17

1.8K 112 3
                                    


"Harusnya tadi kamu nggak duluan." gerutu Eza di telepon.

Ini jam delapan malam dan dia tiba-tiba telepon disela aku yang lagi serius nonton Trolls.

"Ngapain juga aku nungguin kamu?"

Eza menghela napas dan aku bisa dengar dia mendengus.

"Emangnya kalau anterin Taya pulang kenapa sih?" tanyaku akhirnya.

Ada jeda sebelum aku bisa mendengar suara napas Eza.

"Males." jawabnya singkat.

Aku memutar badanku menjadi terlentang di tempat tidur, mengalihkan Macbook dan popcornku.

"Kenapa males?"

Eza menarik napas berat. "Males aja."

Aku sedikit terkekeh. Membayangkan ekspresi Eza sekarang, aku yakin sampai kapanpun aku nggak akan berhenti tertawa.

"Ya udah, bahas topik yang lain aja gimana?" alihku.

Eza tertawa dan bisa aku dengar dia meneguk minuman (mungkin).

"Lagi apa Nay?" tanyanya. Aku senyum.

Dan ini benar-benar senyuman spontan yang aku sendiri nggak menyadarinya.

Aku diam sebentar, memikirkan jawaban apa yang bagus untuk membuat lelucon meskipun aku yakin itu lelucon murahan yang aku buat.

"Emm... lagi manjat pohon." jawabku.

Tok. Tok. Tok.

Aku menoleh ketika pintu kamarku terbuka. Ah, Taya. Ada apa sih?

"Aku mau ngomong bentar." bisik Taya dan aku menggeleng memberikannya isyarat untuk diam sebentar.

Aku fokus pada Eza dan kedengarannya dia berdecak.

"Pantesan dari tadi aku di ruang tamu sama Mama kamu. Kamunya nggak turun-turun."

Aku terkekeh sementara bola mataku melihat Taya tiduran di sampingku. Pura-pura menguping tapi aku nggak peduli.

"Aku males turun, di pohonnya banyak semut." candaku lagi.

"Ya udah deh, aku pulang aja kalau gitu."

Aku ketawa. Tapi nggak ada suara tawa Eza yang terdengar.

"Nih, Mama kamu mau ngomong." katanya.

Aku menunggunya akan membuat lelucon apa lagi. Sambil menunggu Eza yang nggak tahu lagi apa, aku menoleh melihat Taya. Dia senyum tengil.

"Nay, pacar kamu cakep ternyata. Tinggi, senyumannya manis lagi." bisik Taya genit.

Aku memutar bola mataku.

"Apaan sih." pekikku dan mulai senang waktu ada suara dari telepon.

"Halo? Za?" panggilku.

Dan nggak lama ada suara ibu-ibu bicara.

"Nay, ini ada tamu nih. Taya nggak ngasih tau ya? Mama di ruang tamu sama Eza dari tadi."

Itu kan suara Mama? Aku melongo. Apa Eza serius ada di bawah?

"Ini Mama?" tanyaku memastikan. Ada suara cekikikan dari belakang dan aku yakin itu Eza.

"Pulsa orang nih, Mama kesian sama Eza. Sini turun." kata Mama ikut tertawa.

Sial. Mama sama Eza satu team. Aku cepat-cepat berdiri.

"Kok lo nggak bilang ada tamu?" tanyaku ketus sambil cepat-cepat juga menyisir rambutku.

"Kan tadi lo sendiri yang minta gue diem." Taya bangkit.

Dan duduk di ujung tempat tidur sambil tertawa.

"Anjir jahat ya, duh, cardigan dimana ya?" kepalaku hampir masuk seutuhnya ke dalam lemari.

Taya sibuk tertawa dan dari suaranya yang menganggu dia sedang memakan popcornku.

"Itu tuh." Taya menunjuk kursi yang mengarah ke kaca balkon.

Aku lupa kalau kursi itu berubah jadi tempat bajuku yang udah menumpuk kayak gunung.

Aku cepat-cepat berlari kecil kayak anak anjing. Memakai cardinganku dan melihat penampilanku di kaca sekali lagi.

Nggak jelek-jelek banget kok Nay.

"He's cute but soooooo damn hot too. Adik kecil gue udah gede ya sekarang. Mulai bisa memilih pacar yang baik."

Taya tertawa dan lagi-lagi menatapku genit.

"Berisik lo." aku lari keluar kamar, menutup pintu dan membiarkan Taya di dalam kamar tertawa puas.

Menuruni tangga secepat yang aku bisa dengan sandal tidur berbentuk stroberi berwarna pink ini.

Dan disanalah Eza. Di ruang tamu sambil tertawa bersama Mama.

※※※


"Akhirnya..." desis Mama lalu berdiri menghampiriku.

Aku senyum canggung. Aneh nggak sih ketika ada cowok malam-malam kayak gini datang ke rumah kamu tanpa kamu tahu apa maksudnya?

"Mama ke dapur dulu, mau cari makanan. Temenin tuh Eza." Mama menepuk pundakku lalu matanya berarih melirik Eza.

"Oke." jawabku singkat.

Eza tersenyum dan melihatku dengan senyuman yang nggak aku mengerti apa maksudnya.

Aku duduk di sofa sebelah ia duduk. Berdeham sebelum aku menemukan suaraku.

"Kenapa nggak bilang mau ke rumah?" tanyaku se-santai mungkin.

Eza nyengir. "Tadi abis dari rumah Bagas, sengaja mampir dulu kesini sebelum balik."

Aku ngangguk. Bagas. Anak sosial dua, kelas sebelahku. Dan sering juga  aku lihat Bagas di daerah sini.

"Kamu tuh terlalu sering buat aneh-aneh." omelku.

Memeluk tubuhku yang dibalut cardigan hitam seadanya dan baju tidurku yang asal.

Eza terkekeh. "Aneh apannya?"

"Aneh. Ke rumah nggak bilang-bilang, terus tiba-tiba telepon, abis itu senyum tengil kayak nggak berbuat apa-apa."

Eza ketawa sambil meneguk sirup jeruk yang kayaknya baru aja di bikin si Bibi.

"Emangnya kamu nggak denger suara motor atau apa gitu?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Aku lagi nonton Trolls. Mana aku tau."

Eza terkekeh. Dia mengambil sesuatu dari bawah jaketnya yang dia taruh di sofa.

"Nih." Eza menyodorkan buku.

"Buku?"

"Itu buku kamu. Tadi kayaknya kamu lupa." Eza senyum, aku juga. Dan aku serius nggak tahu mau ngapain.

Sejak kapan seorang Naya tiba-tiba cangung di depan seorang Eza. Aku kayaknya perlu meng-introgasi diriku sendiri sehabis ini.

"Thanks." kataku. Mama datang sambil membawa martabak. Mungkin sisa-sisa kemarin? Bisa jadi.

"Ah, untung Taya doyan makan. Nemu ini deh di kulkas."

Mama menaruh martabak di meja. Duduk di sebelahku dan kami sama-sama ngobrolin hal wajar. Dari mulai Mama nanya-nanya tentang Eza, keluarga Eza sampai segala hal yang aku sendiri juga nggak banyak tahu tentang Eza.

Dan Eza sama sekali nggak kelihatan cangung. Masih sama seperti Eza yang aku kenal. Kasual tapi cerdas juga setiap kali dia ngobrol sama Mama.

"Eza pacaran sama Naya udah lama? Naya nggak pernah cerita sama Tante. Tumben lah dia main rahasia sama Tante." celetuk Mama.

※※※

Published on February 18th 2017.
By Dhia Ardia.

HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang