Project 9

2.2K 245 38
                                    

Kini batuknya menjadi lebih parah dibandingkan dengan tadi pagii. Dia kesulitan bernapas dan dia merasakan tenggorokannya menyempit. Kedua tangan Beby bertumpu pada kedua lututnya. Dia terbatuk lagi. Dia mendongak dan menyadari bahwa masih ada beberapa kilometer lagi yang harus dia tempuh sebelum sampai ke rumah.

"Ayo Beby. Tinggal sedikit lagi."

Itu adalah caranya untuk membodohi dirinya sendiri agar tubuhnya mau mendengarkan dirinya dan membuat batuk itu berhenti. Dia merasakan sesuatu di bibirnya dan Beby cepat-cepat mengusapnya. Dia melihat darah merah yang kental. Dadanya terasa sesak melihat pemandangan itu. Sekarang dia menyesal telah meninggalkan obatnya di rumah. Dengan usaha yang keras, dia mulai berjalan lagi. Tidak peduli bagaimanapun caranya, dia harus sampai ke rumah. Tiba-tiba kepalanya mulai terasa pusing.

"Enggak. Enggak..."

Penglihatannya menjadi kabur. Dia mencoba untuk mengacuhkan hal itu. Dia terbatuk-batuk hebat lagi. Tubuhnya terasa ringan dan dia merasakan kakinya melemah. Perlahan, dia kehilangan kontrol. Beby terjatuh ke depan namun dia terkejut, seseorang menopangnya tepat waktu. Dia perlahan mengangkat wajahnya dan tidak dapat menahan senyumannya.

"Kamu dateng."

"Pastinya."

Kemudian semuanya menjadi gelap. Dia pingsan di tangan penyelamatnya.

...

Perlahan Beby mendapatkan kesadarannya kembali. Membuka kedua matanya, dia melihat wajah yang selalu menyelamatkannya seperti hari ini.

"Shanju."

"Hey Beb."

Beby mencoba untuk bangun dari posisinya namun Shania menahannya dan menggelengkan kepalanya.

"Istirahatlah sebentar lagi."

Beby tersenyum pada Shania dan kembali pada posisinya semula. Lagipula rasanya nyaman sekali ketika kepalanya bertumpu pada paha Shania. Dia membiarkan jari-jemari Shania bermain dengan jari-jarinya.

"Aku bikin kamu khawatir lagi ya?"

"Lebih dari yang kamu tau. Untung aja aku lihat obat kamu dirumah. Aku cari kamu kemana-mana."

Beby merengut ketika melihat air mata menggenang di pelupuk mata Shania. Dengan cepat, dia mengusapkan jarinya pada wajah halus Shania.

"Jangan menangis untukku. Aku gak pantes untuk kamu tangisin."

"Aku gak bisa kehilangan kamu Beb. Aku gak bisa."

"Kamu gak akan kehilangan aku. Aku udah janji kan?"

Shania berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh. Beby tidak suka ketika dia menangis karena dirinya. Gadis itu bilang air matanya hanyalah untuk kedua orangtuanya yang telah tiada. Mereka pantas mendapatkan air mata itu. Beby menyunggingkan senyumannya yang paling hangat dan menggenggam tangan Shania.

"Kamu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Suatu hari.."

Shania menggelengkan kepanya dan menempelkan satu jari di bibir Beby.

"Jangan."

Beby menggenggam jarinya lalu mencium jari itu.

"Suatu hari Nju, kamu harus hidup seorang diri. Aku gak akan disini lagi."

"Kamu gak akan pernah tau itu. Kita akan cari cara. Aku akan cari cara selama kamu selalu ada disampingku."

Beby memandangi wajah kekasihnya. Dia sama sekali tidak tahu seberapa besar dampak yang diberikan olehnya pada gadis itu. Sejak kejadian 'itu', otak Shania telah membangun sebuah dinding pembatas yang menahan agar rasa sakit tidak tertransfer ke dalam. Dia tidak dapat merasakan sakit lagi. Kato bilang otaknya menolak untuk mengenali rasa sakit dan membuat Shania menjadi kebal terhadapnya. Tapi tidak pada satu hal; Beby sendiri. Sepertinya Shania dapat merasakan rasa sakit ketika hal itu berhungan dengan dirinya. Hal tersebut menjelaskan perasaan mereka terhadap satu sama lain.

PROJECT 9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang