Pagi yang dingin di musim penghujung tahun 2014. Butiran-butiran kecil yang berwarna putih itu kian banyak turun memenuhi tanah. Suhu udara bahkan sampai -2°C. Karena memang sudah hampir memasuki puncaknya musim dingin. Suhu sedingin itu membuat orang-orang malas melakukan aktivitasnya di luar ruangan seperti biasa. Bahkan berjalan ke halte bus untuk duduk dan menunggu bus datang disana hanya dilakukan oleh beberapa orang. Suhu dingin sudah membius banyak orang untuk tidak meninggalkan rumah.
Termasuk Min Yoongi. Ya, bukannya malas bangun pagi tapi karena memang sudah kebiasaannya untuk tidur sedikit lebih lama dibandingkan orang kebanyakan. Ya, tapi untuk hari ini setidaknya ia akan bangun lebih pagi dari orang kebanyakan.
Pianist muda berbakat yang masih duduk dibangku Semester III di Seoul National University itu dengan malas menggeliatkan tubuhnya, memaksanya untuk segera membuka mata sipitnya itu. Perlahan ia mulai merenggangkan tubuhnya.
'Oh ayolah Min Yoongi, ini adalah hari penting, setidaknya kau harus jadi orang yang rajin kali ini' pikirnya. Ia melirik jam digital di meja nakas samping tempat tidurnya. 7 p.m, ia masih punya waktu 1 jam.
Refleks, kaki-kaki kecil itu membawanya melangkah menuju jendela kamarnya. Membuatnya memandang butiran-butiran kecil itu dari kaca tembus pandangnya. Yoongi tertegun, sebuah garis tipis mulai melengkung di bibirnya.
"Appa, eomma, bogoshipo.."
Ia tersadar dari acara melamun singkatnya karena sebuah dering telepon masuk tertangkap oleh indera pendengarannya. Membuatnya harus berjalan lagi mendekati meja nakas tempat ia meletakkan hpnya. Sebuah ID caller bertuliskan 'Hoseok' tertera dilayar.
"Yeoboseyo. Oh Hoseok-ah."
'...'
"Arraseo. Aku masih punya waktu 1 jam. Tenang saja."
'...'
"Ah geuraeyo? Baiklah aku akan datang lebih awal. Kalaupun aku harus menunggu, tak masalah."
'...'
"Arra.. Aku akan berhati-hati. Gomapta Hoseok-ah. Cepat pulang kemari, aku sudah sangat merindukanmu."
'...'
Sedetik kemudian orang diseberang sana memutuskan sambungan. Yoongi menghela nafasnya berat. Ia memegangi dadanya yang sedari tadi berdegup tidak jelas. Ah tentu saja, ia sudah lama merindukan namja itu.
"Lebih baik aku segera mandi." Ia menggelengkan kepalanya kemudian segera melesat masuk ke bathroomnya.
30 menit kemudian, Yoongi selesai mematut dirinya. Namun sedari tadi ia masih saja tak mau beranjak dari cermin besar yang menampakkan pantulan penuh dirinya itu. Ia telah siap dengan sweater hitam dengan jeans senada dibalut mantel kulit panjang selutut dengan warna hitam mengkilat. Benar-benar style yang tak pernah berubah.
"Apa aku harus tampil lebih menarik? Mungkin dengan baju yang berwarna cerah?" Ia memegang dagu, berlagak sok berpikir untuk mengubah penampilannya saat ini.
"Anhi! Siapa yang mau keluar dengan baju mencolok saat diluar dingin seperti ini? Lebih baik aku pakai ini saja, bisa menyerap hangat lebih banyak." celotehnya monolog. Kebiasaannya memang.
Sekali lagi ia membenarkan letak mantelnya kemudian berjualan keluar kamar dan menuruni tangga. Kakinya mengarah menuju ruang makan yang langsung tersambung dengan dapur namun dipisahkan oleh kabinet kayu sebagai pembatas. Disana ia telah disambut oleh para pelayan.
"Selamat pagi, tuan muda." kata mereka serempak.
Yoongi tersenyum masam, selalu saja seperti ini. "Apa kalian akan terus-menerus berdiri disana sampai aku keluar dari kamar? Bagaimana jika aku tidur seharian? Apa kalian akan tetap menungguku juga?" kemudian ia mendudukkan bokongnya ke salah satu kursi di meja makan yang lumayan panjang, tepatnya kursi yang berada paling ujung. Biasanya kursi itu yang akan diduduki oleh kepala keluarga atau orang yang paling tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emptiness ㅡMy ✔
FanfictionHidup Min Yoongi seketika hampa dan kosong bagai gelas tanpa air. Sengaja atau tidak, Yoongi memang melenyapkan semua ingatannya. Tentang piano, kenangan, masa lalu, bahkan Jimin. Ia menghapus semua, agar ia tidak terluka lagi. Dan hanya Min Yoongi...