Chapter 4 - Pertanyaan (2)

1.2K 59 0
                                    

Terdengar suara tawa hyena yang sangat khas di dalam hutan. Maureen dan aku terpekur. Kami tidak bergerak sedikit pun. Masih dengan ekspresi tertegun Maureen mendekat ke arahku. Aku buru-buru menutup pintu tenda dan membenamkan diri dalam sleeping bag milikku. Gemetar. Rupanya Maureen melakukan hal yang sama. Aku menatapnya iba.

Kenapa kau harus berada di tempat sialan ini, Maureen. Aku yang bisa melihat pun akan sangat ketakutan, bagaimana denganmu yang hanya bisa mendengar ketakutan-ketakutan kami?

Aku menatap arlojiku. Menunjuk pukul 12.23. Aku masih mengamati suara-suara di luar tenda. Yang jelas terdengar hanyalah deburan ombak dan hewan-hewan nocturnal dari dalam hutan. Bulan dan bintang memang tampak anggun di langit malam, tapi kami tidak menikmatinya. Satu orang pun tidak! Aku yakin mereka yang ingin buang air akan memilih membuangnya di dalam tenda. Malam-yang menurutku-benar-benar diliputi ketakutan.

Aku mengernyitkan dahi mendapati sebuah fakta yang baru terlintas di otakku. Bukankah seekor hyena tidak menyerang manusia? Bukankah mereka seharusnya takut pada manusia? Hmm.. Aku kembali menarik-narik bibir bawahku, tanda bahwa naluriku sedang dalam penggilingan berpikir.

Setahuku mereka tidak agresif dalam berburu, ya meski mereka tetaplah karnivora. Fakta bahwa mereka pernah menyerang manusia adalah jutaan tahun yang lalu. Pada zaman purba. Dan lagi, bukankah hyena tidak hidup di dataran Inggris? Bukankah mereka hewan yang hidup di iklim kering? Rasanya pertanyaan-pertanyaan itu mencecar hatiku. Sekali lagi aku tidak mengerti kenapa hyena-hyena itu bisa ada di pulau ini dan bisa-bisanya menyerang manusia.

Dan, mataku setengah membelalak. Charly! Kenapa aku tidak meminta bantuannya saja?! Mungkin ia dan penduduk desa ini bisa membantu kami mengusir hyena-hyena itu. Jadi kami tidak perlu ketakutan dan memaksa pulang dengan kapal yang kelebihan muatan.

Aku harus bertemu dengannya besok!

Aku menutup mata dan membiarkan semua lelah dan pertanyaan-tidak-terjawab itu meluruh seiring mimpiku yang mulai terlihat samar.

***

Debur ombak kembali memenuhi gendang telingaku. Kali ini suara camar melengkapi pagi-yang kuduga cerah. Aku kembali melirik arloji. Pukul 05.44. Aku mengedarkan pandangan ke penjuru tenda. Tidak kudapati Maureen di sampingku. Ke mana dia? Aku melonjak cemas.

Aku membuka sleting pintu tenda yang separuh terbuka. Jelas Maureen keluar dengan terburu-buru. Aku bergegas menghampiri tenda Whitney yang masih tertutup rapat. Aku membuka sleting dan yang ada hanya Whitney dan Diana. Tidak kulihat Maureen. Jantungku berdebar lebih kencang. Aku menutupnya kembali. Dengan langkah besar aku menuju tenda Stefan dan Jerry. Baru saja hendak kusentuh kepala sletingnya, wajah Jerry muncul mengagetkan.

"AAA!" pekikku kaget.

Jerry terdiam sesaat sebelum tawanya meledak setelah itu. Ia memegangi perutnya yang pasti mulai kaku kegelian.

Aku memukul lengannya, dan gilirannya memekik kesakitan, "Auu! Apa-apaan kau, Jun?!"

"Apa Maureen di dalam?" Aku merangsek dan mencoba melongok ke dalam tenda. Tapi tidak bisa kulihat dengan jelas karena Jerry dengan sikap jahilnya menutupiku. Alhasil aku melayangkan pukulanku yang kedua. Rupanya aku kalah cepat. Jerry dengan mudahnya menebak gerakanku. Ia menggenggam erat lenganku yang masih meronta memintanya minggir.

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" Jerry mendekatkan wajahnya padaku. Hidungnya hanya berjarak beberapa senti dari bibirku. "Wajahmu pucat. Ada apa, Juney?"

"Saat aku bangun, Maureen sudah tidak ada di sampingku. Kupikir ini sedikit aneh." Tanganku kembali bergetar. Jerry menatapnya. Ia meraih kedua tanganku dengan lembut.

"Tenanglah, Jun. Mungkin Maureen sedang bersama Stefan. Aku juga tidak mendapati Stefan di tenda. Mereka sedikit jalan-jalan kupikir." Matanya menatap tepat ke dalam hatiku.

"Apa kau gila?! Tidak mungkin mereka pergi berjalan-jalan! Bukankah hyena-hyena masih berkeliaran, dan Dylan melarang kita berpencar? Maureen tidak akan pergi tanpaku! Lagi pula dia pasti merasa takut keluar tenda. Kita harus mencari Maureen, Jerry!"

"Keduanya," sahut Jerry lirih hampir tidak terdengar.

Aku dan Jerry mengecek satu persatu di setiap tenda, meski itu pastinya tidak sopan. Mereka tidak ada. Kami lalu melangkah menyusuri tebing di salah satu sisi pantai. Kami berdua mencari dengan teliti berharap mereka, atau paling tidak salah satu dari mereka ada di sana. Kami beberapa kali memanggil kedua 'sejoli' itu. Tidak ada jawaban. Kami melanjutkan pencarian di tepian hutan-meski sambil membayangkan kengerian yang mungkin terjadi. Hasilnya pun nihil. Jerry menyarankan agar kami kembali dulu, siapa tahu mereka ternyata sudah ada di tenda. Aku menghambur mengikuti Jerry kembali ke perkemahan.

Aku berlari ke arah tenda. Aku berhenti dan membungkuk meremas kedua lututku. Saat itulah aku lihat anak-anak lain sibuk mengemasi barang mereka. Beberapa tenda bahkan sudah dilipat ulang. Ransel-ransel besar mulai tertata rapi di tepi pantai pagi itu. Pandanganku dan Jerry beradu mengatakan: bagaimana ini?

"Dari mana saja kalian?" sergah Whitney seraya menatapku-lagi-lagi tatapan curiga.

"Apa kau melihat Maureen dan Stefan?" tanya Jerry tak menghiraukan pertanyaan kekasihnya itu.

Whitney mengerutkan dahi. Lalu menggeleng.

"Kami sudah mencarinya. Mereka tidak ada di mana-mana!" sahutku masih terengah-engah.

"Apa kalian sudah mengecek tenda-tenda yang lain?" tanya Whitney sedikit cemas.

Aku mengangguk. Ke mana mereka sebenarnya?

"Bagaimana pun kalian harus mengepak barang kalian dulu. Kapal akan tiba sebentar lagi."

"Baiklah" Jerry tampak menyerah.

Kami mengepak barang masing-masing. Ditambah barang-barang Stefan dan Maureen. Setelah semua beres, aku menyandarkan tenda dan ransel di dekat akar salah satu pohon kelapa.

Pukul 08.33. Aku masih heran kenapa Maureen dan Stefan belum juga kembali. Meski begitu aku belum mau membicarakan masalah ini pada Dylan. Begitu pun Whitney. Jerry malah melarangnya. Kami masih berharap mereka akan kembali.

Triiiing. Ponselku berdering. Aku merogoh benda kotak itu di saku celana jeans-ku. Satu pesan diterima. Aku membukanya. Dari Stefan!

**bersambung**

The Protecting Blood Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang