BAB XLI: Reality [EDITED]

7.8K 325 104
                                    




Mungkin, kita memang hanya dipertemukan di tempat persinggahan yang sama. Karena pada akhirnya, tujuan kita ke arah yang berbeda.

**

            "GUE pulang." Kalimat itu yang benar-benar Alisha hindari saat ini, karena ia juga baru mengetahui satu fakta bahwa papa-nya Rafa kenal dengan mamanya sendiri dan lagi dirinya mengetahui permasalahan di antara Rafa dengan papa-nya.

            "Rafa!" Suara penuh penekanan itu terlontar dari papa Rafa memberikan peringatan untuk tidak menghindar lagi kali ini. Namun, Rafa tidak menggubris panggilan berkali-kali–yang bahkan terdengar begitu mengintimidasi di telinga Alisha–dari sang Papa.

            Gadis itu bungkam melihat seluruh kejadian yang masih tidak percaya begitu pula dengan laki-laki di sampingnya yang saat ini sudah beranjak melangkah pergi meninggalkan Alisha tanpa pamit.

            "M-ma," suara Alisha mulai terdengar, namun begitu kecil atau bahkan bisa dibilang lirih. "Alisha samperin Rafa dulu."

            Gadis bernama Alisha itu melangkahkan kakinya dengan cepat menuju halaman rumahnya untuk menghampiri Rafa yang terlihat tidak bisa mengontrol emosinya. Ia hanya khawatir jika Rafa pergi mengendarai motornya dengan perasaan tidak karuan itu.

            "Raf," panggil Alisha tetap melangkah maju menghampiri Rafa yang sedang menggunakan helm motornya.

            Bahkan, Rafa sama sekali tidak menggubris panggilan Alisha yang notabene-nya pacarnya.

            "Lo gak bisa pergi dengan keadaan kayak gini, Raf." Alisha masih berusaha keras menahan Rafa.

            Dan lagi-lagi, hening. Tidak ada jawaban apapun dari sang lawan bicara.

            "Rafa, lo denger kan gue ngomong apa?" Melihat Rafa yang masih tetap tidak menggubris dan justru mulai menaikki motornya berhasil membuat Alisha benar-benar kesal, maka langsung saja gadis itu menahan lengan Rafa.

            Meskipun tenaganya tidak seberapa dengan kekuatan Rafa, tetapi setidaknya ia masih tetap akan berusaha agar Rafa tidak pulang dengan keadaan kacau seperti ini.

            "Raf," Alisha masih tetap mencengkram lengan kokoh milik Rafa dan kali ini usahanya sepertinya bisa dibilang mulai berhasil, karena tatapan Rafa sudah mulai menatap kedua mata Alisha. Namun, tatapan tersebut tidak bisa dibilang tatapan lembut seperti biasanya melainkan tatapan penuh emosi, kesedihan, kekecewaan, dan semua menjadi satu.

            Tanpa aba-aba lagi, Alisha langsung berhambur ke dalam pelukan Rafa.

            "Gue sayang lo, Raf. Jangan pergi," ucap Alisha masih tetap membenamkan wajahnya di dada Rafa.

            "Jangan pergi." Dan satu bulir air mata sukses turun dari mata milik Alisha.

            Ia tidak ingin Rafa meninggalkannya hanya karena masalah seperti ini, gadis itu ingin memperjuangkan cintanya sama seperti dulu –tepat ketika ia hanya seorang admirer.

            "Gue gak akan pergi dari lo, Alisha." Rafa mengeratkan pelukannya seolah ia memberikan pernyataan yang sama melalui sebuah pelukan.

            "Jangan pergi dari gue karena ini, Raf." Alisha tidak ingin melepaskan pelukan ini, jika ada mesin penahan waktu, ia benar-benar ingin meminta untuk menghentikan waktu detik itu juga.

            Rafa mulai melepaskan pelukan tersebut secara sepihak. "Biarin gue sendiri dulu, Sha."

            "Tolong, jangan nangis." Dan mendengar kalimat itu, entah mengapa, justru semakin membuat Alisha semakin ingin membenamkan wajahnya di bantal atau pelukan Rafa lagi.

Clandestine✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang