The Melody Of Pain

2.3K 261 32
                                    

24 Maret 1999.

Dia menundukkan wajahnya dan tidak berani untuk menatap gadis yang berada di depannya. Meskipun gadis itu terus-menerus mendorongnya, Melody tidak berniat untuk melawan atau membalas. Dia malu dan dia merasa bahwa dirinya tidak cukup kuat jika di bandingkan dengan orang yang mengganggunya itu. Karenanya dia membiarkan mereka mengerjainya. Awalnya hanya mendorong tapi lama-kelamaan intimidasi itu menjadi semakin parah. Mereka memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak di sukainya; dari menyerahkan uang jajannya pada mereka sampai mencuri kertas ujian. Hari ini pun sama.

"Lo denger gue atau cuma pura-pura budek hah cebol!?"

Melody menganggukkan kepalanya dengan gugup takut kalau orang yang mengganggunya akan mulai memukulinya. Dia memiliki luka yang ia dapatkan hari kemarin yang masih belum sembuh. Gadis lainnya mendengus dan mulai mendorong-dorong pundaknya. Melody belum siap dan dia jatuh ke lantai.

"A-aku denger k-kok.."

"Lo berani ngejawab gue!?"

Gadis itu memukul kepala Melody menghasilkan sebuah teriakan tertahan dari gadis malang itu. Penganggunya menjambak rambutnya dan memaksanya untuk mendongak. Melody kesakitan namun pengganggu itu sepertinya menikmati hal ini.

"T-Tolong.. j-jangan lukai aku..."

"Gue nyuruh lo untuk ngambil kerjan ujian! Bukannya bilang ke kita kalo lo gak bisa ngelakuinnya!"

"M-Maaf.."

Melody sudah hampir menangis. Dia membenci hidupnya. Dia seorang yatim piatu dan karena dia tidak memiliki orang tua, dia di jahili oleh semua orang. Tidak pernah sekalipun Melody membela dirinya. Semua orang tidak memperdulikannya. Gadis itu mendorongnya lagi.

"Sekarang, pergi dan ambil kertas ujian itu untuk gue! Ngerti!?"

Apakah dia memiliki pilihan? Tidak. Mungkin untuk inilah dirinya di lahirkan; hanya untuk menuruti perintah orang lain. Perlahan dia mengangguk dan dia dapat dengan jelas mendengar orang-orang itu mentertawainya. Dia ingin melawan namun dia tidak memiliki keberanian. Dia lemah dan orang lemah tidak pantas untuk berada di dunia ini. Hal ini sangat berat untuknya.

"Liat dia. Gue bilang juga dia gak akan bisa bilang enggak. Enggak aneh orangtuanya ngebuang dia."

Air mata hampir saja turun mengalir membasahi pipinya. Para penganggunya mentertawainya sebelum mereka meninggalkannya di lantai dalam keadaan kesakitan dan putus asa. Melody tidak repot-repot menghapus air matanya. Dia sudah menerima nasib hidupnya karena semua orang di sekitarnya terus-menerus mengatakan padanya bagaimana keluarganya sendiri tidak menginginkannya. Dirinya di tinggalkan di kolong jembatan untuk mati. Beruntungnya, salah seorang penjaga panti asuhannya menemukannya dan membawanya. Wanita itu merawatnya dan mencintainya sampai satu tahun yang lalu wanita itu meninggal karena kanker. Setelah itu semuanya berubah. Para pengurus yang lain tidak peduli padanya. Mereka memaksanya untuk melakukan semua pekerjaan. Dia hanya memiliki waktu untuk tidur dan makan. Dia bahkan tidak memiliki waktu untuk menyelesaikan PR-nya. Karena itulah, guru sekolahnya selalu memarahinya dan terus-menerus menghukumnya. Mereka bahkan berkata bahwa meladeninya hanya membuang-buang waktu. Hal itu menghancurkan hatinya namun Melody menyimpannya seorang diri. Dia sudah berjanji pada pengurusnya yang sudah wafat bahwa dirinya akan menyelesaikan pendidikannya tidak peduli bagaimana caranya; demi wanita baik hati itu. Ketika para guru mulai membencinya dan para pengganggu mulai mengganggunya. Semua laporannya mengenai penindasan itu tidak di dengar. Mereka bilang Melody hanya melebih-lebihkan. Karenanya dia berhenti melapor. Dia menanggung semua kebencian dan luka itu seorang diri.

"Tidak apa. Aku akan baik-baik saja."

Hanya itu satu-satunya cara untuk mengingatkan dirinya sendiri dan dia berhasil sampai sejauh ini. Hari ini hanyalah hari yang normal baginya.

PROJECT 9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang