, bukan hanya dari matanya saja. Seluruh bagian dari tubuhnya mencoba untuk berinteraksi dengan para partikel Dirac di ruangan tersebut. Informasi yang sebelumnya tidak ada akan segera ada, karena informasi baru akan mengisi bentang kosong yang bisa membuat mumet. Mata penuh rasa dendam yang ia punya menyerukan seluruh jenis dan rupa sumpah serapah yang bisa seorang manusia tahu. Hidung yang dari lubangnya muncul lendir bening yang berkilauan sebab karena otak si anak terlalu banyak bergetar hebat. Kedua tangan yang tidak bisa diam dengan tenang akibat kontraksi otot yang sedang mendapat aliran listrik maya bukan dari sihir apapun. Dan yang terakhir, kedua bibir merah yang rupanya memutar warna mereka dari arah merah menuju biru akibat para gigi yang ikut mengadu.

Ah, dia muntah kembali. Belatung yang merayap lewat daging sang ibu membuat perutnya melawan gerak alamiah alam semesta. Bau angit yang menyengat namun membuatnya malah lapar masuk ke dalam hidung bak penetrasi terdalam menuju hal paling sakral seorang perempuan, membuat sang anak merasakan sensasi yang tak pernah ia bisa ungkapkan dengan kata-kata. Gerakan tubuhnya sekarang sedang dalam paradoks tingkat tinggi yang hanya bisa seorang Tuhan putuskan menjadi apa. Deus ex Machina dalam bentuk apapun itu sayangnya belum bisa datang pada cerita ini, jadi semuanya adalah kehendak si anak. Ia lapar, itu adalah fakta. Ia jijik, itu juga fakta lain. Apa kedua fakta ini tidak bisa ia pisahkan saja? Protesnya hampa. Sayangnya tidak. Hal itu cuma akan jadi mimpi. Keduanya seperti dua bagian dari satu koin yang sama. Seperti kepala dan ekor suatu makhluk. Seperti aksi dan reaksi suatu gerakan. Tidak akan bisa si anak pisahkan. Kapan pun. Di mana pun. Oleh siapa pun.

Abad HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang