Selamat Membaca! :D
***
Kami bertiga duduk. Charly duduk di sampingku sementara Mr. Smith duduk di sofa single-nya di seberang kami.
“Iya, Charl. Sabar. Aku perlu basa-basi sedikit dengannya,” kata Mr. Smith tiba-tiba. Itu adalah sebuah komentar. Tapi pada siapa? Tentu pada Charly. Ia menyebut nama Charly di sana. Dan apakah sebelumnya kudengar Charly mengatakan sesuatu di antara kalimat Mr. Smith? Kurasa tidak. Aku tidak sedang melamun. Dan telingaku sungguh tidak tuli. Aku menoleh pada Charly. Ia sedang terlihat kesal sebelum akhirnya menatapku sambil berusaha menghilangkan kekesalannya.
Aku curiga ada konspirasi mengenai diriku di antara dua pria ini. Tapi toh aku menunggu.
Mr. Smith terenyum lagi padaku. Ia lalu berkata, “Apa kau pacar Charly?”
Pertanyaan macam apa ini?
“Buk-bukan, Mr. Smith,” jawabku gagap. Aku sedikit melirik Charly yang juga terkejut dengan pertanyaan itu.
“Oh, baiklah. Kalau kalian menganggap sebuah ciuman adalah hal biasa, baiklah, aku juga akan menganggapnya begitu.”
Bagaimana ia tahu kami pernah…
“Ehm!” Charly berdehem keras. Pasti ia merasa tidak enak hati dengan kalimat Mr. Smith. Dan begitu pun denganku. Suasana berubah jadi sangat canggung. Dan akhirnya Mr. Smith tertawa lebar. Seolah sebuah drama komedi favoritnya sedang diputar di depan pelupuk matanya. Drama komedi itu berubah jadi nyata dan kami adalah realisasinya.
Hampir saja aku menyimpulkan bahwa Charly membawaku ke tempat orang gila jika kemudian Mr. Smith tidak pergi dan mengambil minum untuk kedatanganku dan Charly.
“Untuk apa kau membawaku kemari?” bisikku pada Charly selagi Mr. Smith mengaduk minumannya yang kudengar cukup keras dari dapur rumahnya.
Charly setengah berbisik, “Kau perlu tahu sesuatu. Dan hanya dia yang mengetahui semuanya. Bukan. Setidaknya dialah yang terdekat dengan kita untuk kita mintai keterangan.”
“Tentang?” tanyaku singkat tidak sabaran.
“Tentang sejarah hyoun.”
“Kenapa kau tidak mengirimkan penglihatanmu saja padaku? Bukankah kau—“
“Aku tidak bisa. Itu adalah tiga ratus tahun yang lalu. Aku belum lahir. Aku hanya mendengarnya dari ayahku. Kupikir kau perlu tahu juga karena bagaimana pun kau terlibat dengan kami.” Charly melihat dari ujung matanya. Ia sedang mengisyaratkan padaku rupanya, tentang Mr. Smith yang kembali dari dapurnya dengan nampan berisi tiga cangkir kecil yang saat kucium baunya mirip teh. Itu artinya aku harus menunda pertayaanku dulu.
Mr. Smith meletakkan cangkir-cangkir itu di atas meja. “Teh hijau. Kau pasti menyukainya, Nona.”
“Terima kasih, Mr. Smith. Seharusnya kau tidak perlu repot-repot membuatnya.”
“Tentu saja aku harus. Kau tamu spesial untukku. Kau adalah calon keponakanku suatu hari. Silakan diminum.”
Aku menyeruput teh hijau yang tersaji di atas meja di depanku. Begitu pun mereka. Selagi menyeruput teh, dahiku berkerut. Calon keponakan?
“Oke, kurasa tidak baik menundanya terlalu lama. Ehm—“ Mr. Smith menatap Charly. “Iya, Charl. Aku tahu.”
Apa aku bodoh atau apa? Mereka sedang berbicara dengan telepati, Jun!
“Oh! Pukul satu! Bukankah kau perlu bekerja, keponakanku?” tanya Mr. Smith sambil menatap jam tangannya. Terdengar seperti mengalihkan. Dan itu juga berarti pengusiran bagi Charly.
“Baiklah,” balas Charly dengan wajah percampuran dari kesal dan kecewa. “Aku pergi.”
Apa?! Charly akan meninggalkanku? Di sini? Bersama pria tua asing ini?
Belum sempat aku memprotes pada Charly, pria itu dengan sangat cepat pergi melaju dengan jeep-nya meninggalkanku yang masih berdiri linglung di ambang pintu.
“Patricia Juney Atherton, putri Maria dan Gerard Atherton.” Mr. Smith menghampiri sebuah foto di salah satu dinding pembungkus ruang tamunya. Aku mengikuti sambil bertanya-tanya dalam hati dari mana orang ini tahu tentangku. Apa Charly yang memberitahunya?
“Harus mulai dari mana, ya? Hm—“ Mr. Smith menatapku. Di sana baru kusadari. Iris matanya berwarna merah darah, bukan berwarna emas seperti Charly dan beberapa orang yang coba menculikku sebelumnya. Dan bukan juga seperti manusia umumnya. Aku pernah dengar ini sebelumnya. Aku pernah menonton yang seperti ini sebelumnya. Seseorang dengan iris merah… adalah seorang vampir. Percaya atau tidak, terlepas dari semua kelogisan yang selama ini kubangun, aku menebak Mr. Smith adalah keturunan vampir. Jika benar, Charly pasti sedang berencana membunuhku dengan menitipkan nyawaku pada seorang penghisap darah.
Mr. Smith tertawa keras. Itu sungguh-sungguh mengejutkanku.
“Aku bisa membaca pikiranmu, Nona.” Ia kembali tertawa. “Itu hampir sepenuhnya benar, kecuali satu anggapanmu yang terakhir. Aku tidak akan menyakitimu. Dan begitu pun Charly.” Wajahnya menjadi sangat-sangat serius. Sisa tawa di bawah matanya tidak tampak lagi.
Oke, kuabaikan semuanya, dan aku memutuskan untuk menggarisbawahi yang satu itu: itu hampir sepenuhnya benar, kecuali anggapanmu yang terakhir. Kupikir itu cukup menjelaskan bahwa ia benar-benar keturunan vampir. Dan di sinilah aku. Haha horeee! Apa aku mesti bersorak dengan meniup terompet berlidah yang menjulur dan menggulung di depan bibirku atau aku mesti berjingkat-jingkat kegirangan bisa bertemu dengan seorang vampir sungguhan? Tidak, ini bukan main-main. Aku takut setengah mati kalau saja kau tahu.
“Charly sungguh-sungguh sedang menyelamatkanmu. Ia benar-benar bertanggung jawab meski pun ini bukan sepenuhnya salahnya.”
Aku diam tidak tahu harus berkomentar apa. Semua terasa tidak benar. Bahkan bonsai di ujung ruangan tampak salah di mataku.
“Kau diam, dan kuanggap kau sudah mengetahui sebagian tentangnya. Dan apa kau menyukainya, Nona?” tanya Mr. Smith seolah sedang menggeledahku, membuka apa yang sesungguhnya ada di dalam hatiku.
Aku tidak yakin, jawabku dalam hati. Setelah banyak hal tidak terduga yang kami lalui bersama dan seperti sebuah takdir tidak mengenakkan dalam hidupku, diam-diam aku mulai merasa biasa saja dengannya. Kemudian di waktu-waktu tertentu aku ingin bersamanya saja meski rasa takutku padanya tidak pernah absen hari demi hari.
“Aku tahu kau akan mengatakan itu,” kata Mr. Smith lagi.
Aku seperti orang bisu jika saja ada seseorang yang melihat kami sejak tadi. Aku cukup berbicara dalam hati, dan Mr. Smith memahaminya. Lebih mudah, bukan?“Kuharap kau siap dengan segala resikonya jika kau benar-benar menyukainya.”
Hening. Mr. Smith menunjukkan satu pigura ukuran jumbo yang terpajang di dinding. Itu adalah lukisan bergambar sebuah keluarga. Di sana ada seorang pria dan seorang wanita yang dikelilingi empat orang anak kecil yang kesemuanya laki-laki. Umur mereka berbeda-beda. Kuketahui itu dari tinggi badan mereka yang jika diurutkan mungkin akan membentuk sebuah tangga sederhana. Jarak antara umur mereka dari yang muda dengan yang lebih tua mungkin satu sampai tiga tahun. Anak-anak itu mengenakan setelan hitam khas Inggris abad 18 dengan sosok ayah dalam lukisan itu yang bagiku mirip sekali dengan wajah Van Gogh dari kejauhan. Sedangkan si ibu tampak jelas berbeda budaya dengan suami dan anak-anaknya. Ia mengenakan gaun bergaya Perancis dengan topi khasnya yang terkenal seantero negeri. Mereka semua tampak bahagia dalam lukisan minyak yang di beberapa bagian mulai lapuk.
“Mereka adalah orang tuaku,” terang Mr. Smith menunjuk pria dan wanita dalam lukisan. “Dan ini aku, si sulung.” Jemarinya beralih menuding anak laki-laki yang paling tinggi dan berdiri paling dekat dengan sang ayah.
***bersambung***
Ada komentar? Atau Vote mungkin? Haha ngarep gilaaaa authornya wkakak
Oya ada tambahan. Ini adalah bagian pertama dari subjudul Bukan Sekedar Rahasia. Jadi kalo kalian liat ada postingan dg judul yg sama, jangan dilewatin. Cek dulu urutan chapternya. Banyak part2 sebelumnya yg kaya gini (se-subjudul tapi beda chapter)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Protecting Blood
Fantasy"Darah yang Melindungi" [[DONE]] "Seekor hyena menyeret tubuh Margarett ke atas pohon tak lama setelah ia meletakkan kayu bakarnya dan memutuskan mencarimu. Ia tewas, Jun..." *** Terjebak dalam situasi tak terduga di mana teman-temannya tewas oleh s...