Hari Rabu, pukul 5 sore, aku masih di gudang sekolah, berdua dengan laki-laki tinggi yang sejak setengah jam lalu menjadi objek mataku. Osi namanya.
"Kamu mau aku panggil apa?" tanya Osi memecah keheningan di antar kami, ia mengistirahatkan tubuhnya yang lelah di salah satu kursi yang belum tersusun.
Aku mengerutkan alis, tampak berpikir sambil tak melepas pandanganku dari sosoknya yang saat ini tengah menatapku. "Kenapa tiba-tiba tanya gitu? Biasanya juga manggil Garong."
Ia terkekeh sembari mengelap peluhnya, "Kejadian tadi buat aku mikir, kalo sebenernya manggil seseorang itu harus dengan panggilan yang emang disenengin orang itu. Kamu seneng aku panggil Garong?"
Aku tersenyum dan memilih turun dari meja yang saat ini tengah aku duduki untuk menghampirinya. "Kamu kepikiran yang tadi?" tanyaku sambil mengeluarkan sapu tangan dari saku seragam kemudian mengelap peluhnya.
Osi menahan tanganku yang tengah mengelap peluhnya dan menatapku. Entah apa yang tengah dicarinya namun aku tetap membalas tatapannya. "Aku gak suka kamu dipanggil kaya gitu, walau sebenarnya memang fakta." Lirihnya pelan dan di telingaku terdengar seperti rajukan anak kecil.
Aku terkekeh pelan kemudian kembali melanjutkan kegiatanku mengusap peluhnya, "kalo udah tau fakta kenapa gak suka? Toh aku ini yang dipanggil kaya gitu, bukan kamu." balasku kalem. Osi mendengus dan memilih untuk tak melihatku, kalau sudah begini aku tau bahwa ia memang tengah ngambek layaknya anak kecil karena aku tak pernah mendengarkannya.
"Osi." Panggilku agar ia mau melihatku. Namun sepertinya tumpukan kardus di sudut ruangan tampak lebih menarik dibandingkan dengan wajahku yang super wow ini.
Detik berikutnya Osi berjengit dan menjauhkan wajahnya yang saat ini hanya berjarak 10 cm dari wajahku. Oh lucu sekali tampang terkejutnya. "Ngapain kamu duduk disini? Turun." Titahnya seakan aku adalah kucing peliharaannya yang akan menuruti apapun yang akan diperintah sang majikan. Oh jangan lupa kucing peliharaan diizinkan untuk berada di pangkuan majikan.
"Gamau." aku malah mengalungkan kedua lenganku di lehernya, membuat pertahanan apabila Osi secara paksa membuatku turun.
"Junies, turun." Titahnya sambil menatapku tajam. Tangannya meraih kedua lenganku dan mencoba melepaskan kaitannya.
"Ngga, sebelum kamu panggil aku sayang." Ujarku sambil memperkuat ikatan kedua lenganku. Kubalas tatapannya, menantang.
"Dalam rangka apa? Kamu bukan pacarku." Jawabnya kemudian mengalihkan wajahnya dariku, kali ini ke arah meja yang tadi sempat kududuki. Aku gemas sendiri melihat tingkah Osi, menurutku ia sama sekali tidak terlihat kesal karena sering kugoda, kesalnya adalah karena aku yang bermain hard to get dengannya. Lihat saja, buktinya ia merajuk karena aku bukan pacarnya.
"Osiku sayang sudah lupa rupanya bahwa baru beberapa menit yang lalu kamu bertanya padaku ingin dipanggil apa, inilah jawabanku sayang." Aku menangkup kepalanya agar ia kembali menatapku. Sambil menaik-naikkan alisku, aku menunggunya untuk memanggilku dengan panggilan yang kuminta.
Satu menit. Osi hanya menatapku tanpa bersuara sama sekali, alisku pun sudah tidak kunaik-naikkan lagi tanpa kusadari. Dunia seolah berhenti berputar dan hanya ada aku dan Osi di dalamnya.
Suara nafas kami beradu, dalam jarak sedekat ini aku baru tau bahwa Osi memiliki mata yang indah dan menjerat, bulu matanya cukup panjang untuk ukuran laki-laki padahal aku yakin ia tidak mungkin menggunakan mascara, untuk alisnya tak ada yang perlu kusebutkan karena sejak dulu aku memang pemuja alis milik Osi, tanpa kusadari tangan kananku sudah bergerak menyusuri alisnya. Hidungnya mancung, seperti hidungku. Rahangnya tegas dan tajam seakan jariku akan berdarah jika menyentuhnya, dan bibirnya...
Oh sial, buru-buru kualihkan pandanganku dari bibirnya sebelum otakku berpikiran yang aneh-aneh. "kalo kamu gamau panggil aku sayang juga gapapa kok, aku gak maksa." Aku menurunkan tanganku sambil mencuri lirik ke arahnya. Osi tak bergeming dan tetap menatapku, aku berdeham pelan dan hendak berdiri dari pangkuannya, "aku turun deh, kamu ma-"
Kalimatku tak selesai dengan sempurna karena Osi meraih tengkukku dan membungkam bibirku dengan bibirnya. Tidak lama, hanya sedetik sebelum ia menjauhkan wajahnya dan menatapku. Entah dorongan darimana, wajah Osi kembali mendekat dan mempertemukan kembali bibir kami, seakan belum puas dengan ciuman sedetik yang sejujurnya tidak bisa kusebut ciuman karena ia hanya menempelkan bibirnya dengan bibirku.
Namun kali ini, Osi benar-benar menciumku. Bibirnya bergerak dengan lembut seperti tak ingin menyakitiku. Berusaha membuatku nyaman dengan temponya yang pelan. Terkejut? Sudah pasti. Namun aku memilih menutup mataku, kembali mengalungkan lenganku di lehernya dan membalas ciumannya.
'Di dunia selanjutnya, semoga kamu menjadi anak baik dan menghargai arti sebuah perasaan agar kamu mengerti perasaanku. Dan tentu, kita akan bersama, baik di dunia ini ataupun di dunia selanjutnya.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Time to
Short StoryKenapa jadi Rista yang kena? Rista mengejar-ngejar Seha. Seperti Osi mengejar-ngejar Junies. Oh dasar Osi sialan.