Bagian 32

3 0 0
                                    

18

Matahari telah naik dari dalam lengkungan cakrawala. Ia menghiasi ketiadaan warna dan rasa suram pada hutan tidak bernama. Berdiri anggun, melebarkan senyum. Wajah kuning paling terang lalu tetap terus naik. Berjalan di atas langit dalam lingkup setengah lingkaran. Namun, ia hendak melakukannya dalam waktu yang tidak terburu-buru. Alasannya mudah, tentu. Itu karena empat orang manusia yang mengawasinya naik pun tidak mau cepat-cepat mengambil keputusan.

Di bawah naungan pepohonan hijau hutan, empat orang duduk bersila pada tanah. Mereka membagi diri berdasarkan pasangan mereka, bila itu ialah diksi yang tepat. Dua kubu saling hadap satu sama lain. Wajah-wajah mereka seolah ada yang memernisnya. Kilatan keringat yang jatuh muncul dari rasa waspada, membasuh mereka menjadi warna pucat pasi.

Adalah kewajaran kalau mereka menjadi begini. Malam tadi, kedua kubu saling baku hantam. Bahkan Eraq, pasangan dari putri terbuang keluarga pewaris kekuatan Tuhan Ahop, berhasil menusuk anggota kubu lain dengan pisau dapur. Kecanggungan lantas menderu. Gemuruh kaku menusuk posisi tubuh mereka, menjadikan mereka bergetar dan tidak bisa tenang. Ikatan sulur plus penguat sihir yang menjalin paksa otot-otot dan bagian tubuh kubu Varyv dan Eraq makin menambah rasa tidak nyaman di udara.

"Ah, jadi begini," potong anggota dari kubu pencari harta karun, Maktso, sambil menggaruk-garuk perutnya yang terasa gatal. Sihir penyembuhan dari pasangannya memang sudah tidak bisa disamaratakan dengan hasil sihir manusia biasa, dan ia pun bersyukur akan hal itu. Namun tetap saja, trauma dari tusukan pisau membuatnya tidak bisa tenang. Wajah berengsek pelaku penusukan dirinya yang tepat ada di depan justru membuatnya tambah gatal-gatal mau menghajar. "Mau apa kalian menyerang kami semalam tadi?"

Sunyi sepi yang berhasil Maktso potong tampaknya tidak senang. Ia masih saja ingin berkuasa di dunia mereka. Rasa canggung pun juga turut serta datang dengan balas dendam kesunyian. Kubu Varyv hanya menjawab kubu Butré dengan kekosongan pada jeda waktu nyata. Dan, ini menyebabkan suasana yang sudah keruh jadi semakin keruh.

"Apel. Aku mau makan apel."

Di tengah-tengah hutan di pagi hari itu, jawaban terlambat dari Varyv menghantui. Telinga Butré menangkap suara yang si gadis sialan itu keluarkan sebagai cekikikan dalam bentuknya yang paling tersembunyi. Sepasang telinga milik Butré pun memerah, bak apel masak imajiner dalam pikiran Varyvupa. "Ini bukan saatnya untuk bertingkah bak bangsawan, dasar gadis bangsat!"

"Dia benar, lo mbak! Jangan minta makan sama orang asing! Apalagi yang barusan kamu tusuk di otak dan di perut!"

Baik Varyv dan Eraq tidak menghiraukan keluhan kekanak-kanakkan dari Maktso, dan memasang tabir diam kembali. Wajah mereka pun makin tampak kaku, bersebab dari rasa bosan dan kelelahan terus-menerus kubu lain sudutkan. Maktso, yang membuat keruh udara, lalu mengungsikan rasa malunya dalam lubang bawah tanah.

Di lain pihak, Butré tampak tidak nyaman dibandingkan dengan yang sebelumnya. Ada sesuatu dari perkataan mirip bocah dan tidak patut dari sang gadis tadi. Iya, sebuah ketukan kecil yang menyapa kenangan pada diri terdalam seorang Butré Tonundight. Sebuah ketukan mikroskopis yang menimbulkan riak paling besar. Menyebabkan gempa bumi, tsunami, dan konstipasi sekaligus. Dalam satu waktu, bersama-sama bak orkestra gadungan yang tiada enaknya pada lidah dan tenggorokan.

Lalu, tanpa ada peringatan sebelumnya, kepalanya jadi sakit. Pandangannya kabur, seolah ada yang memasukkan kedua bola matanya dalam air paling tidak bening. Pendengarannya bahkan mulai berkhayal sendiri, membuat dirinya seolah mendengar kata-kata yang tidak ada pada lintas waktu saat ini. Kalimat dari sang guru besar sihirnya, Elr-Lre Yŏng, pun mendekap rumah siput dalam saluran telinga. Menghiasi diri dengan senyuman licik dan mata lapar dari seekor ular berbisa.

Abad HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang