BAB II: Bencana

9.6K 653 97
                                    

Dan terkadang, menyembunyikan lebih baik daripada harus menunjukkan.

**

SATU setengah tahun sudah Alisha lalui yang mana berarti saat ini ia sudah berada di bangku kelas XI. Dan lagi-lagi, ia tidak sekelas dengan Rafa. Mengenai teman sebangkunya semasa kelas X dulu –Fera– mereka di pertemukan kembali di kelas XI ini di kelas yang sama. Bahkan, Fera sendiri yang meminta jika Alisha harus menjadi teman sebangkunya lagi dan Alisha pun menyetujuinya yang ternyata, hal itu pun ternyata sungguh ia sesalkan di kemudian hari.

Karena, tanpa Fera ketahui, di kelas XI ini-lah semuanya di mulai.

**

"Kesel deh gue! Kenapa sih, kita udah langsung di kasih tugas sama Bu Rina?!" protes Alisha sebal mengenai Guru Ekonomi nya yang baru saja memberikan tugas pada jam pertama kepada Fera.

"Ya, lo tau sendiri, dia has no mercy." jawab Fera sambil mengaduk-ngaduk Es Teh Manis yang baru saja ia pesan di kantin saat ini.

Alisha berdecak. "Ya, gak gitu juga lah, Fer!"

Fera pun mengusap bahu Alisha berupaya agar teman sebangku yang sudah ia anggap sahabatnya itu dapat sedikit tenang. "Nyontek aja sama anak kelas sebelah. Kan mereka juga hari ini kalo gak salah ada pelajaran Ekonomi, deh." ucap Fera.

Alisha pun diam tanpa mau menjawab lagi pernyataan kalimat yang dilontarkan Fera barusan kemudian, ia memutuskan untuk meminum Es Teh Manis miliknya agar sedikit bisa mendinginkan hati dan otaknya saat ini.

"Eh, eh, Al! Liat kesitu, deh! Rafa kenapa makin ganteng, sih. Ya ampun!" ujar Fera yang ternyata sudah sedaritadi ia mengfokuskan pandangannya ke arah Rafa sehingga setelah itu, Alisha pun mengikuti arah pandangan Fera.

Emang ganteng, Fer. Sayang, terlalu fana. Batin Alisha tersenyum miris sambil tetap mengfokuskan tatapannya ke arah Rafa sampai tiba-tiba ia tersadar dan memelototkan pandangan matanya saking paniknya karena, Rafa menyadari pandangan Alisha yang tak henti-hentinya mengalihkan tatapannya.

Anjir. Goblok! Goblok! Goblok! Gimana dong ini?! Tanya Alisha sendiri pada batin dan otaknya. Kali ini, batin dan otaknya tidak singkron sama sekali sehingga ia terlihat seperti orang bodoh.

"Lo kenapa, Al? Sakit? Kok nepuk-nepuk jidat gitu, sih?" tanya Fera bingung dengan aksi Alisha yang tiba-tiba menepuk jidatnya sendiri.

Alisha menyadari kalimat yang dilontarkan Fera sehingga ia langsung salah tingkah dan menggeleng cepat. "E-enggak, Fer. Gapapa! Gapapa! Gak sakit juga kok."

"Yaudah kalo gitu, deh." balas Fera. "Eh, gimana ya, caranya biar gue bisa deket sama Rafa? Gue tuh kayak, pingin banget bisa kenalan sama dia." lanjut Fera yang mana refleks mendapatkan tanggapan kaget dari Alisha dan lagi-lagi Fera bingung terhadap sikap sahabatnya yang satu ini. Untungnya, cepat-cepat Alisha langsung menghilangkan mimik wajah kaget tersebut agar Fera tidak curiga terhadapnya.

"Tanya aja sama temen deketnya, Fer." balas Alisha tanpa pikir panjang, bahkan ia sudah bersumpah dalam hatinya jika itu adalah jawaban terngasal yang pernah ia utarakan.

"Ah, malu lah, Al." jawab Fera sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya. "Gimana kalau lo bantuin gue?" Dan hal itu sukses membuat Alisha langsung memelototkan kedua bola matanya. Gila! Kalau gue bantuin Fera sama aja gue menyelam ke jurang dong?! Batin Alisha.

"Hah? Aduh, gimana ya, Fer." ucap Alisha ragu-ragu. "Gue gak bisa, kayaknya. Gue juga malu masalahnya." lanjut Alisha.

Ia benar-benar harus mencari alasan yang masuk akal agar Fera dapat mengerti kenapa ia tidak bisa membantu Fera untuk dapat dekat dengan Rafa.

Clandestine✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang