Jimin sedang duduk berhadapan dengan Seokjin menatap berbagai macam kertas, hasil cek laborat milik Yoongi. Ia meringis melihat semua itu.
"Jadi sudah separah ini?"
"Ya.. Karena kecelakaan itu juga bukan kecelakaan ringan. Kau harus mempertimbangkannya dengan cepat, Jimin-ssi. Karena 1 detik saja sangat berharga bagi Yoongi."
Jimin sekali lagi, menatap Seokjin. Melihat raut wajah Seokjin yang begitu serius membuatnya gugup juga.
"Kalau begitu biarkan aku saja yang membawa Yoongi ke New york." Namjoon, yang duduk di samping Jimin ikut bersuara. Itu semakin membuat Jimin frustasi.
"Namjoon, biarkan Jimin berpikir terlebih dahulu. Jangan membuatnya semakin bingung."
Namjoon menatap Seokjin tajam. Sebuah isyarat mata menyuruh Namjoon untuk diam.
"Aku hanya memberi masukan saja."
Namjoon kemudian menyandarkan punggungnya pada sofa dan bersilang tangan.
"Jangan membuat Jimin tambah bingung, Namjoon. Biarkan dia berpikir dengan hati-hati."
Namjoon hanya berdecak kesal memandang Seokjin di depannya, tumben namja ini cerewet sekali. Seokjin hanya menatapnya datar sambil membenarkan letak kacamatanya.
"Jadi pada akhirnya pilihanku tetap berujung sama? Aku harus melepas Yoongi pergi?"
"Hanya itu satu-satunya jalan. Kau juga tidak bisa terus menerus hanya mengurusinya saja tanpa melanjutkan kehidupanmu sendiri, Jimin-ssi. Kau harus berpikir realistis."
Jimin menghembuskan nafas. Memikirkan keputusan apa yang akan dia ambil. Walaupun sebenarnya keduanya sama akhirnya, melepas Yoongi pergi dari sisinya.
Ia melirik sang objek pembicaraan yang masih tertidur di ranjangnya setelah peristiwa badannya lumpuh total 1 jam yang lalu.
Ketiga namja diruangan itu larut dalam keheningan sesaat. Seokjin hanya duduk memandangi kedua namja didepannya dengan bersilang tangan.
"Bagaimana jika aku memilih pilihan yang pertama?"
Membuat Namjoon dan Seokjin menjadi saling berpandangan dengan tatapan yang hanya mereka sendiri yang mengerti.
"Resiko yang akan dihadapi selama operasi sangat besar, walaupun dokter yang ada adalah dokter terbaik sekalipun. Karena operasi ini mempertaruhkan otak yang sangat lemah pada diri manusia dan hanya 20% kemungkinan berhasil. Tapi ada beberapa kasus di dunia yang berhasil melalui operasi ini dengan lancar dan bisa kembali pulih. Jadi jangan takut."
Jimin menolehkan pandangannya pada Namjoon, dan yang dipandangnya hanya mengangguk singkat. Ia kembali menghela nafas, "Lalu.. Bagaimana untuk yang kedua?"
Seokjin sedikit tersentak, apakah ada kemungkinan ia akan memilih yang kedua?
"Untuk yang kedua..."
Seokjin sengaja memotong kata-katanya untuk memandang Namjoon dan Jimin, membuat mereka semakin tegang mendengar apa yang akan diucapkan Seokjin.
"Kau hanya harus menunggu dan percaya pada keajaiban."
"Mwo?!!!" teriak keduanya.
"Apa maksudmu?" lanjut Namjoon kemudian.
"Karena untuk pilihan nomor dua, kalian hanya harus menunggu dan bersabar dan aku yang secara khusus akan bertanggung jawab."
Sekali lagi Jimin dan Namjoon saling berpandangan. Mengisyaratkan dengan mata mereka bahwa mereka masih bimbang dengan kedua pilihan itu.
"Semua terserah padamu, Jimin-ssi. Aku tidak akan memaksa." Namjoon ikut bersuara, menepuk pelan pundak Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emptiness ㅡMy ✔
FanfictionHidup Min Yoongi seketika hampa dan kosong bagai gelas tanpa air. Sengaja atau tidak, Yoongi memang melenyapkan semua ingatannya. Tentang piano, kenangan, masa lalu, bahkan Jimin. Ia menghapus semua, agar ia tidak terluka lagi. Dan hanya Min Yoongi...