30

1.6K 111 8
                                    


Aku suka sama Eza.

Apa iya? Dan diriku sendiri menanyakan itu tanpa tahu jawabannya. Aku memainkan handphoneku sambil bermalas-malasan di tempat tidur. Yang lain sibuk membantu Mama merias dekorasi tahun baru sedangkan aku memilih untuk ke kamar dan bilang kalau aku mau berendam dulu.

Aku memandang kotak merah muda dengan pita hitam pekat cantik. Dari kemasan boxnya, itu kelihatan megah. Aku juga bingung kenapa Nanda memberikanku novel dengan bungkusan box kayak gitu dan kalau dipikir-pikir, ulang tahunku masih kelewat lama. Aku memutuskan mengambil box itu. Membuka pita hitamnya perlahan.

Ada rasa yang meledak dalam dadaku waktu aku melihat ada banyak novel. Ini bagus banget untuk menemani liburanku. Aku diam sesaat, memikirkan semua novel ini. Ada enam novel di dalam box dan seingatku aku pernah mengatakan ini pada Eza kalau aku mau beli novel-novel itu tapi uang jajanku nggak cukup.

Mungkin Nanda kebetulan aja dan memang dia juga suka novel yang sama denganku. Jadi, tanpa pikir panjang aku mengeluarkan setiap novelnya dari dalam box dan membaca ulang sinopsisnya sekalipun aku udah sering kali membacanya.

Aku senyum, terlalu bahagia.

Aku menyambar handphoneku di atas tempat tidur, menekan huruf N untuk mencari nomor Nanda dan berterima kasih padanya. Nanda belum mengangkat telepon tapi nada sambungnya sudah terdengar di telingaku.

Aku menunggu, mengetukkan jariku pada tutup box dan sadar kalau ternyata ada amplop hitam senada dengan pita di dalamnya.

Aku mengapit handphoneku diantara bahu dan telingaku. Membuka amplopnya dan melihat kertas surat. Aku membacanya, bahkan dengam sangat tenang aku membacanya. Juga masih menunggu Nanda mengangkat teleponku.

Aku membaca suratnya. Tinta hitam yang terukir dalam surat terlihat rapi meskipun tak sebagus yang diperkirakan. Tapi itu cukup karena hatiku terasa hangat, entah kenapa.

"Halo, Nay?" Nada sambung berhenti dan suara lembut Nanda terdengar.

Aku senyum. "Nan, makasih ya."

"Jangan makasih ke aku, aku kan cuma jadi pengantar aja." Nanda terkekeh.

Aku senyum tipis. "Makasih banyak Nan."

Sampai akhir obrolanku dengan Nanda, terbukti kalau sekarang pun aku masih senyum-senyum senang.

Aku membaca suratnya berkali-kali dan kali ini aku akan membacanya lagi.

Dear Nanay,

Hei Nay.

Kayaknya nggak harus nyebutin nama aku kamu udah tau kan? Pas baca suratnya jangan senyum-senyum sendiri AHAHA. Kamu lagi apa? Suka nggak sama novelnya? Semoga suka deh, masalahnya aku capek keliling Gramedia buat nyari novel yang kamu bilang. Mana aku di godain sama mbak Gramedianya lagi, mungkin mbaknya nggak tahan liat ke gantengan seorang Eza. Nay, sorry nggak bisa ngasihin novelnya langsung.

Aku lagi nggak di Bandung liburan sekarang, jadi minta bantuan Nanda buat ngasihin novelnya. Ngomong-ngomong kenapa aku kasih hadiah padahal ulang tahun kamu masih lama alasannya supaya kamu inget aku sebelum pergantian tahun (aku tau sih kamu pasti inget aku terus).

Nay udah ya nulisnya, lama-lama nulis surat pegel juga. Aku bingung kenapa di film Dear John mereka nggak capek nulis surat sepanjang itu. Yaudah deh, selamat tahun baru. Kalau bukunya udah di baca cerita ya.

See you soon.

p.s: aku kangen kamu ngomong 'aku serius Za.'

Aku senyum untuk kesekian kalinya.

"Aku serius Za." gumamku. Seakan suaraku itu akan terdengar oleh Eza.

※※※

Mungkin beberapa hari setelah perayaan tahun baru itu nggak ada satupun yang menarik bagiku, terutama novel-novel pemberian itu. Fokusku hanya pada Eza. Lebih dari satu minggu kami tidak bertemu dan biasanya aku tidak merasakan apa-apa.

Tapi, sekarang perasaan itu mulai berubah dan aku rasa ini aneh. Meskipun sesekali Eza meneleponku hanya untuk memastikan aku untuk membaca novel itu, terkadang juga aku dan Eza menceritakan kejadian sehari-hari. Dia sempat nanya tentang novelnya dan aku jawab kalau aku masih membacanya. Padahal aku sama sekali belum membacanya, karena aku selalu teringat padanya.

Aku menaiki tangga sekolah, ini masih musim libur akhir tahun tapi aku harus datang ke sekolah untuk tugas drama. Bergegas memasuki aula yang kelihatannya sudah ramai dengan teman-temanku. Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari sosok Eza.

Hasilnya nihil. Mungkin dia nggak dateng atau terlambat. Kena, Hana, Sassa menyapaku. Dan yang lain bersiap mengambil posisi adegan mereka. Aku mengambil naskah milikku dan duduk di bangku pojok aula karena bagian adeganku masih lama.

Handphoneku bergetar, aku membaca pesan masuk. Aku senyum, tanpa sengaja membaca nama pengirimnya.

📩Eza:

Daripada bosen mending sini deh ke rooftop😛

Aku bangkit tanpa memikirkan teman-temanku yang lain, aku bergegas menaiki tangga. Lantai empat, lantai empat begitu ulangku setiap menaiki anak tangga. Membuka gerbang hitam yang untungnya nggak dikunci. Aku melirik mencari sosok Eza dan dengan santainya dia selonjoran di rooftop tanpa memikirkan bajunya yang kotor.

Aku memperhatikan sosoknya, menatap langit biru dengan tenang. Aku tersenyum, hanya itu yang bisa ku gambarkan dari perasaan senangku melihat Eza untuk pertama kalinya.

"Ngelamun kesambet loh!" teriakku menyenggol bahunya lalu duduk di sebelahnya.

Eza tak bergerak, masih dalam posisinya. Matanya tertutup dan nafasnya terdengar teratur.

"Eza!" aku mengguncang bahunya, sesekali mencubit-cubit lengannya tabpa henti.

Aku bisa melihat Eza tersenyum kecil di balik tidurnya dan aku yakin dia ingin bermain-main.

"Za, aku mau cerita tentang novel yang kamu beliin," kataku pelan, dengan nada merengekku.

Eza masih memejamkan matanya tanpa mempedulikanku.

Aku masih muncubit lengannya. "Tapi aku baru baca satu lembar, soalnya," aku mencari alasan yang tepat karena nggak mau kalau Eza tahu apa alasan aku belum juga membaca novelnya.

"Soalnya kamu takut nggak ada waktu buat mikirin aku." celetuk Eza.

Ia menyunggingkan senyum dalam posisinya tanpa berubah, lesung pipinya muncul.

Setika aku hanya bisa diam. Merasakan pipiku merona dan jantungku berdegup lebih cepat.

"Bukan," kataku. "Sok tau kamu."

Hanya itu yang bisa aku katakan. Dan lagi-lagi pipiku nggak berenti memerah.

"Yakin?" tanyanya. Kelopak matanya terbuka secara perlahan, menyesuaikan dengan cahaya.

Aku mengalihkan pandanganku, takut kalau Eza tahu pipiku merah.

Aku memberanikan diri melirik Eza. "Kamu kali yang kangen aku."

Aku mencibir dan merasa bangga dengan keberanianku menatap Eza sambil mengatakan kalimat itu.

Eza ketawa kecil lalu merangkulku, dalam keadaan diam, kepalaku sudah berada dalam pelukan Eza. Aroma parfumenya menyengat dan aku merindukan aroma itu.

Eza mengacak rambutku pelan.

"Kalau emang iya, kenapa?" bisiknya.

Aku menelan ludahku.

Sialan, pipiku lagi-lagi terasa panas dan tenggorokanku mengering seketika.

※※※

Note: kalau rindu terucap, memang salah?

Published on April 8th 2017.
By Dhia Ardia.

HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang