Bagian 17

3 1 0
                                    

16.125

Prosesi pemakaman sisa-sisa tubuh pria berkumis selesai tanpa harus memasukkan kerumitan tidak perlu, dengan mengubur semua yang tertinggal ke dalam sebuah lubang alami. Bagian susahnya hanya perlu mengisi lubang dengan tanah licak sekitar, sekaligus memberi nisan yang ala kadarnya saja dari ranting kayu tua renta di dekat mata kaki. Maktso dan Butré menyelesaikannya dalam selang waktu sebentar, memungkinkan mereka berdua sekarang larut dalam doa penuh sesal.

Baik Maktso maupun Butré tidak hendak dan suka akan peristiwa ini; memaksa membuat keduanya masuk dalam pikiran yang berputar soal kesalahan dan tanggung jawab siapa. Tentu keduanya mencoba mengusir pemikiran berbahaya itu, secepat ia datang dan menepikan diri dalam hati. Mereka sebelumnya sudah berdamai, dan itu yang harus tetap mereka jaga sampai nanti. Akan susah bila mereka hanya ingin menyalahkan satu sama lain. Impian keduanya menunggu manis di pojok, tersenyum genit dan menggemaskan. Ada hal yang jauh lebih patut mereka diskusikan. Sekarang bukan saatnya bertingkah seperti kucing merengek minta makan.

Iya, bagaimana pun, kedua insan ini punya tujuan mutlak yang ingin mereka capai masing-masing. Kemunduran mereka sekarang membuat waktu yang ada meringkuk sedih di tempat sampah. Tak ada satu pun dari mereka yang mau membuang tiap detik kesempatan, namun mau bagaimana lagi? Ada orang berbahaya yang tengah mengincar si pria kerempeng. Mengganggu gugatnya pun akan percuma sekarang.

Kalau sampai peta yang ia bawa lepas dari genggaman, maka tidak ada gunanya lagi melanjutkan perjalanan. Kesia-siaan adalah musuh utama, menjadi slogan sementara keduanya.

Selepas doa singkat namun terasa lama tersebut ia selesai ucap, Maktso menatap rekan penyihirnya, dengan niat hati ingin meminta respons berikut.

"Butré, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Pertanyaan yang ia lontar tadi isinya kosong kopong, makin menambah beban mukanya yang sedang bengong. Maktso benar-benar hilang akal hendak ingin pergi ke mana setelahnya, dan ini membuatnya menambah porsi sakit kepala tanpa ada asa. Ini adalah situasi kalah-kalah yang sangat susah untuk bisa salah seorang manusia pecahkan.

Butré, orang yang mendapat pertanyaan tadi, membalas tatap mata Maktso selepas selesai berdoa. Sebab mereka punya tinggi badan yang kurang lebih sama saja, pancaran sinar mata Butré langsung menembus kegelapan malam, dengan presisi tinggi menuju dua buah bola mata penuh lelah si pria kurus. Sang wanita terus berusaha menampilkan rasa percaya diri, meski kadarnya tak terlampau tinggi, lewat sinar matanya yang redup namun penuh dahagi.

"Kita harus mencari tempat istirahat malam ini. Yang paling penting itu dulu."

Jawaban dari Butré membuat Maktso tanpa sadar mengangguk lesu. "Ah, kau ada benarnya... Kita harus punya tempat yang aman dari serangan musuh." Entah mungkin karena berat kepalanya naik drastis akibat tekanan yang menumpuk, Maktso hanya mampu melemaskan otot leher dan menunduk tanpa ada tenaga dan jiwa. Butré mencoba menyenangkan kliennya dengan suara bisikan jernih miliknya seorang, "semua akan baik-baik saja."

Pada kenyataannya, mereka tidak begitu, itu tentu. Masalah berikutnya adalah mencari tempat mereka bisa menginap untuk satu malam. Sayangnya, karena sudah larut malam dan tenaga Butré hampir habis, pencarian intensif tidak akan bisa mereka lakukan. Penggunaan sihir maya untuk yang selanjutnya akan berakibat fatal, jadi ia mau tak mau kehilangan jalan pintas. Untungnya, ada secercah garit sinar pada awan hitam di langit kala itu. Butré tahu lokasi ini. Dalam beberapa kali pandang saja, ia sudah tahu kalau hutan tempat mereka jatuh rupanya dekat dengan kamar tunggal Butré.

Ia masih mengingat jelas pernah menyusuri bagian hutan ini dalam beberapa kesempatan di masa lalu. Karena sudah cukup sering, Butré bisa tahu seluk-beluknya. Bentuk akar tiap rumput serasa familier di matanya.

Abad HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang