32

1.6K 103 3
                                    


Ujian praktek sudah di mulai. Artinya aku hanya tinggal menunggu beberapa minggu hingga ujian nasional berlangsung. Tepat sekitar dua bulan yang lalu aku menyatakan perasaanku pada Eza meskipun ia tak tahu pasti siapa cowok yang aku maksud.

Aku dan Eza masih seperti biasa. Menghabiskan waktu bersama saat istirahat makan siang, pergi solat bersama teman-teman Eza juga teman-temanku. Terkadang menghabiskan waktu istirahat kedua di rooftop, hanya untuk memandang langit dan menceritakan segalanya.

Akhir-akhir ini Eza sedang membaca buku karya Boy Chandra, dia bilang suatu hari nanti dia akan membuat karya lebih bagus dari Boy Chandra dan aku menanggapinya sambil tertawa. Aku menceritakan banyak hal setiap kali bersamanya, dari mulai novel-novel pemberiannya yang sudah semuanya aku baca dalam kurun waktu dua minggu.

Kadang Eza meneleponku setiap malam untuk sekedar menanyakan PR. Tapi masih dengan gombalan mentahnya yang jayus. Dia bilang meneleponku malam-malam dan menanyakan PR itu hanya untuk mendengar suaraku yang cerewet. Meskipun kenyataannya aku memang susah berhenti ngomong--terutama saat bersama Eza.

Dua hari yang lalu, aku sempat mampir ke rumah Eza. Berkenalan dengan Mamanya dan Adik perempuanya--Mika. Mereka semua baik, dan aku merasa nyaman. Aku senang bisa mengenal Eza lebih jauh, tentang kesukaannya, menemaninya membeli baju, memilihkannya model sepatu untuk perpisahan nanti, mengetahui hal yang ia benci--dia takut ruang yang sempit. Semua hal kecil tentangnya begitu aku sukai. Aku seakan bisa mengenalnya sebagai sahabat.

Batasanku dengan Eza hanyalah seorang sahabat, tak peduli meskipun salah satu diantaranya ada yang saling menyukai. Aku dan Eza hanyalah sahabat. Dia layaknya bendungan ceritaku setiap hari dan aku menyukai momen itu.

"Nay," aku menoleh. "Kena nyariin tuh di luar, kamu belum ganti baju lagi." protes Eza menghampiriku.

Eza dengan kostum ala cowok berandalan sudah siap untuk tampil drama ujian praktek bahasa indonesia.

"Main jam berapaa sih kita?" tanyaku, merapikan naskahku dan coretan bukuku ke dalam tas.

"Dua penampilan lagi giliran kita, makanya sana siap-siap sana." Eza mengacak rambutku, "Kebiasaan lama." omelnya lagi-lagi.

Aku mengibaskan tangannya dan berusaha berdiri sambil meraih tangan Eza yang sudah mengulur untuk membantuku berdiri.

"Dasar cerewet!" ledekku.

"Cepet sana siap-siap, mau aku marahin?" omelnya pura-pura berlagak sok marah--sesuai dengan perannya.

"Kamu kalau mau latihan jangan ngimbas ke aku, dasar badut!"

"Heh! Berani ini anak satu. Mau di apain kamu?" Eza menghampiriku.

"Emangnya kamu berani sama aku?" tantangku, menjulurkan lidahku padanya.

"Kalau berani, kamu mau apa?" Eza menghampiriku lebih dekat, aku menahan tawa melihat ekspresinya yang tengil.

"Mau maju satu langkah," cibirku. Eza memasang tampang melecehkan.

"Sini maju dong kalau berani." Eza semakin mendekatiku dan jarang diantara kami semakin dekat.

Napasku terasa berhenti dan pipiku seakan memanas, aku bisa merasakan hembusan napas Eza yang hangat. Eza menatapku dan aku hanya diam menatap matanya.

"Katanya berani," bisik Eza.

Aku mengehela napas, aroma parfume Eza yang segar dan manis memenuhi hidungku.

"Aku mau maju satu langkah," aku memulai menyusun kalimatku. "Satu langkah buat..."

"--kabur!" aku memasang tampang meledek dan lari secepat yang aku bisa keluar dari Aula.

HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang