10

2.3K 147 4
                                    


Mama sibuk mencari Taya. Padahal nggak ada ngaruhnya juga Mama ngelakuin itu, kamu tahu sendiri kan ibu-ibu ribetnya kayak apa. Taya pasti muncul tanpa harus mondar-mandir nyari sana-sini. Dan Mamaku? Tetap aja melakukannya.

"Mam, duduk deh. Naya pegel liat Mama bolak-balik terus." aku menepuk kursi di sebelahku.

"Nanti juga Taya dateng." kataku.

Mama melihatku cemas. "Harusnya bentar lagi dateng sayang, tapi ini belum juga."

"Mam, tunggu sebentar lagi. She's twenty one years old and you don't need to worry about her like that. Okay?"

Aku menghela napas dan mengelus lengan Mama lembut. Mama cuma mengangguk dan menempelkan kepalanya pada pundakku. Mama salah satu tipe dari kebanyakan ibu-ibu di luar sana yang terlalu khawatir dengan masalah kecil.

"Papa besok pulang, kita dinner yuk?" Mama bersuara dan aku masih memeluk lengannya.

"Ide bagus." jawabku.

Meskipun aku kelihatan cuek, sejujurnya mataku juga mencari Taya yang masih belum muncul juga.

"Nay, Mama kayaknya butuh kopi anget deh." Mama melihatku, matanya terlihat sayu.

"I'll get you a drink. Cappucino green tea?"

Aku tahu itu kopi kesukaan Mama dan Mama mengangguk cepat. Menampilkan senyum ke-ibuannya.

"Mama tunggu sini ya, telepon Mama kalau ada apa-apa." aku mengangguk dan bergegas pergi ke daerah conter kopi yang setahuku di Hussein memang ada.

Aku memeluk tubuhku. Jarang banget Bandung sedingin ini. Jaket hitam ini--jaket Eza--terlalu nyaman untuk aku lepas.

Jadi aku memutuskan memakai jaket ini daripada kelamaan memilih jaket lain. Lagian apa salahnya aku pakai jaket ini?

Aku memasuki Starbucks yang untungnya nggak sepenuh yang aku kira. Menghampiri meja pemesanan dan memesan satu cup cappucino green tea dan chocolate caramel hangat seperti biasanya. Aku mengetuk jariku sambil menunggu pesananya jadi. Melihat-lihat sekeliling siapa tahu ada cowok cakep atau apa kan? Siapa tahu juga.

"Mas, saya minta tissue boleh?"

Suara cowok yang kedengarannya nggak asing mengalihkan perhatianku.

"Oh, boleh-boleh. Ada yang tumpah mas? Nanti biar kami yang bersihin."

Cowok itu menggeleng ramah. "Nggak kok, tumpah sedikit. Nggak apa-apa."

Sebelum cowok itu pergi dia melihatku sekilas dan aku berlagak layaknya aku juga baru melihatnya. Aku yakin kamu pernah melakukan ini.

Matanya menangkapku dan aku melihatnya juga dengan tatapan se-santai mungkin meskipun sebenarnya enggak.

"Naya?" panggilnya. Aku tersenyum canggung.

Revan.

"Hai."

Revan senyum. Senyum yang dulu langka banget untuk bisa aku lihat.

"Kamu sendiri?" tanyanya.

Aku melayangkan tanganku layaknya menunjuk orang di belakang dan aku yakin ini kelihayan kayak orang bodoh.

"Sama Mama. Ergh... kamu?"

Revan tersenyum tipis.

"Sama keluarga." jawabnya dan aku mengangguk canggung.

"Silahkan pesananya mbak Naya. Satu cappucino green tea, satu hot chocolate caramel, ada tambahan lain?" aku dan Revan sama-sama menoleh ke asal suara.

"Oh iya. Itu aja, jadi berapa?" aku mulai membuka dompetku.

"Nay, aku ke meja dulu ya." sebelum aku mengeluarkan uangku, Revan pamit duluan.

"Ah, iya." aku tersenyum.

"I'll see you." Revan melambaikan tangannya di udara dengan senyuman tipis yang mengembang. Memperlihatkan lesung pipinya.

"See you." jawabku singkat.

Melihat Revan yang berjalan menuju meja sudut di mana keluarganya menunggu.

Aku membayar pesananku dan membawanya. Melihat kembali ke arah meja Revan, sedikit tersenyum ketika dia juga melihatku (ternyata). Aku bergegas pergi sebelum Mama berpikir aneh-aneh karena aku terlalu lama.

Ada senyum kecil sebelum aku sampai di kursi tunggu. Mengingat aku yang sama-sama canggung dan Revan juga. Aneh. Tapi aku bahkan nggak bisa berhenti tertawa pelan waktu dia juga melihat kebelakang sebelum aku pergi.

"Heh! Ade kecil! Dari mana aja lo?" aku mendongak dan melihat Taya berdiri nggak jauh dari aku sekarang.

Tangan kanannya memeluk pinggang Mama dan tangan kirinya memegang kopernya yang selalu dia banggakan itu.

Aku tertawa melihat Taya yang sekarang jauh berbeda. She looks amazing with her ponytail hair, skinny jeans, cropped tee and that long cardigan too!

Dan sepatu boots hitamnya yang kelihatan keren saat dia pakai. Kamu tahu, dia mirip kayak pejalan kaki Paris yang super sibuk. Taya tersenyum lebar, membuka lengannya lebar untuk memelukku dan aku sedikit berlari kecil.

"Taya! Look at you." aku memeluk Taya dan Mama membawa dua cup Starbucks dari tanganku sebelum tumpah.

Taya mengendongku dan memutar-mutar tubuhku di udara.

"Ditinggal tiga bulan ternyata udah punya pacar baru nggak cerita ya kamu, giliran telepon Daya aja bisa. Masa buat curhat  ke gue nggak bisa?" Taya cemberut dan aku tertawa.

"Pacar baru?" tanyaku beberapa detik kemudian.

Taya mengangguk, matanya melirik Mama yang ikut tersenyum genit.

"Mama bilang tadi ada cowok yang anter kamu pulang namanya Eza. Iya kan?"

Taya mencolek hidungku dan aku merengek sebal.

"Mam, i told you. He is my friend okay not my boyfriend." aku mengendus sebal. Mama ketawa.

"Soon-to-be. Who knows?" timpal Mama dan menekankan kata-katanya.

"Well, did he has british accent that can made you fall in love?" Taya merangkulku.

Sialan. Taya apaan sih?

Dulu waktu kira-kira aku berumur sepuluh tahun. Aku suka banget sama cowok yang punya accent british dan nggak sengaja aku ngomong di depan tv. Taya dan Daya ada disitu, yang jelas mereka dengar aku ngomong gitu dan langsung ketawa terbahak-bahak.

Aku nggak tahu kalau pengaruhnya sampai sekarang dan Taya punya memori yang bagus untuk mengingat itu.

"Taya, please shut up!" aku mendengus.

Aku memilih jalan duluan tapi sayangnya masih bisa mendengar Mama dan Taya cekikikan di belakangku.

※※※

Note: Revan on multimedia. (Selama nulis Revan, cowok itulah yang muncul dibayangan aku🙈).

Writting updated on December 17th 2016 and published on January 4th 2017 and editing on January 3rd 2017.
By dhizayniegirl.
L

ast editing January 11th 2017.

HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang